Rabu, 07 November 2012

SEBUAH NOVEL: MENTAL PAMONG PRAJA INDONESIA MASA KINI


MENTAL PAMONG PRAJA INDONESIA MASA KINI
Oleh Iswan Sual, S.S

Matahari belum terlalu tegak berdirinya. Namun, kami sudah seperti cacing yang berteriak-teriak minta tolong. Panas! Aku sendiri heran kenapa sang kepala sekolah mendapat ide gila memuat puluhan siswa di atas sebuah truk. Kami diperlakukan seperti sapi yang beberapa waktu lagi akan dijagal. Padahal, dana BOS tidak perlu dihemat dengan cara tidak manusiawi seperti  ini. Sialnya, gara-gara aku hanyalah seorang honor yang masih bujangan, aku dianggap layak untuk dibuat teraniaya. Sementara para guru lain dengan modal seragam PNSnya bertindak seolah bos-bos yang harus dihormati. Sialan! Bagusnya hanya pada seragam. Di dalam kelas seperti keledai saja. Tak mengajar sama sekali.
“Sir, kenapa cuma sir yang nda gabung ta panas-panas deng torang di sini? Nda adil dorang kang sir?” ketus salah seorang siswi. Aku hanya senyum kecil.
Sangatlah tidak pantas bila aku harus menceritakan perasaanku yang sebenarnya pada seorang gadis yang belum cukup pengertiannya. Lagipula aku tak mau menjelek-jelekkan guru-guru lain itu di depan para siswa. Walaupun sebenarya ketidaktahuan mereka mengajar begitu dikenal oleh para murid. Memang, terkadang guru tidak menyadari bahwa sebenarya siswa lebih banyak tahu dari yang kita sebagai guru kira.
Sesampai di ibu kota kecamatan, para guru-guru PNS  dengan pongah memerintah saya supaya mengarahkan para murid ke lapangan dimana upacara bendera akan dilangsungkan. Aku minta mereka agar sabar dengan murid karena mereka sedang capek karena kegerahan. Guru-guru itu terus mendesak gara-gara upacara sudah sementara berlangsung. Ternyata kami datang terlambat. Dengan langkah diam-diam kami masuk ke barisan. Terpaksa siswa-siswa rombongan kami harus menyambung di barisan sekolah lain sebab tempat yang disediakan sudah disabotase sekolah lain. Tentu, akan sangat kentara juga bila kami harus mencari tempat di depan. Akan lebih mempermalukan lagi sekolah kami. Satu persatu aku meminta siswa agar masuk dan menutupi barisan. Susah memang mengaturnya. Dalam situasi begini, seringkali siswa-siswi suka bergelagat. Mereka tahu sanksi tak mungkin diberlakukan. Aku menggunakan cara yang paling lembut untuk menenangkan mereka. Sudah itu akup pun mencari tempat di mana aku bisa berbaris. Yang kupilih adalah di belakang para siswa yang aku antar. Kebetulan berdekatan dengan barisan guru.
Anehnya, kini yang paling gaduh justru barisan para guru. Mereka saling bergantian berseloroh. Paling banter adalah kepala sekolahku sendiri. Leluconnya yang berbau porno menyihir para guru muda lain untuk larut dalam cerita-cerita itu. Barisan merekapun seperti ular. Semua memegang koran sebagai penutup wajah dan kepala. Sedangkan siswa mereka pelototi bila tidak berbaris dengan benar. “Ironis!”
“Istirahat di tempat grak!” teriak si pemimpin upacara.
“Ah lega,” ketus para siswa berbarengan.
Dalam situasi begini mana ada yang mau mendengar wejangan inspektur upacara. Dia seenaknya bicara pacang. Dia memang enak. Ada di panggung kehormatan. Terik matahari tak akan bisa menyengat mereka. Mereka juga bisa duduk. Mereka mengajarkan tentang perjuangan, mereka sendiri tak memberikan panutan. Mereka berperilaku persis seperti orang belanda yang suka perintah-perintah, sedangkan kami, distraf seperti tahanan. Dijemur di bawah panas yang tak punya belas kasih.
Aku masih saja berdiri tegak dengan kaki sedikit mengangkang. Kedua tanganku menyilang di belakang. Seperti diborgol. Aku membayangkan diriku persis seperti Walter Monginsidi yang siap dieksekusi oleh regu tembak. Peluh mengalir deras dari kepala. Punggungku sudah basah. Benar-benar basah. Barisan guru-guru semakin beringas. Tawa semakin melengking. Tiba-tiba seorang siswa perempuan terombang-ambing di atas tanah.
“Sir! Sir! Fista pusing, sir!”
Dengan cepat aku berlari menahan tubuh mungilnya sebelum memukul tanah. Siswa-siswa dari sekolah lain dengan sontak pun berkerumun.
“Sudah. Jangan dekat-dekat. Nanti dia tambah kepanasan. Kembali ke barisan!” kataku kepada mereke. Tampak siswa mulai berhamburan sambil mencari-cari air. Di barisan lain juga siswa terlihat satu per satu tumbang. Inspektur upacara masih saja terus bicara. Dia masih menbacakan sambutan tertulis bupati. Belum ada tanda-tanda mau berhenti. Itu baru sambutan tertulis bupati. Belum lagi sambutan lisan dari inspektur itu sendiri. Aku heran dengan pejabat di negara ini. Mereka suka sekali berkata-kata di depan banyak orang. Padahal kinerja mereka nol besar.
Setelah membaringkan siswi yang pingsan itu. Kulepaskan sepatunya. Dan kuminta siswa perempuan akar melonggarkan pakaian sehingga dia bisa bernafas bebas. Seketika itu juga kulihat semua siswa-siswi dari sekolah kami sudah tak ada lagi yang ikut dalam barisan. Semuanya telah berjalan mencari air. Mereka sudah tak tahan. Akupun setuju saja. Barisan guru-guru juga sudah bergeser ke bawa pohon untuk menghindari sengatan matahari.
***

Setelah upacara selesai aku bertemu dengan seorang guru dari ibu kota kecamatan. Dia lebih dulu yang menegur. Dari mobil jimmy dengan sok dia memamerkan kendaraannya. Aku dengan spontan berkata, “Eh so ta bae nga e!”
Dia dengan pongah menjawab, “Batabung no.”
Sungguh pongah. Mana bisa dengan gaji seorang PNS yang baru genap setahun sudah bisa memberi mobil seperti itu? Emang, gajinya berapa?
Aku jadi teringat masa lalu kami. Kami dulu sama-sama pernah terlibat dalam organisasi kemahasiswaan di tingkat fakultas. Sewaktu saya menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, dia adalah ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa. Saya di eksekutif. Dia di legislatif.
Dia pernah memohon-mohon padaku agar mendukungnya menjadi ketua. Saya berusaha membantu. Dan akhirnya dia menjadi ketua  MPM.
Suatu waktu saya mendapat tugas keluar daerah mewakili kampus. Selama saya pergi dia ternyata membuat kesepakatan diam-diam dengan pimpinan fakultas mengenai pemotongan beasiswa. Lima juta kantonginya. Itu adalah dana untuk organisasi. Tapi, dengan tamak dipakainya untuk pribadinya. Karena diuber-uber oleh anggota MPM lainya dia kembali meminta tolong kepada saya. Dengan tegas saya bilang saya tak bisa membantu dia. Karena jika demikian, sama saja turut menjadi koruptor seperti dia.
Jadi, mustahilah kalau dia sudah kaya sekarang kalau belum sampai setahun dia menjadi PNS. Menabung?

sebuah cerpen: BUNGLON


BUNGLON
Oleh Iswan Sual, S.S

Pantat kini panas karena lama telah saling gesek  dengan kursi kayu batang kelapa. Mata juga kian terseok-seok  menelusuri jalanan huruf  bertumpuk rapih di atas kertas putih. Tambah lagi penerangan terlampau kikir. Kuputuskan keluar dari gedung berisi berbagai buku itu saat itu juga.
Pas di depan gedung kurogoh ponsel lebar berwarna coklat dari kantong celana jinsku yang juga berwarna coklat. Kuambil beberapa gambar gedung itu dengan menggunakan kamera ponsel yang lumayan bagus hasilnya. Sebagai tanda mata bahwa aku sudah pernah berkunjung ke perpustakaan daerah sulawesi utara. Perpustakaan penampung buku antik.
Keadaan di atas kepala sana gelap pekat. Butir-butir air mulai berjatuhan dari langit. Namun, mobil di jalan yang lalulalang kian padat dan tergesah-gesah. Niatku untuk menyeberangi jalan terhadang.  Butir air kian banyak jatuh menghantam wajah. Maka akupun nekat menyeberang.
“Pemai ngana!” teriak sopir dengan mata hampir lepas.
Aku balas memandanginya dengan tatapan seorang waraney. Ca wana parukuan, cawana pakuruan. Kekesalan sang sopir tak bisa dilampiaskan karena begitu banyaknya penumpang dalam mikronya. Pasti akan ada lebih dari lima orang yang akan membentaknya bila ia tak mengurungkan niatnya untuk turun dan mengapa-apakan diriku.
Butiran air yang sebesar kerikil kecil semakin banyak turunnya. Calon pasukan Paskibraka yang ada di tengah lapangan berhamburan berlari menuju tribune yang berhadapan dengan kantor walikota kota Manado. Tak ada halangan buatku untuk kesana juga. Tribune itu adalah tempat berteduh yang tepat agar tak basah oleh tumpahan air dari langit.
“Baris! Baris! Cepat..cepat! Jang santai ngoni!”
Teriakan senior kepada adik-adik calon paskibraka itu membawaku ke masa lalu. Saat di mana aku masih sekolah di Amurang dulu. Kala itu kak Azis menarikku seperti babi yang haram bagi dia ke tengah-tengah lokasi pekuburan. Beberapa kali tulang keringku beradu dengan sudut-sudut runcing kubur.  Aku tahu bahwa aku sedang dibawa untuk ditakut-takuti. Memang benar. Saat tutup mata kubuka, aku dilepaskan begitu saja di kuburan yang baru berumur tiga hari. Lilin dan kransnya masih baru.
“Woi! Menghayal ngana!”
Tiba-tiba lamunan masa laluku kabur tungganglanggang kembali ke masa lampau. Kucari tempat untuk menaruh pantatku untuk beristirahat. Gadis-gadis bertubuh tinggi dan berambut pendek berdiri tegak. Dua kelompok barisan berhadapan. Kakak senior yang tak terlalu tinggi itu berdiri di tengah berkacak pinggang. Sungguh pongah! Senior-senior yang adalah anggota paskibraka tahun lalu bergentayangan di antara barisan. Yang  lelaki mencari-cari kesalahan perempuan. Begitu pula sebaliknya. Rasa ingin bersentunhan dengan junior  mereka samarkan dengan marah-marah atau atau pura-pura membetulkan atribut. Topi sering menjadi sasaran. Namun, gara-gara gugup, bukannya jadi betul malah menjadi kacau. Dasar senior! Ada-ada saja.
“ini sudah tanggal 12 Juli! Sekali lagi ya, ini sudah tanggal 12! Kok gerakkan kalian tak ada perubahan sih. Serius kwa kalu latihan. Biar le ada ngana pe tamang, pe orang tua, pe cowo ato cewe, pandangan tetap kedepan. Ngoni ini mo pikul tugas brat. Ngoni suka mo beking malu dang?”
“Siap tidak kak!”
Mataku mengunjungi peserta satu persatu. Di antara pasukan putri ada dua yang berjilbab merah. Sepertinya mereka kembar.  Lekuk tubuh masih nampak biarpun mereka menggunakan seragam treining yang sangat longgar. Kulit putih dan tubuh sintal mereka membangkitkan hasrat kelakilakianku. Wajah ayu mereka menimbulkan ingin untuk kembali ke masa lalu. Alangkah berbahagianya kekasih-kekasih gadis-gadis ini.
Sesekali pandanganku kulempar jauh bila tiba-tiba gadis-gadis itu membalas tatapanku. Dari kejauhan kulihat kain biru panjang bergelayut di pinggang gedung walikota. Di tribune dimana ku bertedu juga demikian. Kok bisa ya? Seharusnya kan berwarna merah putih. Aha! Betul-betul. Baru kuingat sekarang. Walikotanya seorang yang diusung oleh partai berwarna biru. Pantas saja gedung perkantoran kebiru-biruan. Di Tondano bulan lalu saat dilaksanakan kegiatan perkemahan pemuda, wilayah itu didominasi warna kuning. Kantor-kantor pemerintahan juga begitu. Ternyata bisa ya. Kantor dan fasilitas umum bisa diwarnai apa saja sesuka pejabatnya. Gedung-gedung dan kantor-kantor seperti bunglon yang kerap berganti warna bila penguasa berganti.

SEBUAH CERPEN: BUYUT


BUYUT
Oleh Iswan Sual, S.S

Sinar mentari perlahan merayap masuk melalui celah-celah jendela yang masih tertutup di kos Chintia. Gadis kuliahan semester lima yang punya tubuh sintal dan dikaruniakan Tuhan rambut dan kulit terang sibuk menempatkan piring dan sendok di atas meja untuk dikeringkan. Peralatan makan itu baru saja selesai dicucinya. Sedangkan Valeri pacarnya dengan belek besar di sudut mata sedang asyik pula dengan aktifitasnya. Bunyi tik tak tik berirama seakan sengaja diduetkan dengan bunyi piring dan sendok yang diletakkan satu per satu. Pagi yang lengang menjadi riuh menganggu para mahasiswa lain yang masih ngorok di kamar masing-masing.
Sudah dua tahun terakhir mereka menjadi pasangan kumpul kebo di kos-kosan Tataaran. Aktifitas keseharian mereka adalah kuliah di Universitas Negeri Manado. Mereka berdua termasuk mahasiswa panutan. Kartu Hasil Studi selalui dibanjiri nilai A dan B. Secara akademis, mereka tak mengecewakan orang tua. Namun yang pasti kebersamaan intim dengan status belum nikah adalah pengecualiannya. Itupun kalau ada teman sekampung punya mulut yang bocor membeberkan kehidupan bebas ala  Perancis sampai di telinga orang tua mereka.
“Apa kakak saya ada?” terdengar suara di depan pintu setelah Chintia membuka pintu yang baru saja diketuk pelan.
Sedikit Valeri mendongak memastikan siapa yang mencarinya. Rupanya Kandar adiknya. Dia seorang mahasiswa Jurusan Psikologi yang sangat menentang teori-teori Karl Jung murid Sigmund Freud pencetus teori Psikoanalisa. Pernah dia bilang bahwa pemikirannya lebih tajam daripada pemikiran Jung. Beberapa kali paper dan artikel yang telah dimuat di koran lokal dan nasional dipamerkan ke Valeri. Karena ketidakpahaman dan ketidaktertarikan, Valeri tampak bingung dan hanya mengangguk-angguk bak orang bijak baru saja membuat kesimpulan setelah proses perenungan sesuatu hal.
Kandar lain dari biasanya. Pakaiannya serba hitam. Raut wajah kusut dan lesu. Tak bertenaga. Bagai bunga kehilangan asa ketika tercerabut dari tanah.
“Kamu punya uang tidak?” tanpa dipersilahkan, dia duduk, “Saya mau beli pulsa untuk nelpon. Sepuluh ribu saja.”
Lebih dari dua kali Valeri menyebut kata “tidak punya”. Berbagai alasan meluncur dari mulut yang belum dibasuh. Bau nafas tersebar ke segala penjuru ruangan. Asam lambung Kandar meningkat. Sakit mag kambuh.
“Eh, Buyut sudah meninggal. Semalam dia ditembak Brimob,” suara yang sebenarnya ditahan-tahan keluar juga. Telah diusahakannya agar kalimat itu jangan terciprat agar kakaknya tak salah sangkah dengannya. Dia tak menginginkan kematian temannya menjadi alasan memalak secara halus kakaknya. Tapi, terpaksa harus. Pagi ini Kandar memang betul-betul tak memiliki sepeserpun. Padahal dia harus menghubungi teman-teman kelasnya dulu untuk memberitahukan kematian Buyut. Teman SMU-nya itu ditembak polisi jam 02.04 dekat poskamling pertigaan lorong inpres Tataaran.
Kandar menuturkan kronologi sambil menunduk tak berani menatap Valeri. Wajah masam nun gundah dirasa tak perlu dipertontonkan kepada kakaknya. Tak ada hubungan, pikirnya. Bagi orang yang tak kenal dekat, orang akan langsung menyimpulkan Buyut sebagai seorang preman yang suka mengganggu orang dan kerjaannya hanya mabuk melulu tanpa sedikitpun memikirkan masa depan. Tetapi bagi Kandar dia adalah penyelamat. Bukan hanya sekali Kandar dibantunya saat dompetnya kosong melompong. Berhari-hari makan di rumahnya. Berteman dengan seorang anak Tataaran adalah sebuah keuntungan. Jiwa sosial Buyut melebihi khotbah-khotbah pendeta di atas mimbar. Dia lebih banyak mempraktekan kasih. Sedangkan pendeta lebih suka menghipnotis jemaat dengan khotbah yang ujung-ujungnya meyakinkan jemaat bahwa mereka sebagai pendeta berhak menerima bagian sebagai golongan Lewi. Padahal jelas diuraikan oleh Alkitab bahwa golongan Lewi perlu diberi karena mereka tak mendapatkan warisan di antara anak-anak Yakub yang lain. Apakah pendeta orang Lewi? Apa mereka tidak mendapat warisan dari orangtua mereka?
Setelah memberi uang Rp 10.000 Valeri mulai berkemas. Chintia turut membantu memasukkan pakaian ke dalam tas. Juga dua buah kamus Inggris-Indonesia yang disusun John Echols dan Hassan Shaddily dititip untuk diberikan kepada dua adiknya yang baru saja masuk Sekolah Menengah Pertama di kampung. Ada sedikit rasa bersalah timbul di lubuk hati  Valeri karena sudah agak kikir pada adiknya yang hendak membantu keluarga Buyut yang dirundung duka nestapa. Bagaimana tak berduka? Buyut adalah anak satu-satunya. Pekerjaannya sebagai supir sudah menopang ibunya 10 tahun terakhir.
“Aku jalan dulu ya,” kata Valeri tanpa disahut oleh satu orangpun dalam kamar kos bercat biru laut itu. Warna biru ikut-ikutan memperkuat simbol duka semua orang dalam kamar. Hanya anggukan yang diterima Valeri. Kandar keluar kamar lebih dahulu. Sementara Chintia berupaya menahannya sebentar agar mendapat kecupan dan dekapan mesra sang pujaan hati.
Rasa gembira pulang kampung tak memacuh langkah Valeri. Biasanya pulang kampung selalu menjadi sebuah episode hidup yang menyenangkan. Kini, Valeri telah berada di jalanan. Kendaraan serasa mau menyenggol tapi diabaikannya. Valeri berjalan dengan perhatian buyar. Rasa bersalah pada Kandar. Rasa bersalah pada Buyut. Sentuhan kasih Buyut semasa dia hidup pernah dirasakannya. Bukan hanya pernah. Beberapa kali malah. Dan selalu terjadi ketika dia turun dari mikro. Biaya ongkos angkutan selalu saja dibebaskan Buyut. Sampai-sampai Valeri enggan lagi menumpang di mikro yang dikendarai Buyut. Buyut…Buyut. Tampangnya saja yang serem. Tapi dia begitu dermawan. Valeri bergumam.
Sekarang ini Valeri telah berada di atas bus menuju kota Manado. Dia akan menempuh rute yang panjang hari ini. Tataaran-Karombasan-Pasar 45 (untuk beli buku di toko buku Gramedia)-Malalayang-Amurang-Tondei-Pelita. Keempat roda bus laju melunjur menanjak melewati bukit Kasuang. Tiba-tiba bus terhenti. Kerumunan orang dengan sepada motor, jumlahnya kurang lebih 300an nampak standby di depan kantor PLN Kaaten Tomohon. Beberapa orang terdengar mengeluarkan keluhan. Bahkan disertai makian. Kutempelkan mataku ke kaca jendela. Melihat-lihat apa yang sebenarya berlangsung. Mengapa begitu banyak orang berkerumun? Seperti ada kampanye. Begitu bus maju dua langkah, aku membaca spanduk putih dengan tulisan, “Buyut, kami siap sedia menggiringmu ke surga.”
Air mata sontak tumpah. Tak lagi dapat kubendung. Dalam diam tertahan Valeri sesenggukan. Dia dikuasai emosi. Ratapan seakan mau pecah. Terucap doa, “Ya Tuhan, terimalah anakMu Buyut. Ampunilah dia yang memukuli polisi kala dia tengah mabuk. Dia bukan orang jahat. Dia hanya sedikit nakal. Maklum anak muda. Ampunilah pula polisi yang menembaknya. Dia juga masih mudah. Masih berdarah panas. Tak dapat menahan emosi. Ampunilah . Mereka hanyalah manusia biasa. Yang tak lepas dari salah. Amin.

28 Juli 2012

sebuah cerpen: ketika kita kehilangan


KETIKA KITA KEHILANGAN
Oleh Iswan Sual

Wany sampai di rumahnya saat hari belum gelap. Begitu lega dia saat mencium aroma rumah. Dia senang karena sempat memberi tumpangan kepada seorang ibu dan anaknya sewaktu dalam perjalanan tadi. Kebanggan membantu orang itu nampak pada wajahnya yang berseri-seri.
Sementara karena tak muat, sang suami dan bapak itu ditinggal saja. Dia harus membetulkan rantai sepeda motornya yang putus. Tadi, sewaktu melihat motor mogok, Wany menepi dan menegur sekeluarga itu. Tampak seorang wanita dengan seorang anak lelaki yang masih kecil duduk pada batu-batu timbul yang besar. Menunggu. Si suami yang bernama Yohanes begitu  Kuat konsentrasinya. Hanya sekali saja dia menoleh pada Wany. Rantai yang putus berusaha diperbaikinya dengan hanya menggunakan tang dan obeng.  Dia memiliki keyakinan pasti sanggup memperbaikinya sebelum hari menjadi malam. Mungkin sudah sering dia mengalaminya.
Wany memang tak tahan melihat orang dalam kesusahan. Dia berupaya memberi bantuan selama itu bisa dilakukannya. “Dimana jo ngana, jangan lupa tolong orang laeng yang susa,” itulah didikan orang tua dan gurunya yang senantiasa dia ingat sampai sekarang.
“Kyapa?” sapa Wany dengan bahasa Melayu Manado pegununungan yang berarti ‘kenapa’ sambil mendorong kaca helem keatas untuk menyingkap wajahnya agar gampang dikenali.
“Putus tu rante no,” jawab Yohanes sambil terus bekerja.
“Kalu kita, ta so nda tahu mo beking bagimana itu,” Wany memberikan komentar merendah diri yang juga sebagai kata lain  bahwa dia tak bisa bantu apa-apa.
Bulan lalu, sewaktu sepeda motor Wany mendadak mati,  si Yohaneslah yang membantu menariknya dengan menggunakan tali rafia hingga mencapai rumah. Kalau tidak ditolongnya, tentu waktu itu Wany harus mendorong sepeda motornya sepanjang 3 km. Dan pasti itu akan sangat melelahkan. Jalan Tondei yang rusak dan bertanjakkan jauh akan menyukari Wany yang tak biasa. Mungkin ia akan tiba di rumah ketika sudah jauh tengah malam.
“Nintau lai kyapa ona ini motor korang putus-putus rante. Padahal baru ki’i ganti gir deng rante minggu lalu. Dorang bilang kata gir so tajam. Baru ganti no,” keluhan sang istri tampak begitu dalam. Menyiratkan kerisauan tak terselam.
Yohanes memang seorang suami yang rajin. Namun pendapatan mereka kadang tidak cukup untuk mengongkosi kehidupan mereka sehari-hari. Anggaran rumah tangga lebih banyak beralih kepada sepeda motor yang sudah menjadi seperti anggota keluarga bagi mereka.
Walaupun keadaannya kini memprihatinkan, tapi Yohanes tak berani sedikitpun meremehkan bantuan yang telah roda dua itu lakukan. Meskipun sering mogok, perjalanan jauh setiap hari menjadi ringan sejak kehadirannya. Sebagai imbalannya dia harus terus diberi perawatan yang tak murah.
Wany ingin memberikan tumpangan bagi mereka. Terutama kepada  si wanita dan anak yang masih berumur jagung itu. Tapi dia sedikit ragu. Bukan karena dia pelit. Cuma, dia tak mau saja disangka maniso. Istri Yohanes memang sungguh elok. Namanya Syuli. Kalau tak kenal, pasti dia akan disangka sebagai seorang  gadis.  Kulitnya yang putih dan bodinya yang aduhai menyimpan kenyataan bahwa dia telah menikah dan memiliki dua orang anak.
Wany tak mau saja dianggap berusaha menolong karena ingin bersentuh-sentuhan dengan Syuli. Apalagi akhir-akhir ini ada beberapa kasus perselingkuhan di kampungnya. Dia tak mau masuk dalam daftar orang-orang yang akan terusir dari kampung.
“kita smo kamuka dang ne,” kata Wany. Menunggu dan berharap mereka  memintanya bantuan.
Secepat kilat Yohanes memalingkan wajah ke istrinya yang sedang duduk pada bebatuan timbul di pinggir jalan. Istrinya nampak lelah. Penuh keringat. Seumpama gembel perawakannya.
“Ato ngana nae jo motor deng Wany,” kata Yohanes kepada istrinya sambil menghentikan pekerjaannya sejenak. Tangannya yang penuh oli tanpa sadar menyeka wajahnya. Wajahnya kini belepotan. Terlihat dia mempercayai Wany. Mungkin pikirnya, “Tak mungkinlah seorang pelayanan Tuhan melakukan yang macam-macam pada istrinya.” Padahal, yang paling sering berselingkuh bahkan korupsi di negara ini justru mereka yang menyebut diri sebagai hamba Tuhan dan pelayan rakyat.
Wany juga tak menyangka dia hendak membiarkan tubuh istrinya bersentuhan dengan tubuh Wany. Sungguh tak akan  Wany lakukan bila Wany beristri nanti. Tubuh muda istri Wany tak akan pernah bersentuhan dengan tubuh orang lain. Jalan Ongkau ke Tondei yang sarat dengan lubang dan batu besar timbul, tak mungkin dapat menghindarkan mereka dari persentuhan. Tentu guncangan-guncangan akan membuat mereka bersentuhan. Jarak 9 km cukup lama untuk Syuli memasrakan hidupnya pada Wany. Saat sepeda motor Wany rem dia akan mendekat. Saat Wany kencangkan, dia juga akan mendekat. Jadilah mereka seperti sepasang remaja yang sedang pacaran di atas sepeda motor. Suasana akan begitu romantis ketika mereka melihat pemandangan sekitar yang begitu indah. Deretan pohon nyiur dan cengkih begitu menggiur. Gunung Lolombulan dan Sinonsayang kehijau-hijauan akan menghadirkan suasana tenang hingga Wany akan tersihir untuk melambatkan sepeda motor supaya kebersamaan dan sentuhan boleh berlangsung lama.
“Sudah?” tanya Wany pelan. Sepeda motor bergerak. Mesin mulai berteriak-teriak menginjak-injak kerikil tajam dan batu-batu timbul.
“Sudah,” jawab Syuli terlambat. Suara dengan nada datar, terdengar begitu ringan sampai memabukkan teling Wany. Sungguh suara yang lembut. Oh Syuli nama yang elok bak Yuli kekasih hati Romeo.
Sewaktu Syuli menaiki sepeda motor tubuh Wany gemetar kecil. Wany penasaran dengan lembutnya tubuh seorang wanita bersuami dan beranak satu itu. Wanita dengan pengalaman-pengalaman biologis yang cukup lama. Wany sendiri, kalau dia mau jujur, belum pernah merasakan hal yang demikian. Paling-paling dia hanya pernah menyaksikan dalam adegan-adegan film biru yang disuguhkan secara paksa oleh teman-temannya sewaktu masih bersekolah di SMU Tombasian. Berbagai jenis gaya dan aliran sudah dia lahap semua. Itu nanti akan jadi rujukan ketika menikah nanti. Di umurnya yang sudah hampir tiga puluh dia bukan makin tambah bijak namun libidonya semakin mendesak. Kadang dia merasa sulit menahan desak-desakan badani itu. Kadang terpikir untuk segera menikah supaya dia bisa menyalurkan segala nafsu alamiah itu. Tapi, dia tak ingin menjadikan itu sebagai alasan utama untuk masuk dalam rumah tangga. Dia tahu, tidak sedikit pernikahan yang hancur karena hubungan kelamin yang diutamakan daripada keterkaitan batin. Kalau pernikahan sinonim dengan hubungan badan, berarti kita tak beda jauh dengan hewan. Pikirnya.
Seperti yang ia duga. Semakin jauh roda sepeda motor berlari, pegangan Syuli kian erat. Tangan Syuli membuat Wany membagi konsentrasinya. Mengemudi dan menahan gidik dan geli.
Wany memang seorang yang kolot.  Waktu yang diberikan Tuhan lebih banyak dia habiskan dengan membaca. Otaknya penuh dengan teori tapi semua itu sulit baginya dibuat jadi. Dalam hal wanita dia selalu angkat tangan. Tak punya waktulah. Ada yang lebih diutamakanlah. Pokoknya, tak pernah dia kehabisan jawaban ketika ditanyai perihal wanita. Faint heart never wo  fair lady. Orang yang penakut takkan mendapat seorang gadis yang cantik. Itulah pepatah Inggris yang menggambarkan Wany. Bagi dia, buku adalah teman sejati. Kemana-mana buku selalu membuntutinya. Tapi bagi orang lain, bukulah yang menghantuinya. Sungguh kasihan. Rugi kalau dia tak punya keturunan. Wany seharusnya mengabadikan dirinya. Dia harus menyambung turunan. Hidungnya yang mancung, otaknya yang cerdas, sifatnya moralis adalah tipe manusia surga. Dia termasuk dalam golongan orang suci. Ya dia pantas diberi gelar santo. Dia juga adalah manusia pilihan. Dalam hal wanita dia kalah. Tapi bukan berarti sifat itu membatalkan dia untuk masuk dalam kategori santo atau orang pilihan. Tentu di jaman modern tidaklah sulit mendapatkan keturunan dari dia. Kloning adalah jalan keluar bagi jenis manusia individual.
Kini misi menyelesaikan 9 km hampir selesai. Sedikit lagi Syuli turun. Selama perjalanan Syuli tak sedikitpun bicara. Walau hanya sekedar basa-basi. Saat dia menapakan kaki ke pijakan sepeda motor seperti dia langsung di nontaktifkan oleh suaminya. Ini untuk mencegah supaya tidak terjadi sesuatu yang buruk di antara kami. Jadinya Wany seperti menggonceng kayu. Benda tak bernyawa. Wany sedikit kesal sekaligus bersyukur. Kesal, karena sebagai manusia dia yang diposisikan hanya sebagai tukang ojek. Syukur karena niatan buruk akhirnya tak menjadi kenyataan. Wany tentu bahagia. Dia lolos lagi dari satu ujian hidup.
Wany mengantarkan Syuli dan anaknya sampai depan rumah mereka. Begitu kendaraan beroda dua itu berhenti, Syuli diaktifkan oleh suaminya dari jarak jauh. Mereka ternyata memiliki telepati yang terlampau  kuat. Banyak rumah tangga yang berantakan akhir-akhir ini sebab mereka (pasangan suami istri) tak memiliki telepati. Saat bersama orang lain seringkali mereka lupa diri. Lupa anak bini. Lupa anak dan suami.
“Singgah kwa e,” kata Syuli saat kedua kakinya dan anaknya menginjak tanah. Senyuman Syuli begitu mesra. Pasti suaminya bahagia punya istri seperti Syuli. Dia rela tubuhnya lelah, lecet dan tergores karena menopang suami di kebun. Tak banyak lagi perempuan seperti Syuli di jaman sekarang. Kebanyakan sesamanya lebih banyak sibuk dengan urusan rambut: cat warna, rebonding, keriting,  keramas, busana, bedak dan segala tetekbengek yang sebetulnya tak penting itu. Wanita masa kini suka sekali dimanja suami. Mereka jadi bergantung dan tak lagi mandiri. Tak heran mereka banyak menjadi korban keganasan pria. Banyak suami meninggalkan istri karena mereka tak menjalankan tugas sebagai penolong yang sepadan. Mereka menjadi beban. Ketika suami tak mampu lagi membeli mereka pakaian yang bagus, bedak, cat kuku, lipstik, pewarna rambut, sepatu berhak tinggi, dan rupa-rupa barang lain, maka menuding suami tak lagi sayang. Harta dan materi telah menjadi ukuran sayang dan cinta bagi mereka.
Syuli sangatlah berbeda. Dia tak suka berias, kecuali saat ke pesta. Dia tak suka ikut-ikutan mengecat rambut. Karena itu hanyalah pemborosan. Wany terpesona dengan Syuli. Walaupun Wany sendiri tak tahu pasti apa Syuli menjalani hidup itu karena panggilan atau karena tak ada pilihan.
Hidup ini sangat sulit dimengerti. Kita tak boleh menilai hanya dari  kulitnya saja.
Namun, paling tidak, meskipun tak tahu pasti, Syuli adalah salah satu panutan di antara para wanita masa kini.
“Smo langsung pigi ini. Banya kerja lai,” Wany menjawab cepat. Kalau Syuli pintar, pasti dia memahami kegalauan hati Wany. Dia sedang bergulat dengan dirinya sendiri.
Sesampai di rumah Wany melepaskan satu per satu pakaiannya. Jaket dua lapis membuatnya kepanasan. Dia kini harus membuang ingatan tentang Syuli. Tak baik memikirkan istri orang terus. Lama-lama Wany bisa menginginkannya. “Janganlah kamu mengingini kepunyaan orang,” itu adalah satu satu hokum yang ditetapkan Tuhan. Wany hafal betul ayat itu. Dia menuju pintu dan membukanya.
Ibu Wany tak bersuara melihat kedatangannya. Padahal selama tiga hari belakangan dia tak berada di rumah. Wany juga tak ingin tergesa-gesa menyimpulkan bahwa orang tuanya tak peduli. Hanya senyum kecil yang nampak dari wajah Ibunya.
Teringat di kantong ada amplop putih pemberian orang. Wany kembali tersenyum lebar. Dia tahu ada uang sejumlah besar dalam kantong jaketnya. Selesai memberi  kuliah tadi dia diberi amplop putih. Biaya transpor. Para mahasiswa memberi tanpa diminta. Mungkin mereka iba melihat dosen mereka yang tak seperti dosen lainnya yang datang dengan mobil mewah tapi selalu memeras mereka dengan biaya diktat dan lain sebagainya. Rencananya uang Rp. 200.000 itu akan dia gunakan membayar cicilan laptop yang baru diambilnya dari teman.  Wany sudah lama mengimpikan punya laptop. Bakat terpendamnya, menulis, bisa tersalurkan lewat benda itu.
Muncul perasaan bangga. Jerih payahnya tidak sia-sia. Tak rugi dia giat belajar sewaktu kuliah. Semua itu sangat berarti. Dia so pasti berhak menikmati. Senyum di wajahnya kian mengembang.
Tak sabar melihat uang itu, diapun merogoh sakunya.
“Apa?! Tidak mungkin!” detak jantung berhenti mendadak. Dia coba memastikan lagi. Tak ada amplop di kantong jaket birunya. Dilihatnya dengan seksama tapi tak ditemukan. Wany terduduk lemas. Pikirannya berjalan jauh ke belakang. Kembali menyusuri perjalanan jauhnya.
“Tidak mungkin!” keluhnya sedih.
Kali ini dia mencurahkan semua barang dalam tas punggung. Semua kantong pakaian digeledanya. Tapi tak ada.
“Pasti sudah hilang,” keluhnya putus asah.
Dia merenung.
“Mungkin ini adalah akibat karena pikiran mesum sewaktu menggonceng Syuli,” Si Wany lain mulai mempersalahkan diri.
Tak tahan dengan perasaan kehilangan itu, Wany bercerita ke orang tuanya.
“Terima jo kenyataan. Anggap jo tu doi itu pengganti soe-soe yang mungkin ngana da alami di perjalanan tadi,” kata ayah Wany.
Wany heran dengan komentar ayahnya itu. Itu pandangan yang sangat tak kristiani.
“Ada kore’e doi cuma asal taru. Nda guna re’e ada dompet,” sembur ibu menyalahkan.
Ibu Wany memberikan koreksi pedas. Tak satupun dari orangtuanya yang paham perasaannya. Dia tak mendapat penguatan. Dua-duanya sesat menyalahkan.
Wany masuk kamar dan dia berdoa. Dia berpikir dengan berdoa dia akan memperoleh ketenangan.
Tuhan, kita perlu doi. Mar kalu doi itu nda ciri di Tondei, muda-mudahan orang dapa supaya doi itu berguna for dorang. Kalu ada yang sengaja ambe dari kita pe popoji, beking tu doi itu tabale pakita spaya dia nda jadi papancuri.
Walaupun tak langsung hilang, kegalauan dan rasa kehilangannya berangsur-angsur meninggalkan Wany usai dia berhubungan dengan Tuhan. Sekian.

Selesai Pukul  16.00
Minggu, 16 Oktober 2011