KELABU DI
KAMPUNG BARU
Oleh Iswan
Sual, S.S
Dalam
keadaan tergesah-gesah kuparkir sepeda motorku. Rambut masih basah dan kocar
kacir. Ini karena aku bangun nyaris kesiangan. Di bawah pohon mangga yang
rindang sepeda motorku ku biarkan berdiri dengan dua kaki. Para siswa telah
berbaris rapih. Tiga orang siswa perempuan yang cantik sudah berada di depan
siap untuk memimpin senam caka-caka. Senam yang berasal dari Palu ini sedang
digandrungi dimana-mana. Tak terkecuali di desaku yang masih tergolong udik. Ketenaran
tarian poco-poco yang asli dari Manado kini terbenam. Sudah tergantikan senam
atau tarian yang sedikit erotis ini. Rasanya tidak patut senam dengan dominasi
gerakan pantat ini dibawa ke dalam lingkungan anak-anak yang masih begitu
polos. Dengan sedikit malu-malu ku langkahkan kaki menuju kantor kepala
sekolah. Di situlah kami para guru
mengisi daftar hadir.
“ser, ada rumah yang terbakar.”
Seorang siswa sedikit berteriak sambil menunjuk ke arah kampung seberang yang
tak jauh dari desa kami. Aku tak mengubris.
Aku harus cepat-cepat supaya tidak kepergok kepala sekolah karena datang
terlambat 10 menit.
Akhir-akhir
ini aku memang sering tidur setelah ayam berkokok di tengah malam. Banyak guru
yang memintaku mengerjakan yang seharusnya mereka kerjakan. Guru-guru yang
sedang kuliah terpaksa meminta bantuanku karena mereka tak sanggup mengerjakan
tugas-tugas dosen. Sungguh ironis.
“Ser, coba
lihat. Ada yang kebakaran,” Siswa bernama Kifli itu mendesak. Masih tak kupercaya.
Kadang-kadang siswa di sekolah ada yang suka mencari perhatian dengan cara seperti itu. Meskipun kurang percaya,
kupikir tak ada salahnya melihat apa yang ditunjuk oleh si Kifli.
Aku urungkan niat mengisi daftar
hadir. Kepala sekolah rupanya tak ada. Tak ada hartop hijaunya. Pasti dia
sakit.
“Ser, ada rumah terbakar.”
Kulihat kearah siswa yang terus
menganggu itu. Senam baru saja dimulai. Mataku terbelalak keheranan sebagian
siswa melihat ke arah yang ditunjuk. Sejurus kemudian pandanganku membeo
pandangan mereka.
Asap mengepul dan menjulang tinggi
ke langit. Asap putih kehitaman. Tinggi jauh ke atas. Mendadak aku terpikir
rumah kami. Asap itu nampak berasal dari area Aer Tondei. Ya Aer Tondei. Di kompleks
situlah rumah kami berada. Tak sampai hitungan ketiga aku sudah di atas sepeda
motor lagi. Segera kuhidupkan dan dengan cepat menyusuri jalan bebantuan dan berkerikil
yang menurun. Tak sempat aku pamitan. Tas yang berat tak sempat ku letakan di
meja guru. Ku teringat rumahku. Banyak barang berharga. Antara lain buku-buku,
sertifikat, ijasa-ijasahku.
Di perbatasan kampung Tondei dan
Tondei Satu, tepatnya di rumah hukum tua, aku hentikan sepeda motorku sejenak.
“Vian! Vian! Sepertinya ada rumah
yang terbakar,” kataku sambil ngos-ngosan. Padahal aku berlari dengan sepeda
motor.
“Tidak. Itu bukan rumah. Itu…ada
seorang kakek yang sementara membakar rerumputan mungkin. Dia berencana akan
menamami lahan itu dengan berbagai jenis umbi. Kemarin aku sempat bicara
dengannya,” Jawab pria bujangan dengan tenang.
Orang di sekitar rumah hukum tua
yang kebetulan berkerumun terlihat dilayani penjual sayur dan tahu serta nampak
tenang-tenang saja. Tapi aku kurang yakin dengan ketenangan mereka. Ketenangan
itu mungkin disebabkan ketidaktahuan.
Aku tancap gassepeda motorku
melewati jalan berlubang. Badan sepeda motor bersuara ribut. Tapi tak
kupedulikan. Gas sepeda motor terus ku pacu. Saat mencapai di depan SD Inpres,
terlihat asap sangat tinggi. Tapi bukan dari rumahku. Sekarang terlihat asap
itu bersumber dari gereja. Gereja! Jangan! Gereja itu belum selesai. Kenapa terbakar?
Sekarang sepeda motor melewati rumah. Nampak kerumunan orang memenuhi jalan.
Juga di depan rumahku. Tapi tak terjadi sesuatu buruk dengan rumahku. Dari kejauhan terlihat rombongan sepeda motor
dengan kecepatan tinggi.
“Kebakaran! Kebakaran! Rumah tante
Unggu terbakar!” pengemudi berteriak panik. Dengan kostum rapih aku melesat
menuju ke gereja. Asal asap kini terlihat berasal dari rumah kostor yang
berdiri di belakang gedung gereja. Beberapa sepeda membuntuti dari belakang.
Kami terlihat dan terdengar seperti sedang balapan. Raungan sepeda motor
memperburuk suasana. Orang-orang di tepi jalan terlihat semakin panik. Ibu-ibu
dan gadis-gadis perempuan berteriak historis. Ada yang jatuh pingsan. Tampak
begitu menegangkan. Saat tiba di gereja, kelihatan api membumbung tinggi dari
sebuah rumah di kampung baru. Jalan rusak berat dengan nekad bersama-sama kami
tempuh.
Sepeda motor setengah tuaku ku
parkir saja sembarangan di badan jalan. orang-orang lelaki dewasa berlarian
mondar-mandir mengambil air dari selokan. Air yang sangat sedikit tidak sanggup
memadam api. Saat disiram api kian bertamba besar. Para wanita berteriak-teriak
saat si bengis merah melahap rumah kayu berkamar 4. Rumah itu masih baru. Belum
lama ditahbiskan oleh pendeta. Semua dinding lenyap. Tiang-tiang satu persatu
tumbang. Para orang dewasa berusaha merobohkan tapi mereka menemui kesukaran.
Kabel listrik terputus dan memancar-ancarkan api.
Dari kejauhan aku melihat sepasang
suami istri berteriak-teriak penuh tangis berusaha masuk dalam rumah yang
sedang lenyap. Beberapa orang beberapa kali mencoba. Usaha apapun tak dapat
menghentikan api. Satu-satunya cara adalah menunggu sampai si bengis merah
kenyang. Dengan begitu perlahan-lahan ia akan menghilang. Mengetahui itu, para
lelaki dewasa menyerah. Semua terduduk lemas menjadi saksi keberingasan si
bengis merah.
Kini bengis merah telah pergi namun
jejak panas masih terasa. Walaupun begitu para lelaki dewasa berdiri dan
kembali menjinjing ember. Disiram mereka sisa-sisa api. Satu dua orang dengan
berani menyusuri rumah yang tercabik-cabik. Bagian atas yang jatuh membuat
tumpukan di lantai. Alas kaki beberapa pria dewasa itu mencair oleh bara api.
Tapi mereka tetap nekad mencari sesuatu. Aku bingung. Apa yang mereka cari?
Tidak sebaiknya pencarian dilakukan setelah api betul-betul sudah padam. Pasti
ada sesuatu yang berharga.
Kini telah ada 5 pria dewasa di
dalam. Dengan menggunakan kayu panjang sebesar lengan mereka mengorek-ngorek
tumpukan. Tiba-tiba seorang pria…
“Oh Tuhan. Oh Tuhan…kenapa kau
biarkan ini terjadi. Dia masih kecil!”
Orang banyak sontak berkerumun
melihat apa yang ditunjuk si pria berperawakan tinggi.
Seorang pria, belakangan ku tahu
dia seorang mantan kriminal, mengangkat seonggok tubuh.
“Oh Tuhan! Oh Tuhan!
Tuhaaaaaaaaan…!” kerumunan berseru dengan keras seakan-akan mempersalahkan
Tuhan karena menimpahi mereka dengan musibah yang begitu berat.
Tubuh kecil berwarna hitam karena
hamgus diangkat dan dipindahtangankan. Tercium bau daging pangang. Perut anak
kecil itu telah pecah. Isi perut terburai. rupa tumbuh tampak begitu buruk.
Jari tangan dan kaki telah tiada habis ditelan si bengis. Teganya si bengis.
Tak puas dengan rumah, dia juga melahap sebagian kanak-kanak itu.
“Kain… kain. “ kata pria yang
menggotong tubuh terbakar.
Seorang pemuda membuka pakaiannya
dan merelakannya menjadi penutup mayat si anak. Brian tewas mengenaskan sewaktu
dia bersembunyi di bawah ranjang. Kata neneknya, dialah yang memberitahu si nenek
tentang api pertama kali. Sang nenek yang telah lumpuh buru-buru di selamatkan
ayahnya. Sewaktu ayahnya hendak kembali ke kamar, amukan api sedang
besar-besarnya. Dia berharap anak itu telah menyelamatkan dirinya. Tapi, kini
telah gamblang. Brian memang berusaha menyelamatkan diri. Hanya saja di tempat
yang salah.
Tangisan kerumunan menggemuruh
sampai ke langit.
“Tuhan…dia hanya anak kecil. Kenapa
dia? Kenapa…….?”
Saat ku lihat jam tangan, aku insaf
akan tugasku. Seharusnya aku di dalam kelas
di depan siswa. Tak patut aku berada di situ. Aku melangkah keluar
melewati tumpukan manusia berdesak-desakan. Sepeda motorku kini telah berada di
tengah-tengah kerumunan sepeda motor lain. Satu persatu sepeda motor itu ku
pinggirkan.
Ku putuskan untuk segera kembali ke
sekolah tanpa kebut-kebutan. Pikiran masih terganggu oleh kejadian na’as yang
menimpa keluarga yang terhitung seumur jagung. Brian baru berumur 4 tahun.
Kakaknya, yang sulung, berumur 9 tahun. Pasti sangat berat jika aku yang
mengalami pergumulan itu.
Begitu sampai di sekolah aku ke
ruang guru sebentar. Betapa pedas kekesalan mereka padaku karena keluar begitu
saja dari sekolah pasti akan segera pudar saat ku beritahu tentang kebakaran
disertai foto dan video yang sempat ku ambil saat kebakaran masih sumgringahnya
membabat setiap bagian rumah yang cantik itu. Untung, beberapa bulan lalu, aku
sempat mengabadikan rumah itu dalam Hpku. Aku pernah memiliki impian punya
rumah sebagus itu. Rumah itu dibuat sendiri oleh sang pemilik. Ayah Brian.
Namanya Eben.
Seperti yang aku duga. Waktu kaki
satu langkah di ruang guru. Seorang guru telah bertanya. Ku beritahu mereka
mengenai peristiwa yang baru terjadi. Kaget mereka bukan main. Walau hanya
melihat dari video mereka tak bedanya seperti saksi mata. Para guru berteriak
dan membuahkan kegaduhan. Beberapa siswa dari kelas sebelah berhamburan ikut
serta bercambur baur dengan para guru karena penasaran. Karena garang oleh
kelakuan murid yang sudah tak sopan kata-kata senonoh keluar meluncur.
“Pergi sana. Binatang kalian!”
Para murid hanya sedikit menjauh.
Masih berharap ada sesuatu yang memuaskan rasa keingintahuan mereka. Walaupun
tak melihatnya videonya, mereka tinggal mendekat, berharap mendapat informasi
dengan mendengarkan indra pendengar. Akupun menjelaskan. Para siswa terkejut
sedih. Beberapa dari mereka masih saudara dekat keluarga korban amukan si
bengis merah.
“Jesika, Indri dan Fike, kalian
boleh pulang skarang. Tengoklah adik kalian.”
Mereka langsung bubar dan kembali
kelas untuk mengambil tas. Sudah itu mereka pulang dalam keadaan muram.
“Musibah itu memang cocok untuk
mereka,” kata seorang guru perempuan berambut pendek. Dia memang pernah cekcok
dengan keluarga korban lahapan api.
“Kenapa ibu berkata begitu. Sungguh
tak baik berkata seperti itu.”
“Memang betul. Mereka sudah pantas
ditegur. Mereka jahat pada orang tua, anti gereja dan tak menghormati pemuka
agama. Kami sering dicemooh mereka. Tambah lagi, mereka kurang sosial. Tidak
mau bermasyarakat. Mentang-mentang orang berada.”
Tak tahu apa yang dikata itu benar
atau tidak. Tapi sungguh sangat tidak manusia jika ada seorang menginjak orang
lain yang sedang jatuh terperosok dalam lubang. Sudah jatuh dari pohon
tertimpah buah durian pula. Sungguh malang.
Aku sendiri, bukan baru sekali saja
mendengar rumor itu. Memang si bapak adalah orang yang rajin bekerja. Ekonomi
mereka cepat berkembang berkat kepiawaiannya sebagai tukang kayu. Dia sanggup
membangun rumah sendiri tanpa harus bekerja selama 20 tahun. Ini membuat dia
congkak dan merasa tak perlu bantuan orang lain untuk bisa hidup. Tapi itu
cerita yang sudah lewat. Sekarang tidaklah begitu. Sudah kehilangan rumah.
Perkakas pertukangan juga telah hilang tak berbekas. Anak lelaki yang paling
tampanpun ikut menjadi mangsa si bengismerah. Walaupun begitu umumnya
masyarakat bersimpati. Pemerintah dan gereja bekerjasama mengumpulkan uang dan material rumah:semen,
kayu, batu, bata, pasir, tras. Belum selesai pemerintah mengumumkan lewat
pengeras suara, semua material yang diminta serta uang berdatangan. Melebihi
yang diharapkan. Yang tak sanggup memberi uang atau bahan, mereka menyumbangkan
tenaga untuk membangun rumah baru. Tak sampai sebulan rumah permanen 3 kamar
telah berdiri. Rumah kayu telah digantikan oleh rumah beton. Gara-gara itu
sekeluargapun sadar dan secara perlahan mulai bermasyarakat dan bergereja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar