Rabu, 07 November 2012

sebuah cerpen: ketika kita kehilangan


KETIKA KITA KEHILANGAN
Oleh Iswan Sual

Wany sampai di rumahnya saat hari belum gelap. Begitu lega dia saat mencium aroma rumah. Dia senang karena sempat memberi tumpangan kepada seorang ibu dan anaknya sewaktu dalam perjalanan tadi. Kebanggan membantu orang itu nampak pada wajahnya yang berseri-seri.
Sementara karena tak muat, sang suami dan bapak itu ditinggal saja. Dia harus membetulkan rantai sepeda motornya yang putus. Tadi, sewaktu melihat motor mogok, Wany menepi dan menegur sekeluarga itu. Tampak seorang wanita dengan seorang anak lelaki yang masih kecil duduk pada batu-batu timbul yang besar. Menunggu. Si suami yang bernama Yohanes begitu  Kuat konsentrasinya. Hanya sekali saja dia menoleh pada Wany. Rantai yang putus berusaha diperbaikinya dengan hanya menggunakan tang dan obeng.  Dia memiliki keyakinan pasti sanggup memperbaikinya sebelum hari menjadi malam. Mungkin sudah sering dia mengalaminya.
Wany memang tak tahan melihat orang dalam kesusahan. Dia berupaya memberi bantuan selama itu bisa dilakukannya. “Dimana jo ngana, jangan lupa tolong orang laeng yang susa,” itulah didikan orang tua dan gurunya yang senantiasa dia ingat sampai sekarang.
“Kyapa?” sapa Wany dengan bahasa Melayu Manado pegununungan yang berarti ‘kenapa’ sambil mendorong kaca helem keatas untuk menyingkap wajahnya agar gampang dikenali.
“Putus tu rante no,” jawab Yohanes sambil terus bekerja.
“Kalu kita, ta so nda tahu mo beking bagimana itu,” Wany memberikan komentar merendah diri yang juga sebagai kata lain  bahwa dia tak bisa bantu apa-apa.
Bulan lalu, sewaktu sepeda motor Wany mendadak mati,  si Yohaneslah yang membantu menariknya dengan menggunakan tali rafia hingga mencapai rumah. Kalau tidak ditolongnya, tentu waktu itu Wany harus mendorong sepeda motornya sepanjang 3 km. Dan pasti itu akan sangat melelahkan. Jalan Tondei yang rusak dan bertanjakkan jauh akan menyukari Wany yang tak biasa. Mungkin ia akan tiba di rumah ketika sudah jauh tengah malam.
“Nintau lai kyapa ona ini motor korang putus-putus rante. Padahal baru ki’i ganti gir deng rante minggu lalu. Dorang bilang kata gir so tajam. Baru ganti no,” keluhan sang istri tampak begitu dalam. Menyiratkan kerisauan tak terselam.
Yohanes memang seorang suami yang rajin. Namun pendapatan mereka kadang tidak cukup untuk mengongkosi kehidupan mereka sehari-hari. Anggaran rumah tangga lebih banyak beralih kepada sepeda motor yang sudah menjadi seperti anggota keluarga bagi mereka.
Walaupun keadaannya kini memprihatinkan, tapi Yohanes tak berani sedikitpun meremehkan bantuan yang telah roda dua itu lakukan. Meskipun sering mogok, perjalanan jauh setiap hari menjadi ringan sejak kehadirannya. Sebagai imbalannya dia harus terus diberi perawatan yang tak murah.
Wany ingin memberikan tumpangan bagi mereka. Terutama kepada  si wanita dan anak yang masih berumur jagung itu. Tapi dia sedikit ragu. Bukan karena dia pelit. Cuma, dia tak mau saja disangka maniso. Istri Yohanes memang sungguh elok. Namanya Syuli. Kalau tak kenal, pasti dia akan disangka sebagai seorang  gadis.  Kulitnya yang putih dan bodinya yang aduhai menyimpan kenyataan bahwa dia telah menikah dan memiliki dua orang anak.
Wany tak mau saja dianggap berusaha menolong karena ingin bersentuh-sentuhan dengan Syuli. Apalagi akhir-akhir ini ada beberapa kasus perselingkuhan di kampungnya. Dia tak mau masuk dalam daftar orang-orang yang akan terusir dari kampung.
“kita smo kamuka dang ne,” kata Wany. Menunggu dan berharap mereka  memintanya bantuan.
Secepat kilat Yohanes memalingkan wajah ke istrinya yang sedang duduk pada bebatuan timbul di pinggir jalan. Istrinya nampak lelah. Penuh keringat. Seumpama gembel perawakannya.
“Ato ngana nae jo motor deng Wany,” kata Yohanes kepada istrinya sambil menghentikan pekerjaannya sejenak. Tangannya yang penuh oli tanpa sadar menyeka wajahnya. Wajahnya kini belepotan. Terlihat dia mempercayai Wany. Mungkin pikirnya, “Tak mungkinlah seorang pelayanan Tuhan melakukan yang macam-macam pada istrinya.” Padahal, yang paling sering berselingkuh bahkan korupsi di negara ini justru mereka yang menyebut diri sebagai hamba Tuhan dan pelayan rakyat.
Wany juga tak menyangka dia hendak membiarkan tubuh istrinya bersentuhan dengan tubuh Wany. Sungguh tak akan  Wany lakukan bila Wany beristri nanti. Tubuh muda istri Wany tak akan pernah bersentuhan dengan tubuh orang lain. Jalan Ongkau ke Tondei yang sarat dengan lubang dan batu besar timbul, tak mungkin dapat menghindarkan mereka dari persentuhan. Tentu guncangan-guncangan akan membuat mereka bersentuhan. Jarak 9 km cukup lama untuk Syuli memasrakan hidupnya pada Wany. Saat sepeda motor Wany rem dia akan mendekat. Saat Wany kencangkan, dia juga akan mendekat. Jadilah mereka seperti sepasang remaja yang sedang pacaran di atas sepeda motor. Suasana akan begitu romantis ketika mereka melihat pemandangan sekitar yang begitu indah. Deretan pohon nyiur dan cengkih begitu menggiur. Gunung Lolombulan dan Sinonsayang kehijau-hijauan akan menghadirkan suasana tenang hingga Wany akan tersihir untuk melambatkan sepeda motor supaya kebersamaan dan sentuhan boleh berlangsung lama.
“Sudah?” tanya Wany pelan. Sepeda motor bergerak. Mesin mulai berteriak-teriak menginjak-injak kerikil tajam dan batu-batu timbul.
“Sudah,” jawab Syuli terlambat. Suara dengan nada datar, terdengar begitu ringan sampai memabukkan teling Wany. Sungguh suara yang lembut. Oh Syuli nama yang elok bak Yuli kekasih hati Romeo.
Sewaktu Syuli menaiki sepeda motor tubuh Wany gemetar kecil. Wany penasaran dengan lembutnya tubuh seorang wanita bersuami dan beranak satu itu. Wanita dengan pengalaman-pengalaman biologis yang cukup lama. Wany sendiri, kalau dia mau jujur, belum pernah merasakan hal yang demikian. Paling-paling dia hanya pernah menyaksikan dalam adegan-adegan film biru yang disuguhkan secara paksa oleh teman-temannya sewaktu masih bersekolah di SMU Tombasian. Berbagai jenis gaya dan aliran sudah dia lahap semua. Itu nanti akan jadi rujukan ketika menikah nanti. Di umurnya yang sudah hampir tiga puluh dia bukan makin tambah bijak namun libidonya semakin mendesak. Kadang dia merasa sulit menahan desak-desakan badani itu. Kadang terpikir untuk segera menikah supaya dia bisa menyalurkan segala nafsu alamiah itu. Tapi, dia tak ingin menjadikan itu sebagai alasan utama untuk masuk dalam rumah tangga. Dia tahu, tidak sedikit pernikahan yang hancur karena hubungan kelamin yang diutamakan daripada keterkaitan batin. Kalau pernikahan sinonim dengan hubungan badan, berarti kita tak beda jauh dengan hewan. Pikirnya.
Seperti yang ia duga. Semakin jauh roda sepeda motor berlari, pegangan Syuli kian erat. Tangan Syuli membuat Wany membagi konsentrasinya. Mengemudi dan menahan gidik dan geli.
Wany memang seorang yang kolot.  Waktu yang diberikan Tuhan lebih banyak dia habiskan dengan membaca. Otaknya penuh dengan teori tapi semua itu sulit baginya dibuat jadi. Dalam hal wanita dia selalu angkat tangan. Tak punya waktulah. Ada yang lebih diutamakanlah. Pokoknya, tak pernah dia kehabisan jawaban ketika ditanyai perihal wanita. Faint heart never wo  fair lady. Orang yang penakut takkan mendapat seorang gadis yang cantik. Itulah pepatah Inggris yang menggambarkan Wany. Bagi dia, buku adalah teman sejati. Kemana-mana buku selalu membuntutinya. Tapi bagi orang lain, bukulah yang menghantuinya. Sungguh kasihan. Rugi kalau dia tak punya keturunan. Wany seharusnya mengabadikan dirinya. Dia harus menyambung turunan. Hidungnya yang mancung, otaknya yang cerdas, sifatnya moralis adalah tipe manusia surga. Dia termasuk dalam golongan orang suci. Ya dia pantas diberi gelar santo. Dia juga adalah manusia pilihan. Dalam hal wanita dia kalah. Tapi bukan berarti sifat itu membatalkan dia untuk masuk dalam kategori santo atau orang pilihan. Tentu di jaman modern tidaklah sulit mendapatkan keturunan dari dia. Kloning adalah jalan keluar bagi jenis manusia individual.
Kini misi menyelesaikan 9 km hampir selesai. Sedikit lagi Syuli turun. Selama perjalanan Syuli tak sedikitpun bicara. Walau hanya sekedar basa-basi. Saat dia menapakan kaki ke pijakan sepeda motor seperti dia langsung di nontaktifkan oleh suaminya. Ini untuk mencegah supaya tidak terjadi sesuatu yang buruk di antara kami. Jadinya Wany seperti menggonceng kayu. Benda tak bernyawa. Wany sedikit kesal sekaligus bersyukur. Kesal, karena sebagai manusia dia yang diposisikan hanya sebagai tukang ojek. Syukur karena niatan buruk akhirnya tak menjadi kenyataan. Wany tentu bahagia. Dia lolos lagi dari satu ujian hidup.
Wany mengantarkan Syuli dan anaknya sampai depan rumah mereka. Begitu kendaraan beroda dua itu berhenti, Syuli diaktifkan oleh suaminya dari jarak jauh. Mereka ternyata memiliki telepati yang terlampau  kuat. Banyak rumah tangga yang berantakan akhir-akhir ini sebab mereka (pasangan suami istri) tak memiliki telepati. Saat bersama orang lain seringkali mereka lupa diri. Lupa anak bini. Lupa anak dan suami.
“Singgah kwa e,” kata Syuli saat kedua kakinya dan anaknya menginjak tanah. Senyuman Syuli begitu mesra. Pasti suaminya bahagia punya istri seperti Syuli. Dia rela tubuhnya lelah, lecet dan tergores karena menopang suami di kebun. Tak banyak lagi perempuan seperti Syuli di jaman sekarang. Kebanyakan sesamanya lebih banyak sibuk dengan urusan rambut: cat warna, rebonding, keriting,  keramas, busana, bedak dan segala tetekbengek yang sebetulnya tak penting itu. Wanita masa kini suka sekali dimanja suami. Mereka jadi bergantung dan tak lagi mandiri. Tak heran mereka banyak menjadi korban keganasan pria. Banyak suami meninggalkan istri karena mereka tak menjalankan tugas sebagai penolong yang sepadan. Mereka menjadi beban. Ketika suami tak mampu lagi membeli mereka pakaian yang bagus, bedak, cat kuku, lipstik, pewarna rambut, sepatu berhak tinggi, dan rupa-rupa barang lain, maka menuding suami tak lagi sayang. Harta dan materi telah menjadi ukuran sayang dan cinta bagi mereka.
Syuli sangatlah berbeda. Dia tak suka berias, kecuali saat ke pesta. Dia tak suka ikut-ikutan mengecat rambut. Karena itu hanyalah pemborosan. Wany terpesona dengan Syuli. Walaupun Wany sendiri tak tahu pasti apa Syuli menjalani hidup itu karena panggilan atau karena tak ada pilihan.
Hidup ini sangat sulit dimengerti. Kita tak boleh menilai hanya dari  kulitnya saja.
Namun, paling tidak, meskipun tak tahu pasti, Syuli adalah salah satu panutan di antara para wanita masa kini.
“Smo langsung pigi ini. Banya kerja lai,” Wany menjawab cepat. Kalau Syuli pintar, pasti dia memahami kegalauan hati Wany. Dia sedang bergulat dengan dirinya sendiri.
Sesampai di rumah Wany melepaskan satu per satu pakaiannya. Jaket dua lapis membuatnya kepanasan. Dia kini harus membuang ingatan tentang Syuli. Tak baik memikirkan istri orang terus. Lama-lama Wany bisa menginginkannya. “Janganlah kamu mengingini kepunyaan orang,” itu adalah satu satu hokum yang ditetapkan Tuhan. Wany hafal betul ayat itu. Dia menuju pintu dan membukanya.
Ibu Wany tak bersuara melihat kedatangannya. Padahal selama tiga hari belakangan dia tak berada di rumah. Wany juga tak ingin tergesa-gesa menyimpulkan bahwa orang tuanya tak peduli. Hanya senyum kecil yang nampak dari wajah Ibunya.
Teringat di kantong ada amplop putih pemberian orang. Wany kembali tersenyum lebar. Dia tahu ada uang sejumlah besar dalam kantong jaketnya. Selesai memberi  kuliah tadi dia diberi amplop putih. Biaya transpor. Para mahasiswa memberi tanpa diminta. Mungkin mereka iba melihat dosen mereka yang tak seperti dosen lainnya yang datang dengan mobil mewah tapi selalu memeras mereka dengan biaya diktat dan lain sebagainya. Rencananya uang Rp. 200.000 itu akan dia gunakan membayar cicilan laptop yang baru diambilnya dari teman.  Wany sudah lama mengimpikan punya laptop. Bakat terpendamnya, menulis, bisa tersalurkan lewat benda itu.
Muncul perasaan bangga. Jerih payahnya tidak sia-sia. Tak rugi dia giat belajar sewaktu kuliah. Semua itu sangat berarti. Dia so pasti berhak menikmati. Senyum di wajahnya kian mengembang.
Tak sabar melihat uang itu, diapun merogoh sakunya.
“Apa?! Tidak mungkin!” detak jantung berhenti mendadak. Dia coba memastikan lagi. Tak ada amplop di kantong jaket birunya. Dilihatnya dengan seksama tapi tak ditemukan. Wany terduduk lemas. Pikirannya berjalan jauh ke belakang. Kembali menyusuri perjalanan jauhnya.
“Tidak mungkin!” keluhnya sedih.
Kali ini dia mencurahkan semua barang dalam tas punggung. Semua kantong pakaian digeledanya. Tapi tak ada.
“Pasti sudah hilang,” keluhnya putus asah.
Dia merenung.
“Mungkin ini adalah akibat karena pikiran mesum sewaktu menggonceng Syuli,” Si Wany lain mulai mempersalahkan diri.
Tak tahan dengan perasaan kehilangan itu, Wany bercerita ke orang tuanya.
“Terima jo kenyataan. Anggap jo tu doi itu pengganti soe-soe yang mungkin ngana da alami di perjalanan tadi,” kata ayah Wany.
Wany heran dengan komentar ayahnya itu. Itu pandangan yang sangat tak kristiani.
“Ada kore’e doi cuma asal taru. Nda guna re’e ada dompet,” sembur ibu menyalahkan.
Ibu Wany memberikan koreksi pedas. Tak satupun dari orangtuanya yang paham perasaannya. Dia tak mendapat penguatan. Dua-duanya sesat menyalahkan.
Wany masuk kamar dan dia berdoa. Dia berpikir dengan berdoa dia akan memperoleh ketenangan.
Tuhan, kita perlu doi. Mar kalu doi itu nda ciri di Tondei, muda-mudahan orang dapa supaya doi itu berguna for dorang. Kalu ada yang sengaja ambe dari kita pe popoji, beking tu doi itu tabale pakita spaya dia nda jadi papancuri.
Walaupun tak langsung hilang, kegalauan dan rasa kehilangannya berangsur-angsur meninggalkan Wany usai dia berhubungan dengan Tuhan. Sekian.

Selesai Pukul  16.00
Minggu, 16 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar