Kamis, 01 November 2012

Sebuah Opini: Tumondei Sejarah


TUMONDEI[1] SEJARAH
(sebuah kritik)
Oleh
Iswadi I. I. K. Sual

                Setelah membaca tulisan Fredi S Wowor[2] berjudul Mencari Jati Diri yang dimuat Harian Media Sulut edisi Rabu 24 Oktober 2012 aku teringat di tahun yang lalu aku dan seorang teman (Junaidi Rawis) juga mendapati buku yang berjudul Asal Usul/Arti Nama-nama Kampung di Tanah Toar Lumimuut[3]. Kami juga bergegas mencari arti dari nama kampung kami masing-masing. “Tondei  ~ diambil dari nama jenis tamate atau tomat yang buahnya berbentuk tondei (lonjong) / tidak bulat (cardiopteris moluccana). Ini merupakan jenis tomat yang dibawa  Spanyol dari Maluku ; Pontak ~ (pentak, lepo, depo = lumpur). Tempat basah berair yang dipilih Spanyol abad – 17 untuk menanam padi sawah. Jenis padinya dari Filipina, karena Minahasa belum mengenal padi sawah. Lisung menumbuk padi periode pendudukan spanyol masih ada di negeri pontak.”  Dalam pikiran kami ada kejanggalan dan ‘rasa tersinggung’ ketika membaca arti dari kedua nama kampung tersebut. Oleh karena sebenarnya kami mengetahui arti nama kampung kami masing-masing dari cerita atau tradisi lisan dari orang tua maupun tua-tua desa.
                Oleh karena peristiwa kami secara tak langsung termotivasi untuk mencari kebenaran dan arti nama kampung kami masing-masing. Sehingga yang menjadi topik pembicaraan dan kegiatan kami selalu berkaitan dengan budaya Minahasa dan desa kami khususnya. Hampir semua orang yang kami temui waktu itu kami mintai keterangan tentang apa yang mereka ketahui mengenai sejarah desa atau tempat-tempat yang berhubungan dengan kebudayaan Minahasa.  Akhirnya setelah melakukan ekspedisi kami menjumpai beberapa tua-tua kampung dan juga mendapat buku-buku tentang sejarah desa.
                Dalam buku Sejarah Desa Tondei[4] yang ditulis oleh Ny. A. J. Bujung- Moningka diterangkan bahwa awalnya desa Tondei disebut orang tinondeian yang artinya dicari kembali. Oleh karena di abad – 17 ketika terjadi perang antara Tontemboan dengan Mongondow daerah ini sudah pernah didirikan perkampungan yang bernama mawale dan akhirnya ditinggalkan. Begitu juga dengan buku yang disusun oleh Arnold J. Masinambow yang berjudul Apo’ Masinambow dan Keturunannya[5] yang sedikit menyentil tentang arti nama Pontak; pontak berasal dari kata ‘’ PONTAR ’’ ASE KAYU ‘‘ NIETAKAN ‘’ TINAMI I APO MASINAMBOW ‘‘ NIONTAKAN ‘’ diangkat/digabung menjadi satu kata yang asalnya dari kata-kata : PINONTAR –ETAK – ONTAK menjadi ‘’PINONTAKAN’’ lalu menjadi ‘’PONTAK’’ artinya ‘’TANDA’’.
                Dalam buku yang ditulis oleh Jessy Wenas dan Djery Warokka juga dijabarkan arti nama kampung Picuan, Wuwuk, dan Poigar. “Picuan ~ jerat penangkap tikus di hutan berupa tali dan kayu pegas (woran),  di letakkan di jalur tempat tikus hutan mondar-mandir… Wuwuk ~ (wu’uk = rambut) negeri ini diambil dari pohon cemara rambut (canarium casuarina)  yang daunnya seperti bulu burung kasuari… Poigar ~ (poikan, pocan = tuturuga, penyu)…” Karena rasa penasan aku juga sempat menanyakan dan mendapat sedikit informasi mengenai arti nama-nama kampung ini. Menurut keterangan warga  sendiri Picuan asal katanya dari pinekuan yang artinya da patah akang atau ditandai. Wuwuk (wuwukeng) atau fufu artinya pengasapan. Semasa terjadi perang dengan Mongondow desa Wuwuk adalah tempat pertahanan. Para apo melakukan kegiatan mengasa pengetahuan (wentel) untuk menghalau orang Mongondow yang telah sampai di Pinamorongan[6]. Poigar berasal dari kata poyar yang artinya pagar atau batas. Poigar adalah wilayah perbatasan dengan Mongondow makanya ada Poigar Minahasa dan Poigar Mongondow.
                Dalam hal ini tidak diketahui pendekatan apa yang digunakan oleh J. Wenas & Dj. Warokka dalam menjabarkan pengertian nama-nama kampung tersebut. Tetapi arti nama-nama kampung yang sudah saya jelaskan di atas tampaknya lebih ke pendekatan etimologi[7]. Etimologi adalah penyelidikan mengenai asal usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna[8]. Memang dalam nama-nama kampung yang ada di Minahasa bisa diartikan secara denotatif tetapi tidak seharusnya digeneralisir untuk nama-nama kampung lainnya. Saya juga pernah terlibat diskusi dengan Arie Tulus[9] dan saya menyampaikan keberatan saya tentang arti nama Tondei yang dimuat dalam buku Asal Usul/Arti Nama-nama Kampung di Tanah Toar Lumimuut dan saya menjelaskan arti sebenarnya menurut versi orang Tondei sendiri. Arie Tulus mengatakan pada saya waktu itu bahwa saya harus menolerir penulisan buku itu karena maklum penulisnya berasal dari Tombulu sehingga ditulis berdasarkan versi Tombulu.
                Diskursus ilmiah sebenarnya tidak mengenal toleransi oleh karena ilmu pengetahuan selalu diupayakan agar bebas nilai. Ilmu pengetahuan selalu dialektis dan harus dibebaskan dari persoalan sentimen status sosial. Saya pikir usaha yang harus kita lakukan adalah rekoleksi dan rekonstruksi sejarah dan kebudayaan Minahasa. Bahkan pun kita perlu dekonstruksi agar kita tidak terjebak pada chauvinisme. Upaya yang sudah dilakukan oleh para pendahulu dalam dalam menulis dan mempertahankan budaya Minahasa patut diapresisasi tetapi kemudian kita tidak seharusnya mengesampingkan kaidah ilmiah.
                Saya berharap jika suatu waktu tulisan tentang sejarah dan kebudayaan Minahasa dimasukkan dalam pendidikan formal negara pada saat itu proses rekoleksi, rekonstruksi, dan dekonstruksi  telah berjalan sebagaimana mestinya. Agar informasi tentang jati diri kita sangat akurat dan objektif sehingga tidak ada pembohongan sejarah yang diwariskan untuk generasi selanjutnya. Sebab pembohongan sejarah adalah keji dan sangat tidak berperikemanusiaan.


[1] Tumondei dalam bahasa tontemboan artinya mencari kembali.
[2] Sastrawan dan dosen di Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi.
[3] Jessy Wenas & Djerry Warokka. Asal usul/arti Nama-nama Kampung di Tanah Toar lumimuut. Jakarta. Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. 2010.
[4] Ny. A. J. Bujung-Moningka. Sejarah Desa Tondei, Keadaan Sampai Tahun 1989. Ditulis kembali oleh Cyrtje A. C. Bujung dan diterbitkan oleh KSMT dan STMS pada tahun 2012.
[5] Arnold J. masinambow. Apo’ Lukas Masinambow dan Keturunannya. Jakarta. PT Dahan Elok. 1987.
[6] Pinamorongan berasal dari kata porong. Porong adalah topi yang digunakan oleh orang-orang Mongondow waktu itu.
[7] Menurut saya ada kontradiksi antara judul buku dan penjabaran menganai nama-nama kampung yang sudah saya jelaskan. Judul buku dimulai dengan kata ‘asal usul’ jadi seharusnya ada penelitiannya harus bersentuhan langsung dengan masyarakat yang mendiami kampung tersebut dan tidak hanya menjabarkan secara denotatif.
[8] Harimurti Kridalaksana. Kamus Linguistik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 1993
[9] Dosen di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Manado.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar