Take For Granted
Sebuah cerpen
Oleh Iswan Sual
Sudah empat hari Lebing tinggal di
sebuah pulau bernama Marore. Pulau ini adalah pulau terluar utara Indonesia
yang merupakan bagian dari Kabupaten Sangihe. Dekat ke kota General Santos
daripada kota Tahuna. Apalagi ke Manado. Waktu tempuh Marore ke Manado 18 jam.
Sedangkan Marore ke General Santos hanya kurang lebih dua sampai 3 jam. Hari
demi hari dilewatinya tanpa ada masalah yang serius. Padahal, sewaktu masih
belum berada di lokasi tugasnya itu dia telah disuguhi banyak informasi yang
sebenarnya punya potensi untuk membuatnya kalah sebelum berperang. Kata mereka,
tak ada sinyal untuk ponsellah, listrik hanya malam, air susah didapat, dan
lain-lain. Namun, bukan Lebing namanya jika dia harus menyerah hanya karena
diberi informasi seperti itu. Dia cenderung berpikir objektif. Dalam hatinya
dia selalu berkata, “Segala sesuatu punya plus dan minusnya.” Bagai sebuah
paham Taoisme. Ada Yin dan ada juga Yang. Kalau bilang takut atau khawatir,
secara manusia, pasti ada. Namun, buku yang berjudul The Secret rupanya banyak
memberinya kekuatan untuk tidak selalu berburuk sangka. Melainkan berpikir
positif demi hasil yang positif pula.
Kecuali udara yang super duper panas,
semua mengenai Marore disukai Lebing. Kemarin, gara-gara tak bisa tidur di
kamar, dia memutuskan berjalan-jalan di tepi pantai berpasir putih. Dia
bercakap-cakap dengan penduduk setempat yang ramah-ramah. Lagipula udaranya
yang belum terkontaminasi oleh polusi. Di sini tak ada mobil. Sepeda motorpun masih
satu dua. Hanya butuh 40 menit untuk bisa mengelilingi luas desa.
***
Tadi pagi setelah sarapan kira-kira
jam sembilan dia mulai berjalan keluar dari rumah singgahnya. Sesuai rencana
yang dia buat semalam, dia akan ke kantor camat, puskesmas dan sekolah-sekolah
untuk meminta data-data. Sedari satu langkah telah tersungging senyum di
bibirnya. Dengan begitu seluruh saraf di tubuh akan ikut tercipta aura riang.
Jalan setapak selebar dua meter disusurinya. Daun pepohon kelapa, pepaya
bergelayut menggapai kepalanya. Samping kiri dan kanan terdapat rawa. Burung
weris binatang-binatang air nampak malu-malu berkeriapan kembali ke kubangan.
Bahkan rengekkan babi-babi hitam yang baru beranak tertambat. Bunyi-bunyi
burung kecil nan nyaring dan lucu turut menambah suasana syahdu mengiringi
langkah kaki Lebing ke kantor camat.
Di kantor camat yang dibangun di atas
rawa itu lengang.
“Slamat pagi Pak.”
“Oh selamat pagi. Silahkan duduk, De.
Ada yang mungkin bisa dibantu?” sambut bapak berambut klimis berperawakan seperti
Adji Massaid. Tubuhnya tegap seperti pejuang-pejuang Palestina tanpa senjata.
Pertanyaan demi pertanyaan dijawab mereka dengan sabar dan jujur. Ada juga
seorang gadis tenaga honorer yang membantu. Namanya Yethlin Mahmud. Gadis yang
menarik. Sewaktu memperkenalkan diri, dengan panjang lebar dia menjelaskan
bahwa sebenarnya Opanya adalah orang Tidore Tahuna. Seorang muslim. Namun
kemudian anaknya yang ke Marore berpindah menjadi Kristen. Gadis itu terlihat
begitu cantik ketika tubuhnya dibalut baju yang resmi. Sepatu berhak tinggi
begitu pas di kakinya. Walaupun gadis desa, ketika mengenakkan outfit yang
modern, dia nampak seperti gadis kota yang maju pandangannya.
Dari situ selanjutnya aku berpindah
ke kantor puskesmas. Tenaga medis melayaniku dengan baik. Tiga orang menjawab
dengan sabar setiap pertanyaan yang terlontar. Umur mereka yang tak terlalu
jauh dari ku membuat suasana sedikit lebih mencair. Aku disuguhkan es mangga
segelas besar. Sudah empat hari aku di sini, dan di tempat itulah aku pertama kalinya
dilayani dengan minuman sewaktu bertamu. Tak lama juga aku di tempat itu.
Selanjutnya aku menuju Lindongan
tiga. Orang di sini menyebut dusun atau jaga sebagai Lindongan. Seperti yang
umumnya digunakan di kampung-kampung Minahasa. Jadi setiap daerah punya
penamaanya sendiri. Ini adalah wujud otonomisasi daerah. Tapi sayangnya, di
kampung-kampung Minahasa hampir tak ada yang disesuaikan. Seharusnya desa
disebut Ro’ong. Kecamatan disebut Pakasa’an, dan Kabupaten dinamakan Walak dan
Propinsi disebut Wanua.
Di Lindongan 3 itu terdapat dua
sekolah. SMP dan SMA. Kurang lebih 900 meter dari pusat kampong Marore.
Tujuanku hanya SMP. Terik yang menggigit aku acuhkan karena keelokkan pantai
pasir putih yang dibatasi jalan setapak berdinding. Mirip sekali tembok Cina.
Saat langkah demi langkah menapak serasa aku berada di tembok Cina yang
dibangun dengan mengorbankan ribuan orang dan dalam waktu bertahun. Bedanya
tembok yang aku jejaki dibuat dengan kualitas rendah. Banyak yang telah retak
dan berlubang. Asal jadi! Padahal dana-dana bantuan yang dikhususkan untuk
daerah perbatasan begitu banyak demi kesejahteraan rakyatnya sendiri. Yang
mengerjakan adalah orang kampong. Masih juga dibuat dengan mutu yang rendah.
Dua guru menyambut saya dengan gembira. Wakil kepala sekolah begitu ramah.
Sewaktu masih berbincang tiba-tiba hujan mengguyur. Namun tak lama berselang.
Aku mohon pamit saat tinggal rintik-rintik kecil tak berarti. i
Saat pulang aku mencoba jalan
alternatif lain supaya semakin mengenal wilayah dimana aku akan tinggal entah
sampai kapan. Senyuman terus mengumbar di bibirku saat aku sudah berada lagi di
tepi pantai. Kembali melewati tembok Cina. Jauh di depan terpampang dua pulau
yang menonjol, Kemboleng dan Kawio. Di sebelah kiri, secara samar terpajang juga
sebuah pulau tak berpenghuni yang bernama Mamanuk. Seirama kaki dan tangan
bergerak, aku menyadari ada sesuatu yang kurang. Ya Tuhan! Aku lupa sesuatu.
Map berisi formulir tertinggal di meja ruangan guru. Untung aku dengan sekolah
hanya terbentang jarak kurang lebih 200 meter. Tak ada pilihan. Aku harus
segera kembali. Mumpung jam sekolah belum berakhir. Lantai santai kini berubah
menjadi langkah tergesa. Tak sampai dua menit aku telah tiba di sekolah dan
mengambil map berwarna biru yang
tergeletak tepat di sisi tumpukan berkas dan buku-buku pegangan guru. Aku
keluar dari ruangan guru. Melewati lapangan basket. Saat melewati SMA yang
berdampingan dengan SMP terdengar tepuk tangan dan siutan yang disertai
ledakkan canda tawa. Aku melarang kepalaku menoleh. Tepuk tangan, siutan terus
saja.
“Anak-anak ini tidak diajarkan
tatakrama! Masakan, aku seorang tamu diperlakukan seperti ini?” kecamku dalam
hati. Dengan terpaksa aku menoleh ke arah darimana tepuk tangan dan siuatan
itu. Sewaktu leher berputar 90 derajat yang kulihat bukanlah murid-murid yang
nakal melainkan guru atau mungkin pegawai berseragam batik. Tampak begitu jelas
bahwa mereka adalah orang-orang dewasa. Benakku penuh tanda tanya, “Kok bisa
ya?”
Kembali lagi aku menyusuri jalan yang
sama. Rasa kesal dilecehkan terobat oleh panorama pantai dan laut. Begitu biru
airnya. Riak-riak berbuih turut menenangkan suasana hati. Aku mulai hanyut oleh
belaian angin sepoi-sepoi. Di belakangku terdengar raungan sepeda motor. Begitu
aku menoleh, kulihat dua sepeda motor. Ada tiga penumpangnya. Semuanya
berseragam persis seragam yang digunakan pegawai yang iseng padaku. Cepat
sekali sepada motor melaju. Dan tiba-tiba…
“Kak!” seorang gadis berkulit putih
berteriak padaku sambil menunjukkan jarinya. Ya aku kenal perempuan itu. Dia
adik angkatanku sewaktu masih kuliah. Salah satu yang pernah menjadi sasaran
perpeloncoan. Sayangnya aku lupa namanya. Gadis blasteran bertubuh semampai.
Tapi…dia masih gadis atau sudah menikah ya? Kurang tahu. Dia tak begitu
kuperhatikan sewaktu di kampus. Memang sewaktu kuliah dulu mataku tak pernah
beralih bila dia lewat di depan kelasku. Tapi, dia tak pernah dekat denganku.
Barangkali, karena faktor perbedaan jurusan dan tak aktif di organisasi. Waktu
itu aku berpikir tak ada pentingnya dekat dengan dia. Tambah lagi minat kami
tak sama. Dia bukan tipe mahasiswa yang suka berorganisasi di kampus.
Gadis…perempuan itu lalu begitu saja.
Kata “Kak” yang diucapkan paling tidak aku balas dengan “Hai”. Sepeda motor
buru-buru membawa. Akupun tak berharap banyak. Aku meneruskan perjalanan
sembari sesekali mengambil gambar pemandangan dengan kamera ponselku. Sesampai
di tempat tinggalku, kulempar tas di atas kasur diiringi desahan panjang
sebagai bentuk ekspresi manusia yang sudah kelelahan, kepanasan dan kelaparan.
Tanpa ganti baju aku langsung menuju ke warung untuk membeli dua butir telur
ayam.
“Kak!” dengan gerak reflek kepalaku
mencari sumber suara.
Ya ampun! Gadis…perempuan di atas
sepeda motor yang menegurku ternyata tinggal di depan tempat tinggalku. Kami
hanya dipisahkan oleh tanah berjarak kurang dari sepuluh langkah. Dia datang
mendekat. Seragam batik kecoklatannya tak lagi melekat di tubuhnya. Dia kini
dibalut pakaian “Baby Doll”. Kegadisannya begitu kentara. Bentuk badannya masih
menyiratkan bahwa dia masih gadis. Kami bicara banyak. Sangat ramah. Setelah
pertemuan itu, dia sering ke tempat tinggalku. Membawakan makanan dan
perhatian. Ya Tuhan! Orang yang tak begitu aku kenal dan tak dekat bertemu
denganku di pulau terpencil. Dia begitu baik padaku. Aku sedikit merasa
berdosa. Dulu aku berkawan demi sebuah manfaat dan keuntungan, take for
granted. Justru orang-orang yang tak sedikitpun kita beri perhatian bisa
menjadi sahabat atau malaikat di saat kita susah atau kesepian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar