Warisan
Oleh Iswan Sual
Ari dan Soni datang ke rumah dalam keadaan setengah sadar. Badan mereka kini berbau
alkohol. Walau malam sudah sangat larut ibu dan ayah bangun dan membukakan
pintu untuk mereka. Mereka berbicara dengan kata-kata yang samar dan terkesan
ngawur. Namun, intinya adalah meminta (mendesak) agar mereka dibolehkan untuk
ikutserta memetik buah cengkeh di kebun milik ayah. Penolakan atau larangan tak
muncul dalam pikiran. Apalagi keluar lewat ujaran. Ayah menyarankan agar kedua
kakak tiri saya itu segera tidur berhubung keadaan mereka sudah tidak
memungkinkan terjadi pembicaraan yang terarah dan sehat. Mendadak mereka marah
pada ayah dan melemparkan kata-kata tak pantas dan keliru. Memang bukan baru
tahun ini saja mereka datang dalam keadaan teler sambil mengancam supaya ayah
memberikan hak mereka sesuai dengan perjanjian ketika ayah bercerai dengan ibu
mereka. Waktu itu mereka masih berumur lima dan tujuh tahun. Sedih aku
membayangkan nasib mereka menjadi bingung dan terlantar.
“Ayah, diijinkan atau tidak besok kami akan memetik.”
“Iya…siapa bilang tidak boleh. Jangan dulu besok. Buah belum
bisa dipanen. Tunggulah barang seminggu lagi,” dengan lembut ayah bertutur.
“Ayah sangat tidak adil! Ayah tidak mau mengerti keadaan
kami. Hidup kami sudah siksa di Manado. Kami butuh uang untuk menyekolahkan
anak-anak kami,” Ari meracau dengan tangisan menggema ke sekitar. Terdengar
suara ribut anjing menyalak. Mereka mengira telah pecah perang dunia ketiga.
“Iya ayah memang tidak adil. Wailan terus yang diperhatikan
dan disayang. Kenapa sih ayah tetap membeli dia sepeda motor. Kenapa ayah tak
membiarkan dia sendiri yang mencari uang untuk keperluannya. Diakan sarjana.
Dia…ini memang tak tahu diuntung. Bukannya cari kerja, malah nganggur di kampung
dan tiap hari makan tidur saja,” Soni yang tidak terlalu terpengaruh dengan
minuman keras terdengar lantang bersuara menyampaikan unek-uneknya. Aku di
kamar terpukul. Satu per satu air mata menitik membasahi bantal di mana
kepalaku bersandar. Bisa saja aku keluar dan membela diriku atas apa yang
barusan Soni katakan. Tapi itu tak akan menyelesaikan masalah, pikirku. Justru,
bisa timbul perang saudara di tengah malam buta. Aku hanya bisa bergumam.
Menjelaskan pada diriku sendiri bahwa semua yang disangkakan tidaklah benar.
Aku sama sekali tidak pernah memaksa ayah membeli sepeda motor untuk
kepentinganku pribadi. Juga, aku tidak makan dan tidur, nganggur dan mencukur
harta orang tua pelan-pelan setiap hari. Kepulanganku di kampung atas dasar
ingin dekat dengan orang tua dan ingin mengabdi dalam dunia pendidikan bahkan
gereja. Aku mengajar di dua sekolah. Aku juga aktif melayani di komisi pemuda.
***
Malu karena semalam keluarga kami menciptakan keributan, ayah
dan ibu mengajak aku ke kebun. Kebetulan hari libur. Hari raya Idul Adha. Hari
yang memperingati pembuktian Abraham akan imannya kepada Tuhan dengan cara
hendak mengorbankan Ismail (bagi umat Kristen dan Yahudi: Ishak. Bukan Ismael)
di bukit Moria. Matahari belum nampak ketika kami bergegas menuju lahan
perkebunan yang dinamakan Mesel. Kami tiba di kebun menjelang pukul sembilan. Kami
tidak langsung bekerja. Biasanya dimulai dengan membuat api di gubuk untuk
memasak air dan sayur. Kadang-kadang juga ubi atau pisang.
“Ayah, saya menyimak percakapan ayah dengan kakak tadi malam.
Sudah bertahun-tahun itu terjadi berulang kali. Kalian beradu mulut soal
sebidang tanah yang mereka akui sebagai mahar untuk ibu mereka. Itulah yang
membuat mereka getol…,”
“Cukup! Kamu rupa-rupanya ikut membela…. Asal kamu tahu ya….orang
tua saya tidak pernah memberikan tanah itu sebagai mahar kepada ibu mereka. Itu
hanya cerita angin yang terus didengungkan oleh kakek mereka!” suara ayah
meninggi.
Belum tersampaikan maksud tapi keberanianku telah dicabut.
Aku mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain yang tak berguna tapi penting.
Ranting yang kupatahkan kugores-goreskan di tanah untuk menuliskan sesuatu yang
belum kutahu. Ya, itu hanya sebuah wujud pengalihan emosi. Seperti seorang anak
yang menggaruk-garuk kepala bila ditanya guru kenapa tidak membuat PR.
Ibu hingga kini tak mencampuri perbincangan dua lelaki beda di umur di
hadapannya. Bukan tak peduli. Bukan cuek. Dia hanya hati-hati. Karena situasi
mulai memanas. Takut terjadi kekeliruan dan kesalahpahaman.
“Begini ya, bukan maksudku menyalahkan ayah atau membela
kakak. Tapi, aku juga punya hati. Aku mencoba menempatkan diriku sebagai mereka
yang pernah terlantar semasa kecil dan hidup susah di kota Manado yang sudah
semakin materialistis. Dan yang akan aku katakan bukan mendesak ayah agar
mengijinkan atau tidak mengijinkan. Yang akan kukatakan lain tapi berkaitan.
Saya mengusulkan agar ayah membicarakan bersama dengan semua anak soal warisan.
Sebaiknya warisan itu segera ditetapkan ini untuk siapa dan itu untuk siapa,”
kataku dengan pilihan kata yang terlalu hati-hati agar dimengerti.
“Saya punya hak untuk memberi atau tidak memberi. Lagipula,
kenapa bicara soal warisan. Saya belum mati. Saya berhak menikmati yang saya
tanam sendiri…. Selagi saya hidup saya yang menguasai. Kalian, anak-anak tidak
perlu masuk campur!”
Semua usahaku untuk meyakinkan dengan pilihan kata yang
sesuai dengan teori komunikasi tidak mempan di telinga ayah. Tanggapan yang aku
harapkan bukan itu yang datang. Malah, bertolak belakang.
“Maksud saya begini yah, saya bukanya menuntut supaya harta
warisan yang merupakan bagian kami diserahkan sekarang. Bukan. Bukan itu maksud
saya. Yang saya maksud, kepada kami, secara bersama, ayah sudah harus
menyampaikan bagian kami masing-masing. Supaya suatu saat nanti, bila ayah
sudah tiada, kami tak perlu lagi berebut. Sebaliknya, kamu sudah tahu mana
punya kami dan mana punya saudara kami. Yang saya maksud baik, yah.”
Ibu turut menambahkan argumentasi mendukung ikhtiar saya.
Namun, ayah merasa dia ditekan dari berbagai arah dan terdesak. Terpojok.
Naluri hewaninya muncul. Naluri untuk membela diri. Defensif.
Memang susah bicara dengan ayah. Kepintaran dan kebijaksanaan
orang lain banyak ditanggapinya sebagai sesuatu yang mengacam kredibilitasnya
sebagai seorang ayah.
“Saya hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kami.
Pada ibu. Mereka anak-anak dari istri pertama. Dan aku adalah anak dari istri
kedua. Apa ayah tidak mendengar kata-kata mereka semalam? Ada maksud mereka
hendak memperlakukan kami dengan buruk suatu saat. Jadi, sebagai jaga-jaga
marilah dari sekarang dibiasakan segala
sesuatu yang meyangkut banyak orang itu dibicarakan bersama.”
“Kamu tak usah risau dengan itu. Kalau aku sudah tiada, anak
tertualah yang akan menggantikan aku. Jadi, nanti Soni yang akan mengatur
semuanya.”
Kupejamkan mata selama dua puluh detik. Menahan linangan air
yang siap membanjiri pipi. Aku mengutuki diriku sendiri yang tak berhasil
membuat keadaan menjadi lebih baik. Justru kebalikan. Bagiku pemikirannya
sangat tak bijak. Dia seperti meninggalkan peda, pedang di antara kami
anak-anak. Buka aku berprasangka buruk kepada kakak-kakakku. Hanya saja,
kejadian tadi malam seharusnya menjadi pelajaran bagi ayah bahwa usulanku
benar. Tapi mengapa susah sekali ayah mengerti maksudku. Dia malah berpikir
bahwa aku sedang menuntut warisan darinya. Soe skali kita ini. Sial
benar nasibku. Mungkin aku harus banyak belajar lagi bagaimana berkomunikasi
dengan baik agar atau dapat meyakinkan ayah suatu saat nanti. Atau, diam saja
itu sudah cukup? Ah entahlah. Yang pasti aku sakit hati sekarang ini.
Setelah hampir lima menit terjadi keheningan di gubuk, aku
berdiri dan melangkah kedepan. Tanpa menoleh kebelakang sedikit pun. Di
kejauhan terdengar diskusi antara ibu dan ayah dimulai lagi. Tapi aku sudah tak
perduli. Dari kejauhan terlihat bentangan laut luas. Langit di atas kepala
sedikit cemberut. Senyum birunya tak ditunjukkannya. Kalau air mataku ini
mengalir terus hingga sehari saja, mungkin bisa mencapai laut di depan
pandangan mata yang telah menjadi sumber air yang deras.
29 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar