Rabu, 07 November 2012

SEBUAH CERPEN: WARISAN


Warisan
Oleh Iswan Sual

Ari dan Soni datang ke rumah dalam keadaan  setengah sadar. Badan mereka kini berbau alkohol. Walau malam sudah sangat larut ibu dan ayah bangun dan membukakan pintu untuk mereka. Mereka berbicara dengan kata-kata yang samar dan terkesan ngawur. Namun, intinya adalah meminta (mendesak) agar mereka dibolehkan untuk ikutserta memetik buah cengkeh di kebun milik ayah. Penolakan atau larangan tak muncul dalam pikiran. Apalagi keluar lewat ujaran. Ayah menyarankan agar kedua kakak tiri saya itu segera tidur berhubung keadaan mereka sudah tidak memungkinkan terjadi pembicaraan yang terarah dan sehat. Mendadak mereka marah pada ayah dan melemparkan kata-kata tak pantas dan keliru. Memang bukan baru tahun ini saja mereka datang dalam keadaan teler sambil mengancam supaya ayah memberikan hak mereka sesuai dengan perjanjian ketika ayah bercerai dengan ibu mereka. Waktu itu mereka masih berumur lima dan tujuh tahun. Sedih aku membayangkan nasib mereka menjadi bingung dan terlantar.
“Ayah, diijinkan atau tidak besok kami akan memetik.”
“Iya…siapa bilang tidak boleh. Jangan dulu besok. Buah belum bisa dipanen. Tunggulah barang seminggu lagi,” dengan lembut ayah bertutur.
“Ayah sangat tidak adil! Ayah tidak mau mengerti keadaan kami. Hidup kami sudah siksa di Manado. Kami butuh uang untuk menyekolahkan anak-anak kami,” Ari meracau dengan tangisan menggema ke sekitar. Terdengar suara ribut anjing menyalak. Mereka mengira telah pecah perang dunia ketiga.
“Iya ayah memang tidak adil. Wailan terus yang diperhatikan dan disayang. Kenapa sih ayah tetap membeli dia sepeda motor. Kenapa ayah tak membiarkan dia sendiri yang mencari uang untuk keperluannya. Diakan sarjana. Dia…ini memang tak tahu diuntung. Bukannya cari kerja, malah nganggur di kampung dan tiap hari makan tidur saja,” Soni yang tidak terlalu terpengaruh dengan minuman keras terdengar lantang bersuara menyampaikan unek-uneknya. Aku di kamar terpukul. Satu per satu air mata menitik membasahi bantal di mana kepalaku bersandar. Bisa saja aku keluar dan membela diriku atas apa yang barusan Soni katakan. Tapi itu tak akan menyelesaikan masalah, pikirku. Justru, bisa timbul perang saudara di tengah malam buta. Aku hanya bisa bergumam. Menjelaskan pada diriku sendiri bahwa semua yang disangkakan tidaklah benar. Aku sama sekali tidak pernah memaksa ayah membeli sepeda motor untuk kepentinganku pribadi. Juga, aku tidak makan dan tidur, nganggur dan mencukur harta orang tua pelan-pelan setiap hari. Kepulanganku di kampung atas dasar ingin dekat dengan orang tua dan ingin mengabdi dalam dunia pendidikan bahkan gereja. Aku mengajar di dua sekolah. Aku juga aktif melayani di komisi pemuda.
***
Malu karena semalam keluarga kami menciptakan keributan, ayah dan ibu mengajak aku ke kebun. Kebetulan hari libur. Hari raya Idul Adha. Hari yang memperingati pembuktian Abraham akan imannya kepada Tuhan dengan cara hendak mengorbankan Ismail (bagi umat Kristen dan Yahudi: Ishak. Bukan Ismael) di bukit Moria. Matahari belum nampak ketika kami bergegas menuju lahan perkebunan yang dinamakan Mesel. Kami tiba di kebun menjelang pukul sembilan. Kami tidak langsung bekerja. Biasanya dimulai dengan membuat api di gubuk untuk memasak air dan sayur. Kadang-kadang juga ubi atau pisang.
“Ayah, saya menyimak percakapan ayah dengan kakak tadi malam. Sudah bertahun-tahun itu terjadi berulang kali. Kalian beradu mulut soal sebidang tanah yang mereka akui sebagai mahar untuk ibu mereka. Itulah yang membuat mereka getol…,”
“Cukup! Kamu rupa-rupanya ikut membela…. Asal kamu tahu ya….orang tua saya tidak pernah memberikan tanah itu sebagai mahar kepada ibu mereka. Itu hanya cerita angin yang terus didengungkan oleh kakek mereka!” suara ayah meninggi.
Belum tersampaikan maksud tapi keberanianku telah dicabut. Aku mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain yang tak berguna tapi penting. Ranting yang kupatahkan kugores-goreskan di tanah untuk menuliskan sesuatu yang belum kutahu. Ya, itu hanya sebuah wujud pengalihan emosi. Seperti seorang anak yang menggaruk-garuk kepala bila ditanya guru kenapa tidak membuat PR.
Ibu hingga kini tak mencampuri  perbincangan dua lelaki beda di umur di hadapannya. Bukan tak peduli. Bukan cuek. Dia hanya hati-hati. Karena situasi mulai memanas. Takut terjadi kekeliruan dan kesalahpahaman.
“Begini ya, bukan maksudku menyalahkan ayah atau membela kakak. Tapi, aku juga punya hati. Aku mencoba menempatkan diriku sebagai mereka yang pernah terlantar semasa kecil dan hidup susah di kota Manado yang sudah semakin materialistis. Dan yang akan aku katakan bukan mendesak ayah agar mengijinkan atau tidak mengijinkan. Yang akan kukatakan lain tapi berkaitan. Saya mengusulkan agar ayah membicarakan bersama dengan semua anak soal warisan. Sebaiknya warisan itu segera ditetapkan ini untuk siapa dan itu untuk siapa,” kataku dengan pilihan kata yang terlalu hati-hati agar dimengerti.
“Saya punya hak untuk memberi atau tidak memberi. Lagipula, kenapa bicara soal warisan. Saya belum mati. Saya berhak menikmati yang saya tanam sendiri…. Selagi saya hidup saya yang menguasai. Kalian, anak-anak tidak perlu masuk campur!”
Semua usahaku untuk meyakinkan dengan pilihan kata yang sesuai dengan teori komunikasi tidak mempan di telinga ayah. Tanggapan yang aku harapkan bukan itu yang datang. Malah, bertolak belakang.
“Maksud saya begini yah, saya bukanya menuntut supaya harta warisan yang merupakan bagian kami diserahkan sekarang. Bukan. Bukan itu maksud saya. Yang saya maksud, kepada kami, secara bersama, ayah sudah harus menyampaikan bagian kami masing-masing. Supaya suatu saat nanti, bila ayah sudah tiada, kami tak perlu lagi berebut. Sebaliknya, kamu sudah tahu mana punya kami dan mana punya saudara kami. Yang saya maksud baik, yah.”
Ibu turut menambahkan argumentasi mendukung ikhtiar saya. Namun, ayah merasa dia ditekan dari berbagai arah dan terdesak. Terpojok. Naluri hewaninya muncul. Naluri untuk membela diri. Defensif.
Memang susah bicara dengan ayah. Kepintaran dan kebijaksanaan orang lain banyak ditanggapinya sebagai sesuatu yang mengacam kredibilitasnya sebagai seorang ayah.
“Saya hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kami. Pada ibu. Mereka anak-anak dari istri pertama. Dan aku adalah anak dari istri kedua. Apa ayah tidak mendengar kata-kata mereka semalam? Ada maksud mereka hendak memperlakukan kami dengan buruk suatu saat. Jadi, sebagai jaga-jaga marilah dari sekarang dibiasakan segala  sesuatu yang meyangkut banyak orang itu dibicarakan bersama.”
“Kamu tak usah risau dengan itu. Kalau aku sudah tiada, anak tertualah yang akan menggantikan aku. Jadi, nanti Soni yang akan mengatur semuanya.”
Kupejamkan mata selama dua puluh detik. Menahan linangan air yang siap membanjiri pipi. Aku mengutuki diriku sendiri yang tak berhasil membuat keadaan menjadi lebih baik. Justru kebalikan. Bagiku pemikirannya sangat tak bijak. Dia seperti meninggalkan peda, pedang di antara kami anak-anak. Buka aku berprasangka buruk kepada kakak-kakakku. Hanya saja, kejadian tadi malam seharusnya menjadi pelajaran bagi ayah bahwa usulanku benar. Tapi mengapa susah sekali ayah mengerti maksudku. Dia malah berpikir bahwa aku sedang menuntut warisan darinya. Soe skali kita ini. Sial benar nasibku. Mungkin aku harus banyak belajar lagi bagaimana berkomunikasi dengan baik agar atau dapat meyakinkan ayah suatu saat nanti. Atau, diam saja itu sudah cukup? Ah entahlah. Yang pasti aku sakit hati sekarang ini.
Setelah hampir lima menit terjadi keheningan di gubuk, aku berdiri dan melangkah kedepan. Tanpa menoleh kebelakang sedikit pun. Di kejauhan terdengar diskusi antara ibu dan ayah dimulai lagi. Tapi aku sudah tak perduli. Dari kejauhan terlihat bentangan laut luas. Langit di atas kepala sedikit cemberut. Senyum birunya tak ditunjukkannya. Kalau air mataku ini mengalir terus hingga sehari saja, mungkin bisa mencapai laut di depan pandangan mata yang telah menjadi sumber air yang deras.

29 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar