Rabu, 07 November 2012

SEBUAH CERPEN: KELABU DI KAMPUNG BARU


KELABU DI KAMPUNG BARU
Oleh Iswan Sual, S.S

Dalam keadaan tergesah-gesah kuparkir sepeda motorku. Rambut masih basah dan kocar kacir. Ini karena aku bangun nyaris kesiangan. Di bawah pohon mangga yang rindang sepeda motorku ku biarkan berdiri dengan dua kaki. Para siswa telah berbaris rapih. Tiga orang siswa perempuan yang cantik sudah berada di depan siap untuk memimpin senam caka-caka. Senam yang berasal dari Palu ini sedang digandrungi dimana-mana. Tak terkecuali di desaku yang masih tergolong udik. Ketenaran tarian poco-poco yang asli dari Manado kini terbenam. Sudah tergantikan senam atau tarian yang sedikit erotis ini. Rasanya tidak patut senam dengan dominasi gerakan pantat ini dibawa ke dalam lingkungan anak-anak yang masih begitu polos. Dengan sedikit malu-malu ku langkahkan kaki menuju kantor kepala sekolah. Di situlah kami para  guru mengisi daftar hadir.
“ser, ada rumah yang terbakar.” Seorang siswa sedikit berteriak sambil menunjuk ke arah kampung seberang yang tak jauh dari desa kami. Aku tak mengubris.  Aku harus cepat-cepat supaya tidak kepergok kepala sekolah karena datang terlambat 10 menit.
Akhir-akhir ini aku memang sering tidur setelah ayam berkokok di tengah malam. Banyak guru yang memintaku mengerjakan yang seharusnya mereka kerjakan. Guru-guru yang sedang kuliah terpaksa meminta bantuanku karena mereka tak sanggup mengerjakan tugas-tugas dosen. Sungguh ironis.
“Ser, coba lihat. Ada yang kebakaran,” Siswa bernama Kifli itu mendesak. Masih tak kupercaya. Kadang-kadang siswa di sekolah ada yang suka mencari perhatian dengan  cara seperti itu. Meskipun kurang percaya, kupikir tak ada salahnya melihat apa yang ditunjuk oleh si Kifli.
Aku urungkan niat mengisi daftar hadir. Kepala sekolah rupanya tak ada. Tak ada hartop hijaunya. Pasti dia sakit.
“Ser, ada rumah terbakar.”
Kulihat kearah siswa yang terus menganggu itu. Senam baru saja dimulai. Mataku terbelalak keheranan sebagian siswa melihat ke arah yang ditunjuk. Sejurus kemudian pandanganku membeo pandangan mereka.
Asap mengepul dan menjulang tinggi ke langit. Asap putih kehitaman. Tinggi jauh ke atas. Mendadak aku terpikir rumah kami. Asap itu nampak berasal dari area Aer Tondei. Ya Aer Tondei. Di kompleks situlah rumah kami berada. Tak sampai hitungan ketiga aku sudah di atas sepeda motor lagi. Segera kuhidupkan dan dengan cepat menyusuri jalan bebantuan dan berkerikil yang menurun. Tak sempat aku pamitan. Tas yang berat tak sempat ku letakan di meja guru. Ku teringat rumahku. Banyak barang berharga. Antara lain buku-buku, sertifikat, ijasa-ijasahku.
Di perbatasan kampung Tondei dan Tondei Satu, tepatnya di rumah hukum tua, aku hentikan sepeda motorku sejenak.
“Vian! Vian! Sepertinya ada rumah yang terbakar,” kataku sambil ngos-ngosan. Padahal aku berlari dengan sepeda motor.
“Tidak. Itu bukan rumah. Itu…ada seorang kakek yang sementara membakar rerumputan mungkin. Dia berencana akan menamami lahan itu dengan berbagai jenis umbi. Kemarin aku sempat bicara dengannya,” Jawab pria bujangan dengan tenang.
Orang di sekitar rumah hukum tua yang kebetulan berkerumun terlihat dilayani penjual sayur dan tahu serta nampak tenang-tenang saja. Tapi aku kurang yakin dengan ketenangan mereka. Ketenangan itu mungkin disebabkan ketidaktahuan.
Aku tancap gassepeda motorku melewati jalan berlubang. Badan sepeda motor bersuara ribut. Tapi tak kupedulikan. Gas sepeda motor terus ku pacu. Saat mencapai di depan SD Inpres, terlihat asap sangat tinggi. Tapi bukan dari rumahku. Sekarang terlihat asap itu bersumber dari gereja. Gereja! Jangan! Gereja itu belum selesai. Kenapa terbakar? Sekarang sepeda motor melewati rumah. Nampak kerumunan orang memenuhi jalan. Juga di depan rumahku. Tapi tak terjadi sesuatu buruk dengan rumahku.  Dari kejauhan terlihat rombongan sepeda motor dengan kecepatan tinggi.
“Kebakaran! Kebakaran! Rumah tante Unggu terbakar!” pengemudi berteriak panik. Dengan kostum rapih aku melesat menuju ke gereja. Asal asap kini terlihat berasal dari rumah kostor yang berdiri di belakang gedung gereja. Beberapa sepeda membuntuti dari belakang. Kami terlihat dan terdengar seperti sedang balapan. Raungan sepeda motor memperburuk suasana. Orang-orang di tepi jalan terlihat semakin panik. Ibu-ibu dan gadis-gadis perempuan berteriak historis. Ada yang jatuh pingsan. Tampak begitu menegangkan. Saat tiba di gereja, kelihatan api membumbung tinggi dari sebuah rumah di kampung baru. Jalan rusak berat dengan nekad bersama-sama kami tempuh.
Sepeda motor setengah tuaku ku parkir saja sembarangan di badan jalan. orang-orang lelaki dewasa berlarian mondar-mandir mengambil air dari selokan. Air yang sangat sedikit tidak sanggup memadam api. Saat disiram api kian bertamba besar. Para wanita berteriak-teriak saat si bengis merah melahap rumah kayu berkamar 4. Rumah itu masih baru. Belum lama ditahbiskan oleh pendeta. Semua dinding lenyap. Tiang-tiang satu persatu tumbang. Para orang dewasa berusaha merobohkan tapi mereka menemui kesukaran. Kabel listrik terputus dan memancar-ancarkan api.
Dari kejauhan aku melihat sepasang suami istri berteriak-teriak penuh tangis berusaha masuk dalam rumah yang sedang lenyap. Beberapa orang beberapa kali mencoba. Usaha apapun tak dapat menghentikan api. Satu-satunya cara adalah menunggu sampai si bengis merah kenyang. Dengan begitu perlahan-lahan ia akan menghilang. Mengetahui itu, para lelaki dewasa menyerah. Semua terduduk lemas menjadi saksi keberingasan si bengis merah.
Kini bengis merah telah pergi namun jejak panas masih terasa. Walaupun begitu para lelaki dewasa berdiri dan kembali menjinjing ember. Disiram mereka sisa-sisa api. Satu dua orang dengan berani menyusuri rumah yang tercabik-cabik. Bagian atas yang jatuh membuat tumpukan di lantai. Alas kaki beberapa pria dewasa itu mencair oleh bara api. Tapi mereka tetap nekad mencari sesuatu. Aku bingung. Apa yang mereka cari? Tidak sebaiknya pencarian dilakukan setelah api betul-betul sudah padam. Pasti ada sesuatu yang berharga.
Kini telah ada 5 pria dewasa di dalam. Dengan menggunakan kayu panjang sebesar lengan mereka mengorek-ngorek tumpukan. Tiba-tiba seorang pria…
“Oh Tuhan. Oh Tuhan…kenapa kau biarkan ini terjadi. Dia masih kecil!”
Orang banyak sontak berkerumun melihat apa yang ditunjuk si pria berperawakan tinggi.
Seorang pria, belakangan ku tahu dia seorang mantan kriminal, mengangkat seonggok tubuh.
“Oh Tuhan! Oh Tuhan! Tuhaaaaaaaaan…!” kerumunan berseru dengan keras seakan-akan mempersalahkan Tuhan karena menimpahi mereka dengan musibah yang begitu berat.
Tubuh kecil berwarna hitam karena hamgus diangkat dan dipindahtangankan. Tercium bau daging pangang. Perut anak kecil itu telah pecah. Isi perut terburai. rupa tumbuh tampak begitu buruk. Jari tangan dan kaki telah tiada habis ditelan si bengis. Teganya si bengis. Tak puas dengan rumah, dia juga melahap sebagian kanak-kanak itu.
“Kain… kain. “ kata pria yang menggotong tubuh terbakar.
Seorang pemuda membuka pakaiannya dan merelakannya menjadi penutup mayat si anak. Brian tewas mengenaskan sewaktu dia bersembunyi di bawah ranjang. Kata neneknya, dialah yang memberitahu si nenek tentang api pertama kali. Sang nenek yang telah lumpuh buru-buru di selamatkan ayahnya. Sewaktu ayahnya hendak kembali ke kamar, amukan api sedang besar-besarnya. Dia berharap anak itu telah menyelamatkan dirinya. Tapi, kini telah gamblang. Brian memang berusaha menyelamatkan diri. Hanya saja di tempat yang salah.
Tangisan kerumunan menggemuruh sampai ke langit.
“Tuhan…dia hanya anak kecil. Kenapa dia? Kenapa…….?”
Saat ku lihat jam tangan, aku insaf akan tugasku. Seharusnya aku di dalam kelas  di depan siswa. Tak patut aku berada di situ. Aku melangkah keluar melewati tumpukan manusia berdesak-desakan. Sepeda motorku kini telah berada di tengah-tengah kerumunan sepeda motor lain. Satu persatu sepeda motor itu ku pinggirkan.
Ku putuskan untuk segera kembali ke sekolah tanpa kebut-kebutan. Pikiran masih terganggu oleh kejadian na’as yang menimpa keluarga yang terhitung seumur jagung. Brian baru berumur 4 tahun. Kakaknya, yang sulung, berumur 9 tahun. Pasti sangat berat jika aku yang mengalami pergumulan itu.
Begitu sampai di sekolah aku ke ruang guru sebentar. Betapa pedas kekesalan mereka padaku karena keluar begitu saja dari sekolah pasti akan segera pudar saat ku beritahu tentang kebakaran disertai foto dan video yang sempat ku ambil saat kebakaran masih sumgringahnya membabat setiap bagian rumah yang cantik itu. Untung, beberapa bulan lalu, aku sempat mengabadikan rumah itu dalam Hpku. Aku pernah memiliki impian punya rumah sebagus itu. Rumah itu dibuat sendiri oleh sang pemilik. Ayah Brian. Namanya Eben.
Seperti yang aku duga. Waktu kaki satu langkah di ruang guru. Seorang guru telah bertanya. Ku beritahu mereka mengenai peristiwa yang baru terjadi. Kaget mereka bukan main. Walau hanya melihat dari video mereka tak bedanya seperti saksi mata. Para guru berteriak dan membuahkan kegaduhan. Beberapa siswa dari kelas sebelah berhamburan ikut serta bercambur baur dengan para guru karena penasaran. Karena garang oleh kelakuan murid yang sudah tak sopan kata-kata senonoh keluar meluncur.
“Pergi sana. Binatang kalian!”
Para murid hanya sedikit menjauh. Masih berharap ada sesuatu yang memuaskan rasa keingintahuan mereka. Walaupun tak melihatnya videonya, mereka tinggal mendekat, berharap mendapat informasi dengan mendengarkan indra pendengar. Akupun menjelaskan. Para siswa terkejut sedih. Beberapa dari mereka masih saudara dekat keluarga korban amukan si bengis merah.
“Jesika, Indri dan Fike, kalian boleh pulang skarang. Tengoklah adik kalian.”
Mereka langsung bubar dan kembali kelas untuk mengambil tas. Sudah itu mereka pulang dalam keadaan muram.
“Musibah itu memang cocok untuk mereka,” kata seorang guru perempuan berambut pendek. Dia memang pernah cekcok dengan keluarga korban lahapan api.
“Kenapa ibu berkata begitu. Sungguh tak baik berkata seperti itu.”
“Memang betul. Mereka sudah pantas ditegur. Mereka jahat pada orang tua, anti gereja dan tak menghormati pemuka agama. Kami sering dicemooh mereka. Tambah lagi, mereka kurang sosial. Tidak mau bermasyarakat. Mentang-mentang orang berada.”
Tak tahu apa yang dikata itu benar atau tidak. Tapi sungguh sangat tidak manusia jika ada seorang menginjak orang lain yang sedang jatuh terperosok dalam lubang. Sudah jatuh dari pohon tertimpah buah durian pula. Sungguh malang.
Aku sendiri, bukan baru sekali saja mendengar rumor itu. Memang si bapak adalah orang yang rajin bekerja. Ekonomi mereka cepat berkembang berkat kepiawaiannya sebagai tukang kayu. Dia sanggup membangun rumah sendiri tanpa harus bekerja selama 20 tahun. Ini membuat dia congkak dan merasa tak perlu bantuan orang lain untuk bisa hidup. Tapi itu cerita yang sudah lewat. Sekarang tidaklah begitu. Sudah kehilangan rumah. Perkakas pertukangan juga telah hilang tak berbekas. Anak lelaki yang paling tampanpun ikut menjadi mangsa si bengismerah. Walaupun begitu umumnya masyarakat bersimpati. Pemerintah dan gereja bekerjasama  mengumpulkan uang dan material rumah:semen, kayu, batu, bata, pasir, tras. Belum selesai pemerintah mengumumkan lewat pengeras suara, semua material yang diminta serta uang berdatangan. Melebihi yang diharapkan. Yang tak sanggup memberi uang atau bahan, mereka menyumbangkan tenaga untuk membangun rumah baru. Tak sampai sebulan rumah permanen 3 kamar telah berdiri. Rumah kayu telah digantikan oleh rumah beton. Gara-gara itu sekeluargapun sadar dan secara perlahan mulai bermasyarakat dan bergereja.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar