Rabu, 07 November 2012

SEBUAH CERPEN: Take For Granted


Take For Granted
Sebuah cerpen
Oleh Iswan Sual
Sudah empat hari Lebing tinggal di sebuah pulau bernama Marore. Pulau ini adalah pulau terluar utara Indonesia yang merupakan bagian dari Kabupaten Sangihe. Dekat ke kota General Santos daripada kota Tahuna. Apalagi ke Manado. Waktu tempuh Marore ke Manado 18 jam. Sedangkan Marore ke General Santos hanya kurang lebih dua sampai 3 jam. Hari demi hari dilewatinya tanpa ada masalah yang serius. Padahal, sewaktu masih belum berada di lokasi tugasnya itu dia telah disuguhi banyak informasi yang sebenarnya punya potensi untuk membuatnya kalah sebelum berperang. Kata mereka, tak ada sinyal untuk ponsellah, listrik hanya malam, air susah didapat, dan lain-lain. Namun, bukan Lebing namanya jika dia harus menyerah hanya karena diberi informasi seperti itu. Dia cenderung berpikir objektif. Dalam hatinya dia selalu berkata, “Segala sesuatu punya plus dan minusnya.” Bagai sebuah paham Taoisme. Ada Yin dan ada juga Yang. Kalau bilang takut atau khawatir, secara manusia, pasti ada. Namun, buku yang berjudul The Secret rupanya banyak memberinya kekuatan untuk tidak selalu berburuk sangka. Melainkan berpikir positif demi hasil yang positif pula.
Kecuali udara yang super duper panas, semua mengenai Marore disukai Lebing. Kemarin, gara-gara tak bisa tidur di kamar, dia memutuskan berjalan-jalan di tepi pantai berpasir putih. Dia bercakap-cakap dengan penduduk setempat yang ramah-ramah. Lagipula udaranya yang belum terkontaminasi oleh polusi. Di sini tak ada mobil. Sepeda motorpun masih satu dua. Hanya butuh 40 menit untuk bisa mengelilingi luas desa.
***
Tadi pagi setelah sarapan kira-kira jam sembilan dia mulai berjalan keluar dari rumah singgahnya. Sesuai rencana yang dia buat semalam, dia akan ke kantor camat, puskesmas dan sekolah-sekolah untuk meminta data-data. Sedari satu langkah telah tersungging senyum di bibirnya. Dengan begitu seluruh saraf di tubuh akan ikut tercipta aura riang. Jalan setapak selebar dua meter disusurinya. Daun pepohon kelapa, pepaya bergelayut menggapai kepalanya. Samping kiri dan kanan terdapat rawa. Burung weris binatang-binatang air nampak malu-malu berkeriapan kembali ke kubangan. Bahkan rengekkan babi-babi hitam yang baru beranak tertambat. Bunyi-bunyi burung kecil nan nyaring dan lucu turut menambah suasana syahdu mengiringi langkah kaki Lebing ke kantor camat.
Di kantor camat yang dibangun di atas rawa itu lengang.
“Slamat pagi Pak.”
“Oh selamat pagi. Silahkan duduk, De. Ada yang mungkin bisa dibantu?” sambut bapak berambut klimis berperawakan seperti Adji Massaid. Tubuhnya tegap seperti pejuang-pejuang Palestina tanpa senjata. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab mereka dengan sabar dan jujur. Ada juga seorang gadis tenaga honorer yang membantu. Namanya Yethlin Mahmud. Gadis yang menarik. Sewaktu memperkenalkan diri, dengan panjang lebar dia menjelaskan bahwa sebenarnya Opanya adalah orang Tidore Tahuna. Seorang muslim. Namun kemudian anaknya yang ke Marore berpindah menjadi Kristen. Gadis itu terlihat begitu cantik ketika tubuhnya dibalut baju yang resmi. Sepatu berhak tinggi begitu pas di kakinya. Walaupun gadis desa, ketika mengenakkan outfit yang modern, dia nampak seperti gadis kota yang maju pandangannya.
Dari situ selanjutnya aku berpindah ke kantor puskesmas. Tenaga medis melayaniku dengan baik. Tiga orang menjawab dengan sabar setiap pertanyaan yang terlontar. Umur mereka yang tak terlalu jauh dari ku membuat suasana sedikit lebih mencair. Aku disuguhkan es mangga segelas besar. Sudah empat hari aku di sini, dan di tempat itulah aku pertama kalinya dilayani dengan minuman sewaktu bertamu. Tak lama juga aku di tempat itu.
Selanjutnya aku menuju Lindongan tiga. Orang di sini menyebut dusun atau jaga sebagai Lindongan. Seperti yang umumnya digunakan di kampung-kampung Minahasa. Jadi setiap daerah punya penamaanya sendiri. Ini adalah wujud otonomisasi daerah. Tapi sayangnya, di kampung-kampung Minahasa hampir tak ada yang disesuaikan. Seharusnya desa disebut Ro’ong. Kecamatan disebut Pakasa’an, dan Kabupaten dinamakan Walak dan Propinsi disebut Wanua.
Di Lindongan 3 itu terdapat dua sekolah. SMP dan SMA. Kurang lebih 900 meter dari pusat kampong Marore. Tujuanku hanya SMP. Terik yang menggigit aku acuhkan karena keelokkan pantai pasir putih yang dibatasi jalan setapak berdinding. Mirip sekali tembok Cina. Saat langkah demi langkah menapak serasa aku berada di tembok Cina yang dibangun dengan mengorbankan ribuan orang dan dalam waktu bertahun. Bedanya tembok yang aku jejaki dibuat dengan kualitas rendah. Banyak yang telah retak dan berlubang. Asal jadi! Padahal dana-dana bantuan yang dikhususkan untuk daerah perbatasan begitu banyak demi kesejahteraan rakyatnya sendiri. Yang mengerjakan adalah orang kampong. Masih juga dibuat dengan mutu yang rendah. Dua guru menyambut saya dengan gembira. Wakil kepala sekolah begitu ramah. Sewaktu masih berbincang tiba-tiba hujan mengguyur. Namun tak lama berselang. Aku mohon pamit saat tinggal rintik-rintik kecil tak berarti. i
Saat pulang aku mencoba jalan alternatif lain supaya semakin mengenal wilayah dimana aku akan tinggal entah sampai kapan. Senyuman terus mengumbar di bibirku saat aku sudah berada lagi di tepi pantai. Kembali melewati tembok Cina. Jauh di depan terpampang dua pulau yang menonjol, Kemboleng dan Kawio. Di sebelah kiri, secara samar terpajang juga sebuah pulau tak berpenghuni yang bernama Mamanuk. Seirama kaki dan tangan bergerak, aku menyadari ada sesuatu yang kurang. Ya Tuhan! Aku lupa sesuatu. Map berisi formulir tertinggal di meja ruangan guru. Untung aku dengan sekolah hanya terbentang jarak kurang lebih 200 meter. Tak ada pilihan. Aku harus segera kembali. Mumpung jam sekolah belum berakhir. Lantai santai kini berubah menjadi langkah tergesa. Tak sampai dua menit aku telah tiba di sekolah dan mengambil map berwarna  biru yang tergeletak tepat di sisi tumpukan berkas dan buku-buku pegangan guru. Aku keluar dari ruangan guru. Melewati lapangan basket. Saat melewati SMA yang berdampingan dengan SMP terdengar tepuk tangan dan siutan yang disertai ledakkan canda tawa. Aku melarang kepalaku menoleh. Tepuk tangan, siutan terus saja.
“Anak-anak ini tidak diajarkan tatakrama! Masakan, aku seorang tamu diperlakukan seperti ini?” kecamku dalam hati. Dengan terpaksa aku menoleh ke arah darimana tepuk tangan dan siuatan itu. Sewaktu leher berputar 90 derajat yang kulihat bukanlah murid-murid yang nakal melainkan guru atau mungkin pegawai berseragam batik. Tampak begitu jelas bahwa mereka adalah orang-orang dewasa. Benakku penuh tanda tanya, “Kok bisa ya?”
Kembali lagi aku menyusuri jalan yang sama. Rasa kesal dilecehkan terobat oleh panorama pantai dan laut. Begitu biru airnya. Riak-riak berbuih turut menenangkan suasana hati. Aku mulai hanyut oleh belaian angin sepoi-sepoi. Di belakangku terdengar raungan sepeda motor. Begitu aku menoleh, kulihat dua sepeda motor. Ada tiga penumpangnya. Semuanya berseragam persis seragam yang digunakan pegawai yang iseng padaku. Cepat sekali sepada motor melaju. Dan tiba-tiba…
“Kak!” seorang gadis berkulit putih berteriak padaku sambil menunjukkan jarinya. Ya aku kenal perempuan itu. Dia adik angkatanku sewaktu masih kuliah. Salah satu yang pernah menjadi sasaran perpeloncoan. Sayangnya aku lupa namanya. Gadis blasteran bertubuh semampai. Tapi…dia masih gadis atau sudah menikah ya? Kurang tahu. Dia tak begitu kuperhatikan sewaktu di kampus. Memang sewaktu kuliah dulu mataku tak pernah beralih bila dia lewat di depan kelasku. Tapi, dia tak pernah dekat denganku. Barangkali, karena faktor perbedaan jurusan dan tak aktif di organisasi. Waktu itu aku berpikir tak ada pentingnya dekat dengan dia. Tambah lagi minat kami tak sama. Dia bukan tipe mahasiswa yang suka berorganisasi di kampus.
Gadis…perempuan itu lalu begitu saja. Kata “Kak” yang diucapkan paling tidak aku balas dengan “Hai”. Sepeda motor buru-buru membawa. Akupun tak berharap banyak. Aku meneruskan perjalanan sembari sesekali mengambil gambar pemandangan dengan kamera ponselku. Sesampai di tempat tinggalku, kulempar tas di atas kasur diiringi desahan panjang sebagai bentuk ekspresi manusia yang sudah kelelahan, kepanasan dan kelaparan. Tanpa ganti baju aku langsung menuju ke warung untuk membeli dua butir telur ayam.
“Kak!” dengan gerak reflek kepalaku mencari sumber suara.
Ya ampun! Gadis…perempuan di atas sepeda motor yang menegurku ternyata tinggal di depan tempat tinggalku. Kami hanya dipisahkan oleh tanah berjarak kurang dari sepuluh langkah. Dia datang mendekat. Seragam batik kecoklatannya tak lagi melekat di tubuhnya. Dia kini dibalut pakaian “Baby Doll”. Kegadisannya begitu kentara. Bentuk badannya masih menyiratkan bahwa dia masih gadis. Kami bicara banyak. Sangat ramah. Setelah pertemuan itu, dia sering ke tempat tinggalku. Membawakan makanan dan perhatian. Ya Tuhan! Orang yang tak begitu aku kenal dan tak dekat bertemu denganku di pulau terpencil. Dia begitu baik padaku. Aku sedikit merasa berdosa. Dulu aku berkawan demi sebuah manfaat dan keuntungan, take for granted. Justru orang-orang yang tak sedikitpun kita beri perhatian bisa menjadi sahabat atau malaikat di saat kita susah atau kesepian.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar