Rabu, 07 November 2012

SEBUAH NOVEL: MENTAL PAMONG PRAJA INDONESIA MASA KINI


MENTAL PAMONG PRAJA INDONESIA MASA KINI
Oleh Iswan Sual, S.S

Matahari belum terlalu tegak berdirinya. Namun, kami sudah seperti cacing yang berteriak-teriak minta tolong. Panas! Aku sendiri heran kenapa sang kepala sekolah mendapat ide gila memuat puluhan siswa di atas sebuah truk. Kami diperlakukan seperti sapi yang beberapa waktu lagi akan dijagal. Padahal, dana BOS tidak perlu dihemat dengan cara tidak manusiawi seperti  ini. Sialnya, gara-gara aku hanyalah seorang honor yang masih bujangan, aku dianggap layak untuk dibuat teraniaya. Sementara para guru lain dengan modal seragam PNSnya bertindak seolah bos-bos yang harus dihormati. Sialan! Bagusnya hanya pada seragam. Di dalam kelas seperti keledai saja. Tak mengajar sama sekali.
“Sir, kenapa cuma sir yang nda gabung ta panas-panas deng torang di sini? Nda adil dorang kang sir?” ketus salah seorang siswi. Aku hanya senyum kecil.
Sangatlah tidak pantas bila aku harus menceritakan perasaanku yang sebenarnya pada seorang gadis yang belum cukup pengertiannya. Lagipula aku tak mau menjelek-jelekkan guru-guru lain itu di depan para siswa. Walaupun sebenarya ketidaktahuan mereka mengajar begitu dikenal oleh para murid. Memang, terkadang guru tidak menyadari bahwa sebenarya siswa lebih banyak tahu dari yang kita sebagai guru kira.
Sesampai di ibu kota kecamatan, para guru-guru PNS  dengan pongah memerintah saya supaya mengarahkan para murid ke lapangan dimana upacara bendera akan dilangsungkan. Aku minta mereka agar sabar dengan murid karena mereka sedang capek karena kegerahan. Guru-guru itu terus mendesak gara-gara upacara sudah sementara berlangsung. Ternyata kami datang terlambat. Dengan langkah diam-diam kami masuk ke barisan. Terpaksa siswa-siswa rombongan kami harus menyambung di barisan sekolah lain sebab tempat yang disediakan sudah disabotase sekolah lain. Tentu, akan sangat kentara juga bila kami harus mencari tempat di depan. Akan lebih mempermalukan lagi sekolah kami. Satu persatu aku meminta siswa agar masuk dan menutupi barisan. Susah memang mengaturnya. Dalam situasi begini, seringkali siswa-siswi suka bergelagat. Mereka tahu sanksi tak mungkin diberlakukan. Aku menggunakan cara yang paling lembut untuk menenangkan mereka. Sudah itu akup pun mencari tempat di mana aku bisa berbaris. Yang kupilih adalah di belakang para siswa yang aku antar. Kebetulan berdekatan dengan barisan guru.
Anehnya, kini yang paling gaduh justru barisan para guru. Mereka saling bergantian berseloroh. Paling banter adalah kepala sekolahku sendiri. Leluconnya yang berbau porno menyihir para guru muda lain untuk larut dalam cerita-cerita itu. Barisan merekapun seperti ular. Semua memegang koran sebagai penutup wajah dan kepala. Sedangkan siswa mereka pelototi bila tidak berbaris dengan benar. “Ironis!”
“Istirahat di tempat grak!” teriak si pemimpin upacara.
“Ah lega,” ketus para siswa berbarengan.
Dalam situasi begini mana ada yang mau mendengar wejangan inspektur upacara. Dia seenaknya bicara pacang. Dia memang enak. Ada di panggung kehormatan. Terik matahari tak akan bisa menyengat mereka. Mereka juga bisa duduk. Mereka mengajarkan tentang perjuangan, mereka sendiri tak memberikan panutan. Mereka berperilaku persis seperti orang belanda yang suka perintah-perintah, sedangkan kami, distraf seperti tahanan. Dijemur di bawah panas yang tak punya belas kasih.
Aku masih saja berdiri tegak dengan kaki sedikit mengangkang. Kedua tanganku menyilang di belakang. Seperti diborgol. Aku membayangkan diriku persis seperti Walter Monginsidi yang siap dieksekusi oleh regu tembak. Peluh mengalir deras dari kepala. Punggungku sudah basah. Benar-benar basah. Barisan guru-guru semakin beringas. Tawa semakin melengking. Tiba-tiba seorang siswa perempuan terombang-ambing di atas tanah.
“Sir! Sir! Fista pusing, sir!”
Dengan cepat aku berlari menahan tubuh mungilnya sebelum memukul tanah. Siswa-siswa dari sekolah lain dengan sontak pun berkerumun.
“Sudah. Jangan dekat-dekat. Nanti dia tambah kepanasan. Kembali ke barisan!” kataku kepada mereke. Tampak siswa mulai berhamburan sambil mencari-cari air. Di barisan lain juga siswa terlihat satu per satu tumbang. Inspektur upacara masih saja terus bicara. Dia masih menbacakan sambutan tertulis bupati. Belum ada tanda-tanda mau berhenti. Itu baru sambutan tertulis bupati. Belum lagi sambutan lisan dari inspektur itu sendiri. Aku heran dengan pejabat di negara ini. Mereka suka sekali berkata-kata di depan banyak orang. Padahal kinerja mereka nol besar.
Setelah membaringkan siswi yang pingsan itu. Kulepaskan sepatunya. Dan kuminta siswa perempuan akar melonggarkan pakaian sehingga dia bisa bernafas bebas. Seketika itu juga kulihat semua siswa-siswi dari sekolah kami sudah tak ada lagi yang ikut dalam barisan. Semuanya telah berjalan mencari air. Mereka sudah tak tahan. Akupun setuju saja. Barisan guru-guru juga sudah bergeser ke bawa pohon untuk menghindari sengatan matahari.
***

Setelah upacara selesai aku bertemu dengan seorang guru dari ibu kota kecamatan. Dia lebih dulu yang menegur. Dari mobil jimmy dengan sok dia memamerkan kendaraannya. Aku dengan spontan berkata, “Eh so ta bae nga e!”
Dia dengan pongah menjawab, “Batabung no.”
Sungguh pongah. Mana bisa dengan gaji seorang PNS yang baru genap setahun sudah bisa memberi mobil seperti itu? Emang, gajinya berapa?
Aku jadi teringat masa lalu kami. Kami dulu sama-sama pernah terlibat dalam organisasi kemahasiswaan di tingkat fakultas. Sewaktu saya menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, dia adalah ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa. Saya di eksekutif. Dia di legislatif.
Dia pernah memohon-mohon padaku agar mendukungnya menjadi ketua. Saya berusaha membantu. Dan akhirnya dia menjadi ketua  MPM.
Suatu waktu saya mendapat tugas keluar daerah mewakili kampus. Selama saya pergi dia ternyata membuat kesepakatan diam-diam dengan pimpinan fakultas mengenai pemotongan beasiswa. Lima juta kantonginya. Itu adalah dana untuk organisasi. Tapi, dengan tamak dipakainya untuk pribadinya. Karena diuber-uber oleh anggota MPM lainya dia kembali meminta tolong kepada saya. Dengan tegas saya bilang saya tak bisa membantu dia. Karena jika demikian, sama saja turut menjadi koruptor seperti dia.
Jadi, mustahilah kalau dia sudah kaya sekarang kalau belum sampai setahun dia menjadi PNS. Menabung?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar