S E J A R A H
DESA TONDEI
KEADAAN SAMPAI TAHUN 1989
DISUSUN
O
L
E
H
NY. A.J BUJUNG MONINGKA
KEPALA SD GMIM TONDEI
Ditulis kembali Oleh Cyrtje A.C Bujung. Tahun
2010.
PENDAHULUAN
Sejarah
desa Tondei mulai digali dari perbendaharaan masa lalu dan dimunculkan dalam
bentuk tulisan pada tahun 1973 oleh Cyrus Bujung, seorang guru Kepala SD GMIM
Tondei. Penyusunan pertama ini sangatlah banyak kekurangan disana sini baik
isinya, bahasanya bahkan masih banyak kekaburan dalam uraiannya.
Penyusunan
kedua kembali dilakukan tahun 1983. Kekaburan tersebut lebih diperjelas
dengan mewawancarai beberapa orang tua yang banyak mengetahui asal usul
penduduk mula mula , maupun sejarah pendirian desa.
Penyusunan
yang ketiga pada tahun 1985 dan keempat dalam tahun 1989 ini isinya lebih
diperkaya dengan peristiwa peristiwa baru.
Tiada
seorangpun yang tahu dengan pasti tahun berapakah orang orang Raanan membuka
perkampungan di Mawale dan tanggal berapakah dalam bulan agustus tahun 1906
orang orang Raanan Lama, Raanan Baru, Wanga dan Motoling mendirikan desa Tondei
ini.
KEADAAN ALAM DAN SEBAGAINYA.
Desa
Tondei terletak di lembah yang diapit dua oleh gunung Lolombulan di sebelah
timur dan dan gunung Sinonsayang di sebelah barat. Kira-kira 9 Km dari pantai.
Oleh karena letaknya demikian, maka pada waktu tertentu silih
berganti berhembus angin pegunungan dan angin laut.Sebagian besar wilayahnya
adalah lahan perkebunan yang didominasi oleh tanaman cengkih dan kelapa.
Kedua jenis komoditi ini sangat baik pertumbuhannya, karena iklim, sangat cocok
untuk tanaman perkebunan secara umum. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk
maka terjadi alih fungsi lahan dari lahan hutan menjadi lahan perkebunan
sehingga sekarang ini, luas lahan hutan makin berkurang. Penebangan
liar umumnya untuk pembuatan rumah sendiri dan untuk dijual.
Desa
Tondei terletak di suatu lembah yang diapit oleh gunung Lolombulan dan
Sinonsayang dengan ketinggian kurang lebih .400 m dpl. Oleh karena letaknya
yang demikian, maka pada waktu tertentu, silih berganti berembus angin
pegunungan dan angin laut. Pada musim kemarau suhu udaranya mencapai 26 derajat
Celsius dan pada musim hujan suhunya menurun sampai 20 derajat Celsius.
Keadaan
tanahnya sangat subur dan sangat baik bagi tanaman perkebunan dan pertanian.
Luas pemukiman desa ini kurang lebih 1 km2 sedang luas wilayahnya kurang
lebih 10 km2. Pada sebelah utara berbatasan dengan wilayah desa Ongkau dan
Tiniawangko, sebelah timur dengan gunung Lolombulan, sebelah selatan dengan
wilayah desa Raanan Baru dan pada sebelah barat dengan gunung Sinonsayang.
Kedudukan desa Tondei sendiri sebagian agak landai, sebagian pula agak datar.
Bagian yang agak landai , disebut “kampung gunung”, sedang bagian yang
datar disebut “kampung liba”.
Kira-kira
1 km sebelah utara desa ini pada jalan menuju Ongkau dan Tiniawangko terdapat
satu perkampungan yang baru dengan nama Lumopa. Kadang-kadang juga disebut
dengan Lopana.
Tondei
umumnya, terletak kurang lebih 400 m dpl. Pada sebelah timur berdiri megah
gunung Lolombulan dan perbukitan Kantil, sebelah barat gunung Sinonsayang
dengan perbukitan Tukadia, Munte, Torosit, Kelemur, ke sebelah utara dengan
perbukitan Paembongan, Pakuntungan dan Pondos.
Di
sebelah utara mengalir anak sungai Tondei, lebih ke utara timur laut mengalir
sungai Wawa, Kaluntai kecil, Aser, Kaluntai wangko, dan Kokitong. Di sebelah
timur mengalir sungai Raanan , di sebelah selatan juga sungai Raanan, sungai
Suka, Komanga’ang, Neang, sedangkan di sebelah barat mengalir sungai
Raringis.
Hutan-hutan
besar terdapat di lereng gunung Lolombulan dan Sinonsayang yang dihuni oleh
beraneka ragam jenis binatang antara lain yaki (monyet yang tidak berekor),
sapi hutan (anoa), babi hutan (kalowatan), rusa, ular sawah, burung enggang dan
sebagainya. (sekarang ini sulit untuk ditemukan jenis binatang seperti itu.
Orang Tondei suka menkonsumsinya).
Sapi
hutan dan rusa merupakan binatang yang sudah kurang jumlahnya alias langkah,
sehingga sangat perlu dilindungi dari kepunahan.
Keadaan
pada masa pra sejarah tidak banyak diketahui orang .Konon daerah ini merupaka
lalulintas pahlawan pahlawan Tontemboan yang pergi ke Poigar dan Mariri,
wilayah kerajaan Bolaang Mongondow untuk bertempur sewaktu berkobar perang
antar tontemboan dan bolaang mongondow.Setelah perang selesai , banyak diantara
pahlawan pahlawan itu menetap di Mariri, Daerah bolaang mongondow. Turunan
mereka sekarang mendiami desa Mariri, Mariri Baru dan tetap berbahasa
Tontemboan.
Tetapi
sebagian dari pahlawan pahlawan itu kembali ke Tompaso Lama, negeri asal
mereka. Dalam perjalanan kembali itu, banyak pula diantara mereka yang
singgah dan menetap di Tondei, di tempat yang bernama mawale sekarang.
Mawale menjadi tempat singgah orang orang yang dari Mariri yang pergi ke
Tompaso dan sebaliknya.Lama kelamaan bertambah banyaklah orang yang
tinggal disitu. Mereka dinamai “ orang raanan”, sesuai dengan nama sungai yang
mengalir disebelah timur desa Tondei sekarang. Arti nama Raanan tidak diketahui
orang dengan pasti karena nama itu berasal dari bahasa mongondow .
Hampir
semua nama sungai disekitar desa Tondei berasal dari bahasa mongondow misalnya
neang, suka, komangaang, kaluntai dan aser. Hal ini merupakan suatu kenyataan
bahwa daerah ini pernah dihuni atau dimiliki oleh suku Bolaang dimasa
lalu. Menurut cerita tua, bahwa dahulu seorang raja bolaang yang ibunya seorang
putri minahasa, meminang seoranrg putri tontemboan asal tombasian . Raja yang
bernama damapolii memberi mas kawin kepada suku tontemboan yakni daerah antara
sungai ranoiapo sampai sungai poigar, yang orang tontemboan disebut
“lewet”. Selama damapolii menjadi raja di bolaang , tanah lewet itu tidak
diganggu oleh orang mongondow. Tetapi setelah Damapolii meninggal maka orang
mongondow mau merampas lagi daerah tersebut, maka terjadilah perang antara
orang tontemboan dan orang bolaang. Pada masa perang itulah orang orang tompaso
lama, tombasian dan sekitarnya menyerbu bolaang sampai ke Mariri dan
membersihkan daerah lewet dari orang orang bolaang kecuali di suatu tempat,
tepatnya sekarang di desa Torout Kecamatan Tompasobaru. Itulah sebabnya , maka
nama nama gunung dan sungai disekitar Tondei berasal dari bahasa Mongondow.
Adapula
yang berpendapat, bahwa kata raanan berasal dari bahasa tontemboan . Raanan
berasal dari pokok kata raan yang artinya padi yang sudah lama disimpan, yang
dipanen pada beberapa masa panen yang lalu belum habis terpakai. Hal ini
merupakan gambaran tentang kelimpahan pangan yang dinikmati orang orang raanan
di masa itu.
Kedatangan
perampok perampok bangsa mangindanau yang menculik orang orang tontemboan
yang dijual dinegerinya sebagai budak , ditambah munculnya wabah penyakit yang
berbahaya memaksa orang orang raanan meninggalkan mawale mengungsi ke tempat
yang lebih aman . Mereka pindah ke tempat yang bernama Lutaw yang letaknya
kira-kira 100 meter sebelah selatan desa Tondei sekarang, dekat sebuah mata air
. Kebenaran dapat dibuktikan dengan adanya sebuah lesung batu tingginya
1,5 m yang besar dan tertanam dalam tanah pada dinding luarnya terdapat ukiran
pria dan wanita menari. Kemudian disekitar tahun 1987 seorang warga bernama
Hideky Lumowa saat menggali tanah untuk dijadikan kolam di tempat yang bernama
Sagai menemukan banyak tembikar yang telah hancur kelihatan kwalitasnya
baik, secara kasat mata tembikar tersebut lebih baik kwalitasnya dengan
tembikar yang di buat oleh orang minahasa dimasa sekarang . Ditempat tersebut
juga ditemukan Peip, (alat tempat tembakau) untuk dihisap. Peip tersebut
terbuat dari tanah liat/tembikar yang bagus sekali. Dibagian depan terdapat
ukiran timbul motif jangkar. Sayang sekali Peip tersebut hilang begitu saja di
rumah Kel Hideky Lumowa Palapa . Mereka tak dapat tinggal lama ditempat itu
karena konon tempat itu cepat diketahui oleh orang orang mangindanau . Karena
gangguan perampok mangindanau ini maka mereka terpaksa meninggalkan tempat itu.
Sebagian orang raanan ini mengungsi dan singgah sementara ke suatu
tempat yang yang bernama rata laur, daerah yang terletak antara desa raanan
baru dan desa malola sekarang, sebagian pula singgah ke lompad, sebelah barat
desa raanan baru sekarang, kemudian kedua tempat tersebut ditinggalkan lagi
oleh mereka karena kemungkinan menurut petunjuk opo opo melalui burung manguni
tempat tempat itu tidak baik dijadikan kampung. Mereka mencari tempat yang
bergunung gunung dan dikelilingi oleh jurang jurang, agar terlindung dari
ancaman perampok Mangindanau. Sesuai dengan petunjuk opo opo melalui isyarat
burung manguni, tempat itu ditemukan, dan mereka menetap disitu.Tempat itu
dinamai Raanan lama.
Lingkungan hidup
Sejak
berdirinya desa ini hingga akhir tahun 1977 jalan ini sukar dilalui kendaraan
bermotor. Ini menyebabkan sukarnya rakyat Tondei pergi ke pasar untuk
mengeluarkan hasil pertanian seperti kopra, gula aren dan sebagainya ke
Motoling dan Ongkau.sekarang dengan adanya kegiatan rakyat Tondei dalam
memperbaiki jalan antara Tondei dan Raanan baru, maka kendaraan bermotor sudah
boleh memasuki desa Tondei, sekalipun harus mengalami kesulitan juga di waktu
musim hujan. Sepanjang 3 km dari Tondei ke Raanan Baru jalan ini melntasi
daerah perkembunan orang-orang Tondei, melewati hutan lereng, gunung dengan
tebing yang curam di sebelah kiri sedang di sebelah kanan menganga ngarai yang
dalam, dan 3 km melintasi perkembunan orang-orang Raanan Baru. Sering hubungan
antara kedua desa ini terputus kaibat tanah longsong, lebih-lebih pada musim
hujan. Dapatlah dibayangkan kesulitan yang dihadapi oleh rakyat Tondei dalam
soal jalan. Tiap-tiap hari senin rakyat Tondei kerja bakti memperbaiki jalan
sampai jauh dalam perkebunan orang-orang Raanan Baru. Masyarakat Tondei selalu
betanya-tanya bilakah pemerintah ingat akan jalan perhubungan Tondei-Raanan
Baru?
Tondei
penghasil kopra terbesar di kecamatan Motoling membutuhkan jalan yang baik
untuk dapat menyalurkan penghasilannya ke pasaran. Dan masyarakat Tondei bukan
saja menunggu-nunggi tetapi mereka berusaha dan bekerja.
Tondei
juga dihubungkan dengan desa pantai Ongkau dengan sebuah jalan yang panjangnya
kurang lebih 9 km. dari Ongkau jalan ini sudah diaspal sepanjang 6 km. ada
tanda-tanda bahwa pengaspalan jalan ini akan mencapai desa Tondei. Jika hal ini
menjadi kenyataan, maka rakyat Tondei akan lebih mudah mengankut hasil
petaniaannya dengan kendaraan bermotor ke pasar Ongkau.
Kesehatan
Untuk
kepentingan kesehatan dan urusan KB oleh PUSKESMAS Motoling telah dibuka di
Tondei sebua Pos Kesehatan yang dipimpin oleh seroang jururawat. Pada akhir
tahun 1984 tercatat 99 % dari pasangan usia subur sebagai peserta KB.
Pertanian
Perkembangan
di bidang pertanian, perikanan, dan peternakan agak lamban. Kebanyakkan petani
masih merupakan petani alamiah. Karena suburnya. Tanah pertanian maka masih
jarang orang yang menggunakan pupuk. Kebanyakkan masih mempraktekkan cara-cara
tradisional dalam mengelolah tanahnya.
Pada
tahun 1980 dan 1981 telah diadakan reboisasi di lereng gunung Kantil sehingga
bahaya erosi terhindar, larangan merombak hutan secara liar dipatui oleh
seluruh masyarakat. Petani-petani Tondei mencurahkan perhatian yang besar pada
penanaman kelapa dan cengkih, tetapi kurang perhatian pada bersawah dan
berladang. Untunglah pemerintah desa Tondei sekarang giat berusaha menyadarkan
dan membimbing rakyat agar bergaiaran menanam tanaman musiman terutama pada dan
jagung. Salah satu usaha kearah maksud tersebut pemerintah desa telah membuat
satu kebun percontohan dengan kerja sama dengan BLPP Kalasey sebagai Pembina
dan pelatih.Mesin paras
Orang
yang lahir di Tondei pertama kali adalah nenek wongkar gerung sekitar tahun
1906. Dari tahun ke tahun jumlah penduduk di desa Tondei Raya banyak mengalami
peningkatan. Berikut ini data mengenai kependudukan
Tahun
1906-1908 : ± 200 jiwa
1913 : ± 1000 jiwa
1968 : ± 1800 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1985 : ± 2600 jiwa
1989 : ± 3000 jiwa
MAWALE.
1913 : ± 1000 jiwa
1968 : ± 1800 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1985 : ± 2600 jiwa
1989 : ± 3000 jiwa
MAWALE.
Tiada
seorangpun yang tahu dengan pasti, bilakah orang-orang Raanan mendirikan
perkampungan Mawale yang terletak di sebelah barat desa Tondei sekarang. Namun
ada beberapa fakta sejarah yang dapat dijadikan dasar perkiraan.
Pertama,
menurut sejarah Minahasa yang ditulis oleh bapak B. Supit bahwa pada akhir abab
ke-17 terjadi perang antara Loloda Mokoagow alias Datuk Binangkang, raja
Bolaang Mongondow dan para ukung di Minahasa. Orang-orang Minahasa mengalahkan
prajurit-prajurit Loloda, dan memburu mereka sampai ke daerah Bolaang.
Penyerbuan kewilayah bolaang terpaksa dihentikan atas usaha residen manado
waktu itu. Banyak prajurit prajurit melintasi daerah mawale ke
pertempuran di perbatasan . Mawale menjadi tempat persinggahan mereka.,
dan ada pula yang menetap.
Pada
tahun 1694 ditetapkanlah sungai Poigar sebagai batas antara Minahasa dan
Bolaang Mongondow. Beralas pada kejadian ini, maka diperkirakan Mawale
didirikan antara tahun 1693 dan 1694.
Kedua,
dalam tahun 1708 telah terjadi perang antara Walak Kakas dan Walak Sonder.
Banyak yang jatuh korban di pihak Walak Sonder. Para taranak Sonder merasa
tidak puas terhadap pemimpin Walak lalu mengungsi ke selatan, ke Bolaang,
melintasi daerah Mawale. Kemungkinan ada yang singgah dan menetap di
sana.
Ketiga,
dalam tahun 1764 terjadi perang antara Walak Bantik dan Walak Tombariri. Untuk
menghindari pertempuran, banyak yang melarikan diri ke selatan dan diduga
banyak dari antara mereka melewati Mawale atay menetap di sana. Sebagian besar
langsung ke Bolaang Mongondow. Mereka diterima dengan baik oleh raja Salomon
Manopo dan mengijinkan mereka mendirikan dua perkampungan yakni Mariri dan
Po’opo
Beralas
pada penuturan orang-orang tua Tondei dan ditambah pula dengan fakta sejarah di
atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Mawale telah didirikan antara
tahun 1693 dan tahun 1694 oleh orang-orang Tumompaso, Sumonder, Tombariri, dan
suku-suku dari utara Minahasa yang kemudian di sebut sebagai orang-orang
Raanan.
Sumber
lain memberitahu bahwa Mawale adalah suatu tempat lokasi perkampungan
orang-orang yang mencari nafakah (ikan hutan) lalu oleh karena orang-orang yang
bermukim di situ bukan orang asli dari lokasi tempat tersebut karena jarak desa
mereka dengan tempat mencari nafkah jauh, sehingga dalam beberapa waktu
kemudian, tempat mereka (Raanan Lama, Wanga, Lompad) jadikan tempat istirahat
atau terung (pondok) mereka mulai membuka lahannya sambil menanam palawija
berupa jagung, kacang-kacangan, ubi, pisang dan kelapa.
Kemudian
setelah beberapa tahun mereka bermukim di situ mereka mulai mendapat tantangan
yang diistilahkan mamuis (orang mengambil kepala orang) dari Mangindanou.
Padahal orang-orang Mangindanou bukan mengambil kepala orang tetapi menculik
orang-orang Minahasa untuk dibawah di Mangindanou (Filipina) untuk dijadikan
budak. Selain itupula masyarakat pemukim di lokasi tersebut diserang dengan
penyakit malaria; sehingga mereka terpaksa tinggalkan lokasi tersebut beberapa
tahun lamanya. Hal itu terjadi sekitar tahun 1800.
PEMBENTUKAN DESA TONDEI.
Berdasarkan
penuturan orang-orang tua daerah yang pernah didiami oleh orang-orang Raanan
dahulu di lembah antara gunung Lolombulan dan Sinonsayang itu amat subur dan
sangat baik bagi pertanian. Ceritera tentang kesuburan tanah, banyaknya hewan
buruan dan lain-lain tersebar luas pada akhir abad ke 19 ke desa-desa
Raanan Lama, Raanan Baru, Motoling dan Wanga. Ini yang menyebabkan mereka
bersepakat untuk mencari dan menyelidiki daerah Mawale yang merupakan bekas
perkampungan orang-orang Raanan.
Kira-kira
pada tahun 1903 rombongan pertama di bawah pimpinan tokoh-tokoh perintis
seperti Tonaas Daniel Muntu-untu dari Motoling dan Jusof Wongkar dari Raanan
Lama menemukan daerah itu dan hasil penyelidikan sangat memuaskan. Usaha
mencari tempat itu disebut TUMONDEI. Dalam bahasa Tontemboan Tumondei
artinya mencari kembali bekas perkampungan Mawale.Hasil penyelidikan
disebarkan kedesa desa tersebut diatas . Sejak tahun 1903 rombongan demi
rombongan berangkat kedaerah mawale, merombak hutan dan membuka perladangan
untuk ditanami padi dan jagung. Karena sistem bertani berpindah pindah maka
areal yang dibuka menjadi luas sekali, sebelah utara sampai di sungai rano dua,
sebelah selatan sampai sungai neang sebelah barat sampai sungai kokitong
sebelah timur sampai ke perbukitan kantil. Bila panen tiba, maka hasil
pertanian dibawa pulang ke desa desa mereka, namun hal ini menimbulkan
kesulitan. Jalan untuk kendaraan roda sapi belum ada dan muatan hanya dimuat
diatas punggung kuda. Keadaan ini mendorong para petani untuk menetap dan
mendirikan suatu perkampungan baru. Pada tahun 1906 dalam musim sorob wangko
atau kemarau panjang dalam bulan agustus, sebelum membuka perladangan padi,
para tonaas memutuskan akan membuka perkampungan baru melalui suatu upacara
keagamaan . Tempat yang dipilih untuk meletakkan dasar pembanguna perkampungan
jaraknya kurang lebih 700 meter sebelah timur mawale, Kira kira sebelah
selatan /belakang gereja GMIM Imanuel Tondei sekarang. Walaupun pendiri desa
Tondei sudah beragama kristen , namun mereka belum meninggalkan kebiasaan
kebiasaan nenek moyang. Mereka merasa perlu menayakan pada opo opo apakah orang
orang yang akan mendiami perkampungan yang didirikan itu boleh hidup makmur dan
sejahtera. Opo opo akan menjawabnya melalui isyarat burung manguni . Bunyi
burung yang akan terdengar sebagai jawaban yaitu membenarkan atau
menolak/melarang.Diperlukan sembilan kali jawaban dari burung manguni secara
berturut turut untuk jawaban setuju.
Jalannya
upacara sebagai berikut :
Tonaas
meniup semacam suling yang dikenal dengan nama sumoring . Melalui isyarat bunyi
sumoring ini menanyakan kepada opo opo apakah tempat ini baik untuk
dijadikan pemukiman atau kampung. Pada sumoring pertama jawaban opo opo
melalui bunyi burung manguni membenarkan. mendengar jawaban setuju, tonaas
mematahkan sebagian lidi enau yang kering , kemudian patahan yang kecil itu
dimasukkan kesebuah periuk yang telah disediakan.sembilan kali tonaas meniupkan
suling atau sumoring , sembilan kali jawaban setuju dari opo opo. sembilan
patahan lidi juga dimasukkan ke periuk. Sembilan patahan itu disebut siow
lentuk. Setelah diperoleh sembilan jawaban dari opo opo maka diumumkanlah oleh
tonaas bahwa opo opo setuju tempat itu didirikan sebuah kampung untuk didiami.
Periuk yang berisi siow lentuk dimasukkan dalam sebuah lobang , kemudian
ditimbuni menjadi dasar pertama pembangunan perkampungan.
Pada
mulanya orang menamai kampung itu “Tinondeian” yang artinya “dicari kembali”
dan pada tahun 1908, tatkala tempat ini diakui sebagai dusun di bawah
pemerintahan desa Raanan Baru namanya disingkat menjadi Tondei.
.
Sebagai wakil Hukum Tua ditunjuklah seorang pendiri perkampungan ini,
yakni Jusof Wongkar yang berasal dari Raanan Lama dengan panggilan “Perewis”.
Dialah yang menjalankan pemerintahan sehari-hari atas nama Hukum Tua Raanan
Baru .
Dalam
bulan November 1913, tanggalnya tidak diketahui dengan pasti, perkampungan itu
diresmikan sebagai satu desa yang berdiri sendiri lepas dari pemerintahan desa
Raanan Baru. Desa Tondei dapat memilih Hukum Tuanya sendiri. Kira-kira dalam
tahun 1915 diadakanlah pemilihan Hukum Tua dan terpilih sebagai Hukum Tua
pertama ialah bapak Demas Kawengian. Penduduk waktu itu kurang lebih 1000 jiwa
dengan jumlah jaga tiga. Sesudah perang deunia II datanglah menetap di Tondei
beberapa keluarga dari Seretan dan Langoan.
BEBERAPA
CATATAN DICANTUMK AN DIBAWAH INI
Tahun
1903
: Lokasi pemukiman orang Raanan dahulu kala (mawale) dicari (Tondeian) dan
ditemukan .
Tahun
1906, Aug : Upacara keagamaan
pembukaan perkampungan.
Tahun
1908
: Perkampungan diakui sebagai satu jaga dibawah pemerintahan desa Raanan Baru
Tahun
1913, Nov : Perkampungan diresmikan
menjadi satu desa dengan nama Tondei.
Tokoh
tokoh pendiri : 1. Daniel Muntu untu.
2. Jusof Wongkar.
PERKEMBANGAN
PENDUDUK
Tahun 1906-1908 : ± 200 jiwa
1913 : ± 1000 jiwa
1968 : ± 1800 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1985 : ± 2600 jiwa
1989 : ± 3000 jiwa
Tahun 1906-1908 : ± 200 jiwa
1913 : ± 1000 jiwa
1968 : ± 1800 jiwa
1976 : ± 2200 jiwa
1985 : ± 2600 jiwa
1989 : ± 3000 jiwa
Suku-suku ; tontemboan, dan beberapa keluarga dari Tolour.
Tondei dikategorikan sebagai desa Swakarya.
Jumlah jaga (dusun):
1908 : 1 jaga
1913 : 2 jaga
1950 : 4 jaga
1968 : 5 jaga
1976 : 6 jaga
1982 : 7 jaga
1984 : 10 jaga
SEJARAH
PERKEMBANGAN PERKAMPUNGAN
Luas
desa Tondei pada pembentukannya 200x100 m2 kemudian sekarang menjadi luas kira
kira 1 km2 . Panjang jalan yang menghubungkan dengan ibukota kecamatan
Motoling kira kira 14 km. Sejak desa ini didirikan hingga akhir tahun 1977
jalan ini sukar dilalui kendaraan bermotor, sehingga sangat sukar bagi rakyat
Tondei untuk mengeluarkan hasil hasil pertaniannya seperti kopra, gula, jagung
dll baik ke motoling maupun ongkau. Sekarang dengan adanya kegiatan masyarakat
tondei dalam memperbaiki jalan antara desa Tondei dan desa Raanan Baru maka
kendaraan bermotor sudah boleh melalui jalan itu walaupun dengan susah
payah karena becek dan berbatu batu disana sini apalagi dimusim penghujan.
Jarak antara desa Tondei dan desa Raanan Baru kira kira 9 km. Sepanjang 3 km
dari arah desa Tondei, melintasi daerah perkebunan orang orang Tondei, dan
sepanjang 3 km melintasi lereng gunung kantil dengan tebing disebelah kiri
sedang disebelah kanan jurang yang agak dalam, dan 3 km kemudian melintasi
perkebunan orang orang Raanan Baru. Ruas jalan ini sering terputus akibat tanah
longsor . Jika dimusim penghujan, hampir setiap hari senin masyarakat desa
Tondei melaksanakan kerja bakti untuk memperbaiki jalan agar dapat dilalui
kendaraan bermotor.Tondei juga dihubungkan dengan desa Ongkaw yang jaraknya
kira kira 11 km. Jalan ini sudah pernah diaspal sepanjang 6 km. Untuk
kepentingan kesehatan, Puskesmas Motoling membuka pos kesehatan di desa Tondei
yang dilayani oleh seorang juru rawat yakni yang dikenal masyarakat ibu
mantri Lintong.Perkembangan disektor pertanian, secara umum masyarakat petani
masih awam dengan teknologi pertanian, masih bertani secara tradisional. Pada
tahun 1980-1981 pemerintah melaksanakan reboisasi di daerah kantil, namun
program ini tidak berhasil karena bibit kayu yang ditanam banyak yang sudah
rusak dalam transportasi.Oleh karena minimnya pengetahuan petani terhadap
teknologi pertanian maka pemerintah desa Tondei oleh hukum tua Lon L.L
Sumangkut menggagas kerjasama dengan Balai Latihan Pegawai Pertanian
Kalasey untuk membangun kebun percontohan di desa Tondei
.
PEREKONOMIAN/MATA
PENCAHARIAN.
Mata
pencahrian utama penduduk desa Tondei adalah bertani. Untuk tanaman musiman,
petani bercocok tanam jagung, padi ladang dan sebagian kecil bercocok tanam
padi sawah sedangkan untuk tanaman tahunan , masyarakat desa Tondei bercocok
tanam kelapa ,cengkih, kopi dan panili. Tanaman kelapa mula-mula ditanam
sekitar tahun 1906 sedangkan cengkih nanti ditanam sekitar tahun 1930. Disamping
itu banyak juga petani mengolah gula merah atau gula aren karena di wilayah
desa Tondei banyak tanaman seho atau enau.
SEJARAH
PEMERINTAHAN
Desa
Tondei diakui sebagai perkampungan pada tahun 1908 di bawah pemerintahan Hukum
Tua Raanan Baru dan nanti pada tahun 1913 diresmikan sebagai desa yang berdiri
sendiri dalam Onderdistrik Tompaso Baru, sekalipun Hukum Kedua berkedudukan di
Motoling. Di bawah ini dicantumkan berturut-turut nama-nama Hukum Tua yang
pernah memerintah desa Tondei sejak terbentuknya hingga sekarang:
1.
Jusof Wongkar, wakil Hukum Tua Raanan Baru di Tondei (1908-1915)
2. Demas Kawengian, Hukum Tua pertama (terpilih) (1915-1931)
3. Isaak Sumangkut, Hukum Tua (terpilih) (1931-1940)
4. Israil Lumowa, Hukum Tua (terpilih) (1940-1946)
5. Herling Lumenta, Hukum Tua (wakil) (1946-1947)
6. Herling Lumenta, Hukum Tua (terpilih) (1947-1959)
2. Demas Kawengian, Hukum Tua pertama (terpilih) (1915-1931)
3. Isaak Sumangkut, Hukum Tua (terpilih) (1931-1940)
4. Israil Lumowa, Hukum Tua (terpilih) (1940-1946)
5. Herling Lumenta, Hukum Tua (wakil) (1946-1947)
6. Herling Lumenta, Hukum Tua (terpilih) (1947-1959)
7.
Marinus Pondaag, Hukum Tua (ditunjuk) (1960-1964) mengepalai rakyat Tondei
dalam pengungsian di Raanan Baru semasa pergolakan Permesta juga setelah kembali
ke Tondei pada tahun 1961.(1960-1964)
8.
Herling Lumenta, Hukum Tua (1964-1968)
9. Bernard Lumapow, Hukum Tua (Terpilih) (1968-1973)
10. Julian Wongkar (ditunjuk kemudian dipilih) (1973-1979)
11. John Lumapow, Pj Hukum Tua (ditunjuk) (1979-1989)
12. Johanis Sengkey, Wakil Hukum Tua (ditunjuk) ((1980-…)
13. Julian Wongkar, Hukum tua (terpilih) (1980-1983)
14. Gustaf Lumapow, Pj Hukum Tua (ditunjuk) (1983-1984)
15. Laloan L.L. Sumangkut, Kepala Desa (terpilih pada 9 Juni 1984-1992)
9. Bernard Lumapow, Hukum Tua (Terpilih) (1968-1973)
10. Julian Wongkar (ditunjuk kemudian dipilih) (1973-1979)
11. John Lumapow, Pj Hukum Tua (ditunjuk) (1979-1989)
12. Johanis Sengkey, Wakil Hukum Tua (ditunjuk) ((1980-…)
13. Julian Wongkar, Hukum tua (terpilih) (1980-1983)
14. Gustaf Lumapow, Pj Hukum Tua (ditunjuk) (1983-1984)
15. Laloan L.L. Sumangkut, Kepala Desa (terpilih pada 9 Juni 1984-1992)
AGAMA/KEPERCAYAAN
Sepanjang
penuturan perintis-perintis pembangunan desa Tondei bersama rombongannya yang
merupakan penduduk mula-mula desa ini sudah memeluk agama Kristen. Tetapi
mereka belum melepaskan sama sekali kebiasaan-kebiasaan kafir. Hal ini nyata
pada pembukaan desa Tondei. Mereka masih memerluhkan isyarat baik dari burung
manguni untuk menentukan tempat desa yang baik. Tetapi lama-kelamaan
kebiasaan-kebiasaan kafir itu mulai ditinggalkan akibar kegiatan pekabaran
Injil oleh pelayan-pelayan gereja yang setia dan berani.
Di tondei hingga saat
ini terdapat 4 golongan gereja:
1. GMIM (GEREJA MASEHI INJILI DI MINAHASA)
2. GPdI (GEREJA PANTEKOSTAS DI INDONESIA)
3. KGBI (KERAPATAN GEREJA BAPTIS INDONESIA)
4. RK(ROMA KATOLIK)
1. GMIM (GEREJA MASEHI INJILI DI MINAHASA)
2. GPdI (GEREJA PANTEKOSTAS DI INDONESIA)
3. KGBI (KERAPATAN GEREJA BAPTIS INDONESIA)
4. RK(ROMA KATOLIK)
SEJARAH
PERKEMBANGAN GMIM
Sejak
berdirinya desa Tondei (1908) hingga pada tahun 1929 di Tondei hanya da satu
golongan gereja saja, yakni Gereja Protestan “Indische Kerk”.
Pada
tahun 1934 tanggal 30 September 1934) GMIM memisahkan diri dari Indische Kerk
dan memproklamasikan dirinya sebagai Gereja yang berdiri sendiri. Jemaat
Kristen Protestan Tondei mulailah disebut GMIM. Keadaan jemaat pada pembukaan
Desa Tondei (1908) ± 40 kepala keluarta
1950 ± 180 kepala keluarga
1954 ± 200 kepala keluarga
1981 ± 330 kepala keluarga
1985 ± 335 KK dan ± 1700 jiwa=11 kolom
1954 ± 200 kepala keluarga
1981 ± 330 kepala keluarga
1985 ± 335 KK dan ± 1700 jiwa=11 kolom
Berturut-turut
jemaat GMIM telah dipimpin oleh pelayan-pelayan:
1. K. Palapa, guru sekkolah dan guru jemaat (1908-1913)
2. J Salangka kepala SD dan guru Jemaat (1913-1918)
3.G. Kumolontang, kepala SD dan guru jemaat (1918-1920)
4.K. Sahensolar, kepala SD dan guru jemaat (1920-1925)
5.I.D.U. Rawung kepala SD dan guru jemaat (1925-1930)
1. K. Palapa, guru sekkolah dan guru jemaat (1908-1913)
2. J Salangka kepala SD dan guru Jemaat (1913-1918)
3.G. Kumolontang, kepala SD dan guru jemaat (1918-1920)
4.K. Sahensolar, kepala SD dan guru jemaat (1920-1925)
5.I.D.U. Rawung kepala SD dan guru jemaat (1925-1930)
6.D.
Mogogibung, guru jemaat (1930-1934)
7.
I.D.U Rawung , Kepala SD dan Guru Jemaat (1934-1946)
8.
H Limpele, Kepala SD dan Guru jemaat.(1946-1948)
9.
Majelis jemaat , tak ada guru jemaat ( 1949 )
10.
C Bujung, Guru SD dan Guru Jemaat , berhenti karena pindah ke Tomohon (
1949-1952)
11.
Majelis Jemaat, tak ada guru jemaat (1953 )
12.
A Lumapow Ketua/Guru Jemaat (1954-1981)
13.
C Bujung , Pensiunan Kepala SD , Ketua/Guru Jemaat (1982- sekarang)
Perkembangan
Jemaat GPDI Tondei.
Sebagaimana
dituturkan , pada tahun 1929 masuklah ke Tondei suatu golongan baru
dengan nama waktu itu PINKSTER GEMEENTE yang di bawa oleh Jan Lumenta,
seorang putera desa Tondei . Sebelum melayani , Jan Lumenta adalah
anggota angkatan laut, namun pekerjaannya sebagai tentara dilepaskannya demi
pelayanan penginjilan di lingkungan Gereja Pinkster Gemeente (GPDI Sekarang)
Dari Surabaya ia datang ke minahasa dan langsung datang kekampungnya. Di Tondei
dibentuknya sebuah jemaat Pantekosta dan jemaat ini adalah jemaat GPDI
mula mula di Minahasa bahagian Selatan.
Berturut
turut jemaat GPDI Tondei telah dilayani oleh hamba hamba Tuhan yakni :
1.J
Lumenta, Gembala sidang
pertama
1929-1935
2.Z
Lumenta,
Gembala
1935-1937
3.A
Sondakh,
Gembala
1937-1944
4.J
Kumaat,
Gembala
1945-1949
5.S
Rondonuwu,
Gembala
1949-1953
6.H
Giroth,
Gembala
1953-1955
7.P
Tambaani,
Gembala
1955-1966
8.E
Rondonuwu, Gembala
1967-1981
9.J
Lumenta,
Gembala
1981-sekarang.
Keadaan
jemaat sekarang : Jumlah Kepala Keluarga : Kira kira 220
Jumlah
jiwa
: kira kira 1000 jiwa.
Golongan
Agama yang baru.
Sejarah
desa Tondei dalam tahun 1984 diwarnai oleh dua peristiwa penting :
1.
Pemilihan kepala desa menurut peraturan baru yakni satu kali memilih. Suara
terbanyak adalah sah menjadi kepala desa. Yang terpilih adalah Laloan L L
Sumangkut.( Peristiwa pada akhir tengah tahun pertama 1984.)
2.
Seolah olah terpicu peristiwa diatas, masuklah di Tondei satu golongan gereja
baru yaitu KGBI dan disusul dengan agama baru Gereja Katolik terdiri dari umat
Katolik yang karena ketiadaan pemimpin sebelumnya bergabung/beribadah dengan
jemaat GMIM (peristiwa pada awal tengah tahun kedua 1984)
Keadaan
golongan golongan tersebut :
KGBI
dipelopori oleh Gustaf Lumapow dan Kuniaki Lumowa dan gembala sidang pertama
adalah F Wohon., dengan jumlah kepala keluarga kira-kira 10 kk 50 jiwa.
Roma
Katolik pembentukannya dipelopori oleh Petrus Tamaka dan guru jemaat pertama
adalah Kilisan dengan jumlah kk sekitar 5 kk jumlah jiwa kira kira 25 jiwa..
Tempat Ibadah jemaat GMIM
Jemaat
GMIM mulai membangun gedung gereja pada tahun 1976 dengan swadaya murni jemaat.
Besarnya bangunan adalah 23x10 m, permanen dan sudah menelan biaya ± Rp
40.000.000. gedung itu selesai dibangun pada tahun 1979 dan ditahbiskan dalam
suatu ibadah jemaat yang dipimpin oleh ketua sinode GMIM pada 24 Agustu
1980.sebelumnya gedung itu sudah diresmikan oleh Bupati KDH Tkt II
Minahasa pada tanggal 13 Desember 1979.
Tempat ibadah jemaat GPdI
Gedung
gereja jemaat GPdI selesai dibangun pada akhir tahun 1983. ukuran 24x12 m
bentuk permanen dan telah menelan biaya kurang lebih 50 juta rupiah. Gedung itu
udah ditahbiskan dalam suatu ibadah jemaat dengan dihadiri oleh gubernur dati I
Sulawesi Utara.
Tempat ibadah jemaat RK
Gedung
gereja umat katolik bentuk permanent masiy sementara dibangun tetapi sudah
dapat digunakan untuk beribadah.
Tempat ibadah jemaat KGBI
Jemaat
KGBI sudang membangun gedung gerejanya bentuk semi permanen dan sudah dapat
dipergunakan untuk acara ibadah jemaat.
ADAT
ISTIADAT
Orang-orang
tua dulu kurang memperhatikan penanggalan,. Misalnya tentang kelahiran anak.
Bila seroang anak lahir, maka saat kelahiran itu selalu dihubungkan dengan
sesuatu peristiwa yang terjadi pada waktu itu agar tidak mudah dilupakan. Jika
ditanya tanggal berapa anak lahir , maka jawaban yang diperoleyh, bukan tanggal
berapa anank lahir,maka kawaban yang diperoleh, bukan tanggal atau bulan yang
tepat. Orang akan menjawab bahwa kelahiran anaknya bertepatan dengan perombakan
hutan di suatu tempat atau bertepatan dengan kunjungan seorang pembesar di desa
itu atau dengan ditanamnya sesuatu pohon. Dengan demikian penentuan umur
orang-orang dahulu hanya berdasarkan perkiraan belaka.
Tentang perkawinan
Perkawinan di tondei dari dahulu hingga sekarang terjadi sebagai berikut:
1. Muey (melamar)
si
teruna mengirim surat pada si gadis pilihannya tentang cintanya pada gadis itu
atau menyampaikannya secara lisan. Jika ia malu berhadapan langsung atau tidak
tahu menulis, dipakainya seorang pengantara. Jika lamaran itu diterima,
maka terciptalah suau hubungan percintaan antara keduanya.
2. Tumindondor-moweh
Tumindondor
moweh adalah berdiri berhadapan langsung dengan orang tua gadis dan
memberitahukan hal percintaan mereka
siteruna
baik langsung atau melalui seorang pengantara melapor kepada orang tua si gadis
hal perhubungan cinta antara si teruna tersebut dengan si gadis. Bila hubungan
itu direstui oleh kedua orang tua si teruna dan si gadis maka menyusul hal yang
berikut
3. Tumantu, Tumerang
menentukan
atau memohon penjelasan selanjutnya orang tua si teruna langsung atau melalui
seorang pengantara membicarakan dengan orang tua si gadis tentang kelangsungan
hubungan kedua anak mereka, tentang mas kawin dll yang brhubungan dengan
pernikahan anak mereka. Bila telah ada persesuaian dalam segala hal, maka
menyusul pula hal berikut
4. Tumuruk
Maksudnya
antar harta atau peminangan. orang tua pihak teruna dengan kaum keluargannya
berangkat ke rumah orang tua gadis. Di rumah si gadis juga sudah menanti
seluruh keluarga orang tua si gadis. Terjadilah percakapan melalui wakil mereka
menyerahkan “harta kawin” ekpada orang tua si gadis sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati waktu “tumerang” maka resmilah
pertunangan mereka. Acara tukar cincin dapat dilaksanakan bila pihak teruna
menyediakannya
.
5. Sumampet
5. Sumampet
rencana
atau cita-cita tercapai, kemudian menyusullah pernikahan melalui petugas gereja
atau petugas pemerintah. Kebiasaannya pihak orang tua gadislah yang
pertama-tama mengadakan pesta nikah.. kemudian pihak orang tua teruna
mengadakan pula pesta pernikahan. Pada kesempatan itulah mempelai wanita
diantara ke rumah mempelai pria disertai oleh seluruh keluarga kedua belah
pihak. Dalam cara pesta pernikahan biasanya disuguhkan pidato-pidato nasihat
kepada kedua mempelai sebagai bekal hidup berumah tangga.
Dengan
“sumampet” maka tercapailah cita-cita si terurna dan si gadis untuk hidup
bersama-sama sebbagai suami istri. Sesudah menikah mereka dapat memilih 1)
tinggal dalam rumah sendiri-lepas dari tanggungan orang rua. 2) tinggal di
rumah orang tua laki-laki atau perempuan sebelum mereka dapat mendirikan rumah
sendiri.
Di
Tondei orang berpandangan, bahwa si suami adalah kepala rumah tangga dan si
istri afalah bendahara rumah tangga. Pernikahan terjadi atas dasar suka sama
suka. Tak ada kawin paksa.
PERISTIWA KEMATIAN
Pada
peristiwa-peristiwa kematina kerukunana nampak menonjol. Keluarga yang berduka
cita mendapat bantuan bahan makanan, uang dan sebagainya dari masyarakat. Hal
ini dipelopori pemerintah desa dan pimpinan gereja. Pada hari minggu pertama
sesudash peristiwa kedukaan, semua anggota masyarakat berkupul di rumah
keluarga yang berduka untuk makan siang bersama-sama dalam rangka menghibur
kelaurga yang berduka. Semua yang datang membawa makanan sendiri. Hal ini
dimaksudkan agar yang berduka cita tidak lebih diberatkan bebanya dengan
menyediakan makanan bagi mereka yang datang berkumpul di rumahnya.
Kini
di Tondei telah dibentuk puluhan “rukun” yang bertujuan memberi bantuan baik
berupa uang tau beras dan sebagainya. Pada anggota ang mengalami peristiwa
kedukaan. Juga da rukun jaga yang dikendalikan oleh kepada jaga dan mewetang.
Suatu
kebiasaan dahulu yang bisasa dilakukan ialah perayaan tiga malam semua anggota
keluarga atau sebahagian dari masyarakat berkumpul di rumah keluarga yang
berduka untuk makan bersama-sama. Acara ini diadakan berdasarkan kepercayaan
bahwa pada malam ketiga jiwa dari si mati bangkit dari kubur dan mulai
beredar-edar mengunjungi keluargannya di semua tempat yang pernah
dikunjungingya semasa hidupnya. Beralas pada kepercayaan itu maka kelauarga
yang berduka pada waktu makan atau minum meletakkan di ujung meja sebuah piring
kecil berisi nasi sedikit ikan atau telur untuk “dimakan” oleh jiwa dari yang
baru meninggal. Bila jiwa itu datang berkunjung, hal ini disebut “ma’umper atau
ma’belet”. Inii dilakukan selama 40 hari, 40 malam lamanya. Kadang-kadang pada
peringatan tiga malam diundang juga seorang dukun dengan maksud akan
mendengarkan pesan-pesan orang yang baru meninggal. Dukun itu disurupi roh
orang mati sehingga tidak sadarkan diri lagi. Mulailah ia berkata-kata
meyampaikan pesan-pesan kepada keluarganya. Suara sama benar dengan suara orang
mati itu, semasa ia masih hidup.
Empat
puluh hari kemudian dari kematian seseorang diadakan pula peringatan 40
malam berdasarkan kepercayaan bahwa jiwa orang meninggal itu akan meninggalkan
dunia ini menuju tempat yang disediakan baginya. Jiwa orang yang semasa
hidupnya hahat akan panda ke gua-gua, ke batu batu besa ke mata air dan tau ke
pohon-pohon besar sebagi roh jahat atau hantu. Kerjanya mengganggu dan
mencelakakan orang yang melintasi tempat mereka yang angker itu. Jiwa orang
yang semasa hidupnya selalu berbuat baik meninggalkan dunia ini pindah kalam
“ka-ka-puan atau karawisan” tempat “samak” yang disediakan untuk mereka.
Lama-kelamaan kaerna pengaruh agama Kristen dan berkat pelayanan injil yang
mantap peringatan tiga malam dan 40 malam berangsur lenyap.
Upacara
adat lainnya seperti kedukacitaan. Bilamana ada yang meninggal dunia maka
dianggap roh dari orang mati belum langsung naik ke surga. Oleh karena itu
setiap ada kedukacitaan, maka di rumah duka bagian dalam kamar di lantai
ditaburkan bahan berupa tepung. Karena menurut kepercayaan budaya waktu itu
bahwa orang yang sudah meninggal itu sering datang dan bukti kedatangannya
diamati oleh keluarganya melalui bekas kaki di lantai yang tertabur tepung.
Upacara kedukacitaan dipimpin oleh guru jemaat atau penelong yang sekarang
disebut sebagai pendeta.
MENABUR PADI (kumelod)
Berladang
dilakukan secara alamiah. Tonaas atau kepala perkampuangan menentukan waktu
yang baik untuk merobak hutan dan daerah hutan mana yang akan dirombak untuk
diperkebuni. Hal ini dilakukan di musim panas jadi sekirtar bulan juli dan
agustus. Petani-petani membntuk Ma’ando atau mapalu. Bila komando telah
diberikan, menyerbulah mapalus-mapalu ke lokasi yang telah ditunjukkan oleh
Tonaas atau Hukum Tua. Kay-kayu ditebang, rumput-rumput dipangkas dan stelah
kering dibakar. Karena hal ini dilaksanakan pada musim panas, maka hampir semua
kayu yang ditebang dan rumput-rumput terbakar, tinggal abu-abusnya. Maka
tibalah saatnya menabur,. Menabus padi dikerjakan jug adengan bermapalus. Bilah
benih padi telah bertumbuh dan mulai berbuah, maka kebun itu tidak booleh lagi
dilalui oleh orang-orang yang sedasng memikul buluh/bambu yang baru ditebang.
Menurut cerita orang-orang tua jika pantangan ini dilanggar tikus-tikus akan
menyerbu kebun itu dan merusakan tanaman padi di dalamnya.
Bila
panen tiba, yang empunya kebun mengudnang sanak saudsra dan handai tulan pemuka
masyarakat dan sebahagian penduduk untuk beramai-ramai menuai padi. Pada
peristiwa ini diadakan pesta penuaian oleh tuan kebun. Sementara menuai
diperdengarkanlah nyanyian tua, kidung-kidung rohani atau ma-oweinya, pada waktu
makan diperdengarkanlah pula pidato-pidato oleh pimpinan desa dan gereja, bila
mereka diundang pada penuaian itu. Pesta itu dilakukan di tempat penuaian,
kadang-kadang sesudah menuai, masih ada keluarga yang mengadakan pesta “ makan
pada baru” atau kuman im beru”. Bila penuaian sudah berlalu, maka pada
pertengahan tahun orang mengadakan “ pengucapan syukur penuaian” atau “syukur
pungutan”.
PENGHORMATAN
APO-APO
Apabila
orang membicarakan nenek moyangnya, mereka menyebutnya dengan sapaan “apo”.
Lain pula pengertiannya kalau mereka menyebut opo-opo yang lebih murni artinya
dewa-dewa. Masih terselip kepercayaan pada sebahagian masyarakat tentang
adfanya opo-opo yang berdiam di tempat tertentu. Orang harus belaku sopan dan
harus berdehem bila melewati kuala, mata air, gua-gua. Kubur-kubur, dan
tempat-tempat sunyi yang dianggap sebagi tempat tinggal opo-opo. “berdehem”
dapat diartikan sebagai permisi dan minta jalan untuk melewati tempat itu.
TANDA-TANDA BUNYI BINATANG
Bunyi
burung manguni atau wala, belalang, cicak, dan kokosit dianggap sebagai tanda
pemberitahuan dari opo-opo tentang adanya bahaya yang mengancam atau kemujuran
yang sedang mendatang.
Bunyi
kucing yang sedang bercumbu-cumbuan dengan “kekasihnya” yang kedengaran sebagai
menangis dianggap sebagai pemberitahuan dari opo-opo, bahwa salah seorag
kerabat akan mati dalam waktu dekat.
Bila
orang bersin pada saat seorang akan membuat perjalanana atau memulaikan suatu
usaha, ia harus mengurungkan waktunya. Burung, kucing meneybrang jalan.sebab
jika tak demikian, ia akan menemui kegagalan atau sesuatu marabahaya.
Berkat
penginjilan yang bersungguh-sunggu dari para pelayan gereja maka penghormatan
pada opo-opo dan kepercayaan pada tanda-tanda bunyi binatang berangsur-angsur
lenyap.
UPACARA-UPACARA ADAT
Upacara
upacara adat tidak ada yang menonjol. Pelantikan Hukum Tua yang terpilih
dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah. Penyammbutan
tamu agungpun dilaksanakan seperti kebiasaan pada umumnya, yakni dijemput di
ujung kampung, pengalungan bunga dan sebagainya.
KEPURBAKALAAN
Kira-kira
50 m sebelah selatan desa Tondei Dua dekat mata air terdapat sebuah lesung batu
yang besar. Dasarnya tertanam jauh dalam tanah. Tingginya ± 1,5m. diatas
permukaan tanah , bentuknya hampir menyerupai silinder garis tengahnya
kira kira 1 meter pada dindinga luar lesung terukur pria dan wanita
yang sedang menari. Menurut cerita orang tua-tua, benda itu merupakan benda
purba peninggaln orang-orang yang pernah bermukin di daeran itu di masa lalu.
Di daerah dimana terdapat lesung batu itu disebut orang “Lutau”. Lutau artinya
“tembak” pemberian nama ini punya sejarahnya sendiri. Menurut cerita, pada
suatu hari di siang bolong tiba-tiba penghuni daerah itu dikejutkan oelh bunyi
guruh yang dahsyat bagaikan beratus-ratus meriam ditembakkan pada saat yang
sama. Bumi berguncang dan orang-orang ketakutan. Bunyi yang hebat itu
dastangnya dari daerah lesung batu.. mulai saat itu daera itu desebut orang
“lutau”.
CERITA RAKYAT
Peristiwa
upacara pembentukan desa Tondei dengan “Sumering” cerita Mawalw, lesung batu
dan lutau dapat juga disebut sebagai cerita rakyat dari Tondei. Mungkin masih
ada, tetai krean tidak dibukukan atau tidak dituturkan dari mulut ke mulut,
akhirnya dilupakan orang.
KEPARIWISATAAN
Tempat-tempat
hiburan atau rekreasi dan sebagainya masa ini belum ada di Tondei. Tetapi bila
daerah “lutau” dimana terdapat tempat lesung batu peninggalan purba itu
dipugar, kiranya nanti dapat memikat wisatawan-wisatawati luar dan dalam
negeri. Dan inipun dapat dimungkinkan bila jalan Motoling ke Tondei diperbaiki
dan diberi aspal seluruhnya.
INDUSTRI
Tondei
merupakan satu desa penghasil kopra nomor satu di kecamatan Motoling. Hasil
cengkihnyapun menanjak pada tiap-tiap musim pemetikan. Maka besar kemungkinan
pada waktu mendatang, suatu perusahaan minyak kelapa atau cengkih akan terdapat
di desa ini.
PENDIDIKAN
Di Tondei terdapat 6 sekolah, yakni:
1. taman kanak-akanak GMIM Dorkas Tabita
2. SD GMIM
3. SMP Kristen, ketiga sekolah ini dibawah asuhan Jemaat GMIM
4. Taman kanak-kanak GPdI “Hana”
5. SD GPdI kedua sekolah ini dibawah asuhan jemaat GPdI
6. SD INPRES
1.TK GMIM Dorkas Tabita.
Pada tahun 1970 diinstruksikan bahwa tiap-tiap SD harus didampingi oleh sebuah TK. Kepala SD GMIM C. Bujung mendirikan TK GMIM dengan nama “Dorkas Tabita” dan menunjuk seorang guru SD GMIM diperbantukan pada TK tersebutu. TK ini didirikan pda tanggal 5 Juli 1970.
Berturut-turut
TK ini telah dipimpin oleh guru-guru SD GMIM dpb:
•
Ny. D. lumapow-sumangkut (1970-1973)
• Ny. L.E. Rawung-Lumowa (1973-1976)
• Ny. N. Lumowa-Bella (1976-hingga sekarang)
• Ny. L.E. Rawung-Lumowa (1973-1976)
• Ny. N. Lumowa-Bella (1976-hingga sekarang)
Sebagai
tenaga sukarela bekerja juga pada TK “Dorkas Tabita “ 2 guru tamatan KPG
jurusan TK yakni Ny. Anatje. Pangkey-Palapa dan Ny. Stientje. Kawengian Oping.
Pada
permulaan tahun 1984 Pemerintah menempatkan seorang guru Pegawai Negeri
Sipil pada Tk ini yakni Nona Meity Umboh dari Karimbow.
2.
Sekolah Dasar GMIM Tondei
Pada
tahun 1908 dibuka sebuah Sekolah Dasar yang berstatus swasta penuh dibawah
asuhan jemaat Masehi setempat. Tujuannya untuk menampung anak-anak petani yang
mulai menetap di perkampungan Tondei. Sekolah sedemkiaan disebut sekolah liar
atau Wilde School ssesuai istilah pada waktu itu, yang biasa dikenakan pada
sekolah-sejlah swasta penuh.
Pada
tahun 1913 desa Tondei diresmikan sebagai desa yang berdiri sendri. Pada tahun
itu juga sekolah jemaat itu diresmikan menjadi sekolah bersubsidi diabwah
asuahan Nederlands Zenderlings Genooschap, sebuah Lembaga Pengijilan Belanda.
Guru yang telah memimpin sekolah itu di masa masih berstatus “sekolah liar”
diganti dengan seroang guru dari NZG.
Pada
tahun 1934 tatkala GMIM memproklamasikan dirinya sebagai gereja yang berdiri
sendri maka sekolah NZG itu menajdi Sekolah Rendah GMIM sesudah perang dunia II
nama sekolah Rendah menjadi Sekolah Rakyat dan pada tahun 1964 menjadi Sekolah
Dasar hingga sekarang.
Sejak
berdirinya sebagai sekolah NZG pada tahun 1913 sekolah mempergunakan gedung
gereja sebagai tempat belajar. Rumah ibadah itu dibagun di atas kintal yang
dihadiahkan oleh keluarga Tumanduk menjadi milik GMIM.
Pada
masa pendudukan Jepang (1942-1945) dikeluarkan perintah, bawah sekkolah-sekolah
tidak boleh lagi mempergunakan gedung gereja untuk tempat belajar. Berdasarkan
perintah itu maka pada thaun 1944 Pemerintah desa Tondei berusaha mencarikan
kintal untuk Sekolah Rendah yang sekarang disebut SD GMIM Tondei, oleh karena
pada masa itu hanya ada satu SR yang melayani pendidiikan bagi anak-anak dari
seluruh masyarakat Tondei,yakni SR GMIM Tondei maka menjadilah pula kewajiban
seluruh masyarakat Tondei untuk meyediakan keperluan sekolah termasuk kintal,
gedung sekolah, alat-alat sekolah dan sebagainya. Hukum Tua Tondei pada masa
itu almarhum Israel Lumowa sesudah bermusyawarah dengan pamong-pamong desanya
mengutus kepala jaga Markus Lumenta dan kepala jaga Aris Poluakan
membicarakan dengan bapak Z Oping tentang penukaran sebuah tanah kebun
tanah milik umum dengan kintal dekat pekuburan umum milik almarhum
tersebut. Dalam pembicaraan itu diperoleh kata sepakat oleh Israil Lumowa
sebagai Hukum Tua menyerahkan kintal itu pada kepala S.R.GMIM Tondei. alm Izaak
Djajus Umboh Rawung menjadi kintal sekolah milik S.R. GMIM Tondei. Pada tahun
1945 dan 1946 kintal itu dipergunakan sebagai lapangan olahraga. Pada tahun
1947 kintal itu dibersihkan selurunya dan pada tahun 1948 mulai dibangun gedung
S.R. GMIM. Pada peresmian gedung sekolah itu di tahun 1950 kepala Distrik
Amurang didampingi Hukum Tua Tondei Herling Lumenta menyerahkan gedung sekolah
besama kintalnya kepada kepsek I.D.U. Rawung untuk dipergunakan. Pada tahun 1957
atas usaha kepada S.R. GMIM Tondei yang menghubungi pemerintah Daerah Minahasa
melalui kepala distrik Motoling Lengkei dijanjikanlah bantuan untuk pembangunan
gedung S.R. GMIM Tondei, bantuan pertama yang diberkan adalah 130 lembar seng
dan beberapa pulu drum aspal untuk lantai gedung sekolah. Pada tahun 1957
tanggal25 November diadakan peletakkan batu pertama bagi pembangunan gedung
itu, tepat di hari ulang tahun S.R. GMIM Tondei yang ke-44. Turut meletakkan
batu pertama:
•
C. Bujung Kepala S.R. GMIM Tondei
• H. Lumenta sebagai Hukum Tua Tondei
• A. Lumapow sebagai guru jemaat GMIM
• L. Bella (kemudian hari menjadi Drs. L. Bella)
• Ny. A.J. Bujung-Moningka sebagai guru S.R. GMIM Tondei
• H. Lumenta sebagai Hukum Tua Tondei
• A. Lumapow sebagai guru jemaat GMIM
• L. Bella (kemudian hari menjadi Drs. L. Bella)
• Ny. A.J. Bujung-Moningka sebagai guru S.R. GMIM Tondei
Untuk
memimpin pembangunan gedung ini oleh pemerintah distrik Motoling dikirim 2
tukang dari Motoling yang gajinya ditanggung oleh pemerintah. Bahan-bahan
seperti kayu, pasir, batu dan sebagainya disediakan oleh rakyat Tondei. Saying
pembangunan gedung ini tidak dapat diselesaikan akibat perang saudasra atau
lazim disebut “pergolakkan permesta”. Malahan yang sementara dibangunpun rusak
dimasa pergolakan permesta. Pada tahun 1959 dan 1960 sebahagian rakyat Tondei
diungsikan ke Raanan Baru, termasuk guru-guru dan sebagian besar murid-murid
S.R. GMIM Tondei. Baik guru maupun murid semuanya ditampung di S.R. GMIM Raanan
Baru. Untuk menjaga agar nama S.R. GMIM Tondei jangan terhapus atau hilang dari
daftar sekolah-sekolah, maka Kepala SR GMIM Tondei memohon ijin kepada kepala
pejabat pendidikan daerah Minahasa di Manado untuk membuka S.R GMIM Tondei
dalam pengungsian di Raanan Baru. Perjalan ke Manado melalui daratan tak
mungkin karena berbahaya. Yang ditempuh ilah melalui jalan laut. Di manado
permohonann itu diluluskan. Setiba kembali di Raanan Baru maka pada tanggal 25
November 1960 pada HUT S.R. GMIM Tondei yang ke 47 dibukalah S.R. GMIM Tondei
dalam pengungsian dengan kepala sekolah tetap C. Bujung dan guru-guru pembantu:
Ny. A. J. Bujung-Moningka, Ny. O. Sual-Ngion, D.L. Sumangkut, dan M. Sual.
Sekolah berjalan terus hingga masa penyelesaian. Masa pergolakan berakhir dan
pada akir tahun 1961 rakyat Tondei yang telah mengungsi di Raanan Baru kembali
pula ke Tondei. S.R. GMIM Tondei yang telah diungsikan ke Raanan Baru embali
pula dihidupkan di Tondei. Gedung yang sementara dibangun ketika pergolakan dan
terbengkalai karena perang kini tinggal rang-rangkanya sebagian besar sudah
lapuk. Hingga tahun 1970 SD GMIM memakai gedung darurat. Pada tahun 1971 gedung
SD GMIM mulai dibangun dan dianggap selesai tahun 1975. pada tahun 1982 kantor
SD GMIM Tondei selesai dibangun. Guru-guru yang menghidupkan kembali SD GMIM
Tondei sekembalinya dari pengungsian adalah:
•
C. Bujung kepala sekolah
• Ny. A.J. Bujung-Moningka pembantu
• Ny. O.M. Sual-Ngion pembantu
• M. Sual pembantu
• D.L. Sumangkut pembantu
SMP KRISTEN TONDEI
Majelis jemaat GMIM Tondei periode 1982-1986 melihat kenyataan bahwa:
• Ny. A.J. Bujung-Moningka pembantu
• Ny. O.M. Sual-Ngion pembantu
• M. Sual pembantu
• D.L. Sumangkut pembantu
SMP KRISTEN TONDEI
Majelis jemaat GMIM Tondei periode 1982-1986 melihat kenyataan bahwa:
•
Sangat kurangnya anggota masyarakat Tondei yang berpendidikan menenganh,
apalagi yang berpendididkan tinggi sehingga emreka yang meyandang gelar sarjana
masih dapat dihitung dengan jari.
•
Demikian banyaknya murid lulusan SD menjadi siswa SMP di Motoling, Paku Ure,
Amurang, Raanan Baru, malahan di Tompaso Baru dan Manado, tetapi banyak yang
putus sekolah dan sedikit atau kurang yang meneruskan pelajarannya ke sekolah
lanjutan tingkat atas dan sekolah tinggi.
Menyadari
penyebabnya antara lain:
•
Anak lulusan SD yang berusia 12 atau 13 tahun kebanyak mersa berat meninggalkan
orang tuannya menjadi murid SMP di negeri yang jauh dari orang tuannya apalagi
yang dimanjakan orang tuannya. Kerinduan kepada orang tua memaksa sering bolos
untuk kembali ke kampung, lebih-lebih tempak ia mondok ia diperhadapkan dengan
peraturan-peraturan dan pembatasan-pembatasa yang tak pernah dialaminya di
rumahnya. Banyak bolos yang menuju ke putus sekolah.
•
Bahwa dalam umur sekian masih sangat diperlukan kontrrol langsung dari orang
tuanya, lebih-lebih pada jam-jam di luar sekolah. Kebanyakkan mereka lekkas
terpengarauh oleh lingkungannay yang baru. Jam sekolah menjadi jam bolos, uang
SPP menjadi uang pembeli rokok, penganan dan sebagainya. Akhirnya putus
sekolah.
Majelis
jemaat GMIM berkesimpulan, bahwa untuk mengatasi hambatan-hambatan ini dirasa
perlu untuk mendirikan satu SMP Kristen di Tondei. Ketua Jemaat GMIM Tondei
bapak C. Bujung sesuai dengan tugas yang dipercayakan Majelis Jemaat,
menghubungi instansi-instansi yang berwenang dan kepala dinas pendidikan dan
persekolahan GMIM di Tomohon. Mereka yang dihubungi menyatakan persetujuannya.
Kepala kantor depdikbud kecamatan Motolig, bapak H.F. Sondakh memberikan
dorongan, penjelasan demi mempercepat terlaksananya cita-cita ini. Dalam suatu
kesempatan sesudah ibadah oleh ketua jemaat dijelaskan kepada jemaat sebab dan
tujuan mendirikan SMP Kristen Tondei di tengah-tengah jemaat GMIM Tondei.
Sambutan Jemaat sangat menggembirakan. Pada bulan Mei 1982, dibuatlah surat
permohonan secara resmi kepada kepala dinas pendidikan dan persekolahan GMIM di
Tomohon yang ditandatangani masing-masing oleh Pnt C. Bujung sebagai Ketua
Jemaat dan bapak H.B. Sondakh sebagai sekretaris jemaat GMIM Tondei. Dan dibawa
sendiri ke Tomohon oleh Ketua Jemaat C Bujung. Sementara itu jemaat sedang giat
membangun gedung sekolah. Gedung\
yang
sedang dibangun semua direncanakan untuk TK kini dibangun untuk SMP Kristen dengan
ukuran 21x7 m, terdiri atas tiga bilik dengan bentuk permanen.
Pada
bulan agustus 1982 diterima surat keputusan dari kepala dinas pendidikan dan
persekolahan GMIM yang bertanggal 30 Juni 1982, no 2430/K/H/V/6-82, antara
lain isinya: terhitunga mulai tanggal 1 Juli 1982 di jemaat GMIM Tondei
desa Tondei Kecamatan Motoling Dati II Minahasa didirikan atau dibuka sekolah
Menengah Tingkat Pertama (SMP) Kristen Tondei.
Datangnya
SK ini lebih memperbesar semangat jemaat dalam menyelesaikan pembangunan gedung
SMPK dalam bulan Januari 1983 gedung SMP selesai dibangun dan pada bulan
Februari digiatkanlah pembuatan perlengkapan sekolah(meja, bangku dan
sebagainya) semua rampung pada bulan April 1983 dan pada bulan berikutnya atas
bantuan Pimpinan SMPK Motoling diadakan testing bagi calon-calon murid kelas
satu SMPK Tondei. Atas usul ketua jemaat GMIM maka kepala Dianas Persekolahan GMIM mengangkat melalui surat
keputusan saudara-saudara :
·
Joppy
Sondakh sebagai kepala SMP Kristen Tondei
·
Herdy
Bella, BA sebagai guru pembantu
·
Djery
Tuuk sebagai guru pembantu
·
Cyrtje
A C Bujung, guru pembantu.
Pada
tanggal 18 Juli 1983 gedung SMPK ditahbis dalam suatu ibadat jemaat dipimpin
oleh ketua sinode GMIM diwakili oleh wakil sekum sinode dasn pada hari tiu juga
berdirinya SMP Kristen Tondei dresmikan oleh bapak kakandep dik bud kecamatan
motoling bapak H.F. Sondakh. Siswa-siswi SMPK yang pertama berjumlah 23 orang.
Gaji guru-guru bahkan seluruh pembiayaan SMP ini ditanggung oleh jemaat GMIM.
Pada bulan Oktober 1983 jemaat GMIM mulai membangun lagi dua bilik
tambahan,satu bilik untuk kantor dan satu bilik untuk perpustakaan SMPK Tondei.
Jadi gedung SMPK Tondei sekarang memiliki lima ruangan dengan perincian, tiga
ruangan belajar, satu ruang untuk kantor sekolah, dasn satu ruang untuk
perpustakaan.
Pada
akhir bulan Desember 1983 kedua bilik itu sudah selesai. Besarnya gedung
menjadi 35x7 m bentuk permanent. Pembangunan gedung SMPK Tondei sudah menelan
biaya sebesar ± 11 juta rupiah, swadaya murni jemaat GMIM Tondei. Hingga sekarang
sekoklah berjalan dengan baik, jumlah guru 7 orang dan jumlah siswa yang
terdaftar 31 orang diantaranya ada beberapa siswa dari jemaat Pantekosta.
Pada
HUT SMPK Tondei yang pertama tanggal 18 Juli 1984 seorang guru pegawai Negeri
ditempatkan pada SMPK Tondei. Pada tahun-tahun berikutnya ditempatkan pula
beberapa Pegawai Negeri, sehingga pada tahun 1987 jumlah guru Pegawai Negeri
menjadi 6 orang.
Karena
jemaat GMIM Tondei sebagai pengasuh SMPK Tondei dan guru SMPK Tondei dapat
memenuhi beberapa persyaratan, maka pada tanggal 22 Desember 1987 SMPK Tondei
diakreditasi menjadi sekolah yang statusnya “ diakui” .
Pada
tahun 1988 SMPK Tondei sudah dapat melaksanakan EBTA/EBTANAS sendiri.
Demikianlah
adanya sekolah-sekolah yang dikelolah oleh jemaat GMIM Tondei dewasa ini.
Sekolah yang tertua di desa ini ialah SD GMIM yang diresmikan berdirinya pada
tanggal 25 November 1913. dalam usianya yang sudah 70 tahun, sekolah itu sudah
dipimpin berturu-turut oleh kepala sekolah:
1.
K. Palapa (.1908.-1913) status sekolah; swasta penuh asuhan jemaat Kristen
Protestan setempat.
2.
J. Salangka ( 1913-1918) status: swasta bersubsidi asuahan: NZG
3. G. Kumolontang ( 1918-1920)
4. K.H. Sahensolar (1920-1925)
5. I.D.U. Rawung (1925-1946)
6. H. Limpele (1946-1950)
7. I.D.U. Rawung (1950-1953)
8. H. Limpele (1953-1954)
9. tak ada kepala sekolah (1954-1955)
10. C. Bujung (1955-1960)
3. G. Kumolontang ( 1918-1920)
4. K.H. Sahensolar (1920-1925)
5. I.D.U. Rawung (1925-1946)
6. H. Limpele (1946-1950)
7. I.D.U. Rawung (1950-1953)
8. H. Limpele (1953-1954)
9. tak ada kepala sekolah (1954-1955)
10. C. Bujung (1955-1960)
11.
C. Bujung (1960-1961) dalam pengungsian di Raanan Baru pada masa pergolakkan
permersta
12.
C. Bujung (1961-1978) pada akhir 1961 sd GMIM tondei dikembalikan ke Tondei.
13. Ny. A.J. Bujung-Moningka (1978-sekarang)
TAMAN KANAK-KANAK GPDI “HANA”
13. Ny. A.J. Bujung-Moningka (1978-sekarang)
TAMAN KANAK-KANAK GPDI “HANA”
Jemaat
GPdI telah membangun sebua gedung TK pada tahun 1978. sejak berdirinya TK itu
telah dipimpin oelh guru-guru yang ditunjuk oleh jemaat setempat. Kini TK
tersebut telah mendapat dua orang guru dengan SK pemerintah.
SEKOLAH DASAR GPDI
Pada
masa gembala Petrus Wowor memimpin Jemaat GPdI Tondei, didirikanlah sebuah
gedung sekolah darurat untuk anak-anak jemaat Pantekosta yang mula-mula diberi
nama “ SD DIKRISPA” dan kemudian hari disebut SDGP. Pada tanggal 12 Februari
1968 sekolah itu dibuka. Pada tanggal itu ± 100 orang murid SD GMIM yang
berasal dari jemaat Pantekosta meninggalkan SD GMIM dan menjadi murid-murid
pertama dari SDGP yang baru didirikan itu. Karena sekolah itu berstatus swasta
penuh, maka pengadaan perlengkapan, pengangkatan maupun pembanyaran gaji
guru-guru ditanggun oleh jemaat itu sendiri. Dua tahun lamanya jemaat membiayai
sekolah itu. Sebagai kepala sekolah SDGP diangkat oleh jemaat Pantekosta
saudara N. Pangaila. Nantu pada tahun 1970 ditempatkan di SDGP seorang guru
pemerintah sebagai kepala sekolah yakni Almarhum E. Onibala.
Pada
mulanya SDGP mempergunakan gedung darurat yang didirkan disamping kanan gedung
gereja. Pada tahun 1960 dimulailah pembangunan gedung sekolah diatas sebuah
kintal yang disediakan jemaat sebagai kintal sekolah. Gedung itu selesai
dibangun pada tahun 1973. pada tanggal 7 November 1973 dalam suatu acaragedung
itu diresmikan oleh bupati KDM Tkt II Minahasa Bupati Lumentut (F. Lumentut,
Penulis)
Berturut-turut
SDGP sudah dipimpin oleh kepala-kepala sekolah:
1. N. Pangaila (1968-1970) guru yang diangkat oleh jemaat.
2. E. Onibala (1970-1980) guru pegawai negeri
3. J. Palapa (1980-1982)
4. H. Paat (1982-1984)
5. Ny, S, Lumenta-R (1985-1987)
6. Punuh (1987-…)
7. D. Umboh (1987-sekarang)
SD INPRES
1. N. Pangaila (1968-1970) guru yang diangkat oleh jemaat.
2. E. Onibala (1970-1980) guru pegawai negeri
3. J. Palapa (1980-1982)
4. H. Paat (1982-1984)
5. Ny, S, Lumenta-R (1985-1987)
6. Punuh (1987-…)
7. D. Umboh (1987-sekarang)
SD INPRES
Gedung
SD Inpres dibangun pada permulaan tahun 1982. pada tanggal 28 Juli 1982 SD
Inpres itu dibuka dengan resmi oleh Kakandep Dik Bud kecamatan Motoling, Bapak
H.F. Sondakh. SD itu mulai dengan kelas 1. kepala sekolah: J. Palapa dengan
guru pembantu 3 orang.
Banyak
murid di tiap sekolah:
1. SD GMIM 225 orang
2. TK GMIM Dorkas Tabita 30 orang
3. SMP Kristen GMIM 140 orang
4. SDGP 146 orang
5. TK GPdI Hana
6. SD Inpres 122 orang
1. SD GMIM 225 orang
2. TK GMIM Dorkas Tabita 30 orang
3. SMP Kristen GMIM 140 orang
4. SDGP 146 orang
5. TK GPdI Hana
6. SD Inpres 122 orang
KESENIAN
Kumpulan
kumpulan kesenian desa ini hanya terdiri dari paduan suara kaum ibu GMIM,
Pemuda GMIM dan Kaum Bapa GMIM demikian juga dari jemaat GPDI juga aga vokal
grup pemuda GMIM dan pemuda GPDI.
BAHASA DAERAH
Penduduk
desa Tondei kebanyakan berasal dari dari suku Tontemboan. Hanyalah beberapa
yang berasal dari Seretan Tondano. Sekarang ini, akibat perantauan banyak
penduduk yang sudah kawin campur dengan suku sangir, ambon, toraja, bolaang
Mongondow dll.
TAMAN-TAMAN
Taman
budaya, taman hiburan, taman bunga dan sebagainya belum ada di desa ini. Daerah
Lutaw dimana terdapat Lesung Batu yang besar sebagai benda peninggalan purba
baik sekali dijadikan taman budaya sebagai objek wisata di kemudian hari.
PERMAINAN
RAKYAT
Permainan
rakyat yang masih bertahan hingga sekarang ialah yang disebut “mareng I le le”
yang artinya kembalikan pukulan lidi .
Acara
permainan ini dilaksanakan oleh suatu tumpukan mapalus(maando) yang dikepalai
oleh seorang pemimpin yang disebut ma’bali-wali atau kumeter yang didampingi
oleh seorang “marantong” atau “ma’dantong” yang artinya seorang hakim mapalus
atau secara kasar disebut sebagai tukang pukul .Mapalus mempunyai peraturan
peraturan atau undang undang mapalus yang harus ditaati oleh semua anggota .
jika peraturan itu dilanggar maka sipelanggar diancam dengan hukuman badan
yakni mendapat cambukan sesuai dengan jenis pelanggaran yang dibuat. Alat
cambuk terdiri dari seberkas lidi enau, tiga atau enam lidi diikat menjadi
seberkas Pelaksana hukum adalah marantong sendiri.Bersama dengan ma’bali wali
ia menentukan beberapa cambukan yang harus diberikan pada si pelanggar ,
miaslnya :
1. Absen
tanpa memberi tahu pada ma’bali wali dicambuk 9 kali.
2. Terlambat
tiba di tempat pekerjaan dicambuk 6 kali.
3. Bekerja
lamban dicambuk 2 kali.
4. Mengucapkan
kata kata tak sopan dicambuk 6 kali.
5. Koki
yang terlambat menyediakan makanan dicambuk 3 kali.
6. Tidak
membantu kawan yang lemah dalam barisan kerja dicambuk 1 kali.
7. Tidak
turut atau bermain sementara doa makan dicambuk 6 kali.
Sasaran
cambukan adalah betis atau bagian belakang badan. Cara memilih ma’bali wali dan
marantong kebanyakan secara aklamasi.Tugas ma’bali wali memimpin dan
menjalankan roda organisasi mapalus itu. Ia adalah penanggung jawab kedalam dan
keluar.Sebelum mapalus menjalankan tugasnya si marantong , hakim mapalus
dinobatkan terlebih dahulu. Cara penobatan adalah sebagai berikut.: Si
Marantong berdiri ditengah lingkaran mapalus , cambuk yang terdiri dari 6 lidi
enau disediakan. Setelah sebuah pidato singkat diperdengarkan,
ma’baliwali
memegang cambuk lalu memukulkannya 3 kali berturut-turut ke betis marantong.
Kemudian tibalah giliran seluruh anggota mapalus. Secara bergilir mereka
mencambuk betis marantong seberapa mereka mau. Selesai acara ini celana si
marantong koyak-koyak, betisnya berdarah dan bengkak. Penobatan secara ini
dimaksudkan aga ia dalam menjalankan tugasnya akan bertindak tegas dan tanpa
memilih bulu. Dengan cangkul dan cambuk di tangan dan sambil bekerja ia
mengawasi seluruh mapalus itu dan sewaktu-waktu membagi-bagikan cambuk kepada
mereka yang melanggar disiplin mapalus. Demikian kerjanya hingga seluruh
anggota mapalus telah mendapat sumbangan tenaga mapalus itu. Sebelum mapalus
dibubarkan maka diadakanlah suatu acara yang merupakan acara penutup kegiatan
organisasi mapalus itu. Maka ditentukanlah suatu hari apda waktu mana cara itu
akan diadakan. Semua anggota menyediakan penganan dan air panas the atau kopi,
untuk melayani mereka yang akan diundang menghadiri acara itu.
Ditentukan
pula di lokasi mana acara penutup ini diadakan. Daerah yang banyak kali dipakai
ilah kampung liba. Sebab jalannya lebar dan rata. Banyak kali dalam acara ini
diundang pimpinan jemaat dan kepala desa. Berduyun-duyun orang menuju ke lokasi
yang sudah ditentukan. Semua ingin menyaksikan permainan ini. Anggota-anggota
mapalus berbaris berhdapan. Berdiri di tepi-tepi jalan. Kebanyakkan anggota
mapalus pria membungkus betisnya dengan kain tebal. Demikian pula si marantong.
Semua anggota mapalus, baik pria maupun wanita memegang seberkas
lidi enau. Sebelum cara dimulai ma’baliwali (pemimpin) mengumumkan aturan
permainan. Si marantong harus berlari bolak balik dari ujum barisan ke uung
barisan yang lain. Tiap kali ia meliwati anggota mapalus yang berdiri dalam
barisan, ia menreima cambukan dari kiri dan kanannya sebaba iba menghindari
cambukan dengan berlari cepat. Cvambukan-cambukan yang diberikan padanya
disebut “mareng I lele” (kembalikan lidi) maksudnya, kalau pada waktu mapalus
si marantong banyak memberik cambukan kepada anggota-anggotanya, sekarang
pukulan-pukulan itu dikembalikan kepadanya. Permaianan mareng I lele betujuan
menghilangkan rasa dendam ia harus berlari hilir mudik higga semua berkas lidi
yang dicambukkan kepadanya rusak atau musnah semuanya. Oleh karena betisnya
dibungkus dengan kain tebal maka cambukan-cambukan itu tidak sampai melukakan.
Sesudah marantong menerima bagianya tibala giliran anggota-anggota saling
bercambukan.
Permainan
ini ditutup dengan makan minum bersama yang disediakan oleh tiap-tiap anggota
mapalus itu. Sekarang jenis permainan ini sudah jarang dilaksanakan orang.
Jenis permainan inilain seperti bola kaki, bulu tangkis dan sebagainya juga
sangat digemari orang banyak.
PROYEK-PROYEK PEMBANGUNAN
Salah
satu usaha pemerintah desa untuk memajukan pertanian ialah membuat kebun
percontohan sebagai proyek Latihan bagi masyarakt petani Tondei. Kebun itu
dibuka pada bulan Juli 1984 di bawah bimbingan tenaga-tenaga akhli dasri BLPP
(Balai Latihan Pegawai Pertanian) Kalasey Manado. Pemerintah desa Tondei boleh
mengirim beberapa orang ke BLPP Kalasey untuk dilatih dalam mengolah tanah,
cara memakai pupuk dan sebagainya. Selesai latihan mereka kembai ke Tondei
untuk membimbing para petani dengan kebun percontohan sebagai arena latihan.
Hasil tanaman kebun percontohan dapat dijual untuk dana pembangunan desa.
Dalam
usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemerintah desa berdaya upaya agar
Proyek Air Minum dapat selesai dalam tahun ini juga. Pipa-pipa dari berbagai
ukuran dibeli di Manado dan sebagainya telah dipasang, sumber air terletak
kurang lebih 1 km di sebelah timur desa. Walaupun baru 60 % selesai tetapi
sebagian rakyat Tondei sudah dapat mempergunakan air ledeng tersebut.
Demikian
proyek-proyek pembangunan yang sedang dihadapi masyarakat Tondei sekarang ini.
PENUTUP.
Desa
Tondei yang terletak ditengah tengah ribuan pohon nyiur dan cengkih serta aren
merupakan desa yang berpotensi ekonomi pertanian . Ratusan ton kopra dan
puluhan ton cengkih dihasilkan desa Tondei, namun masalah yang dihadapi desa
ini adalah sarana transportasi . Ruas jalan Tondei Motoling sepanjang 14
km sebagian besar tidak dialas batu sehingga jika musim penghujan tiba,
jalannya sangat sulit dilalui oleh kendaraan, bahkan roda sapi pun sangat
kesulitan untuk melalui jalan tersebut terutama ruas jalan antara Tondei Raanan
Baru.
Masyarakat
berharap, jalan ini mendapat perhatian pemerintah.
Tondei, 6 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar