BUNGLON
Oleh Iswan
Sual, S.S
Pantat kini panas karena lama telah
saling gesek dengan kursi kayu batang
kelapa. Mata juga kian terseok-seok
menelusuri jalanan huruf bertumpuk
rapih di atas kertas putih. Tambah lagi penerangan terlampau kikir. Kuputuskan
keluar dari gedung berisi berbagai buku itu saat itu juga.
Pas di depan gedung kurogoh ponsel
lebar berwarna coklat dari kantong celana jinsku yang juga berwarna coklat.
Kuambil beberapa gambar gedung itu dengan menggunakan kamera ponsel yang
lumayan bagus hasilnya. Sebagai tanda mata bahwa aku sudah pernah berkunjung ke
perpustakaan daerah sulawesi utara. Perpustakaan penampung buku antik.
Keadaan di atas kepala sana gelap
pekat. Butir-butir air mulai berjatuhan dari langit. Namun, mobil di jalan yang
lalulalang kian padat dan tergesah-gesah. Niatku untuk menyeberangi jalan
terhadang. Butir air kian banyak jatuh
menghantam wajah. Maka akupun nekat menyeberang.
“Pemai ngana!” teriak sopir dengan
mata hampir lepas.
Aku balas memandanginya dengan
tatapan seorang waraney. Ca wana parukuan, cawana pakuruan. Kekesalan
sang sopir tak bisa dilampiaskan karena begitu banyaknya penumpang dalam
mikronya. Pasti akan ada lebih dari lima orang yang akan membentaknya bila ia
tak mengurungkan niatnya untuk turun dan mengapa-apakan diriku.
Butiran air yang sebesar kerikil
kecil semakin banyak turunnya. Calon pasukan Paskibraka yang ada di tengah
lapangan berhamburan berlari menuju tribune yang berhadapan dengan kantor
walikota kota Manado. Tak ada halangan buatku untuk kesana juga. Tribune itu
adalah tempat berteduh yang tepat agar tak basah oleh tumpahan air dari langit.
“Baris! Baris! Cepat..cepat! Jang
santai ngoni!”
Teriakan senior kepada adik-adik
calon paskibraka itu membawaku ke masa lalu. Saat di mana aku masih sekolah di
Amurang dulu. Kala itu kak Azis menarikku seperti babi yang haram bagi dia ke
tengah-tengah lokasi pekuburan. Beberapa kali tulang keringku beradu dengan
sudut-sudut runcing kubur. Aku tahu
bahwa aku sedang dibawa untuk ditakut-takuti. Memang benar. Saat tutup mata
kubuka, aku dilepaskan begitu saja di kuburan yang baru berumur tiga hari.
Lilin dan kransnya masih baru.
“Woi! Menghayal ngana!”
Tiba-tiba lamunan masa laluku kabur
tungganglanggang kembali ke masa lampau. Kucari tempat untuk menaruh pantatku
untuk beristirahat. Gadis-gadis bertubuh tinggi dan berambut pendek berdiri
tegak. Dua kelompok barisan berhadapan. Kakak senior yang tak terlalu tinggi
itu berdiri di tengah berkacak pinggang. Sungguh pongah! Senior-senior yang
adalah anggota paskibraka tahun lalu bergentayangan di antara barisan.
Yang lelaki mencari-cari kesalahan
perempuan. Begitu pula sebaliknya. Rasa ingin bersentunhan dengan junior mereka samarkan dengan marah-marah atau atau
pura-pura membetulkan atribut. Topi sering menjadi sasaran. Namun, gara-gara gugup,
bukannya jadi betul malah menjadi kacau. Dasar senior! Ada-ada saja.
“ini sudah tanggal 12 Juli! Sekali
lagi ya, ini sudah tanggal 12! Kok gerakkan kalian tak ada perubahan sih.
Serius kwa kalu latihan. Biar le ada ngana pe tamang, pe orang tua, pe cowo ato
cewe, pandangan tetap kedepan. Ngoni ini mo pikul tugas brat. Ngoni suka mo
beking malu dang?”
“Siap tidak kak!”
Mataku mengunjungi peserta satu
persatu. Di antara pasukan putri ada dua yang berjilbab merah. Sepertinya
mereka kembar. Lekuk tubuh masih nampak
biarpun mereka menggunakan seragam treining yang sangat longgar. Kulit putih
dan tubuh sintal mereka membangkitkan hasrat kelakilakianku. Wajah ayu mereka
menimbulkan ingin untuk kembali ke masa lalu. Alangkah berbahagianya
kekasih-kekasih gadis-gadis ini.
Sesekali pandanganku kulempar jauh
bila tiba-tiba gadis-gadis itu membalas tatapanku. Dari kejauhan kulihat kain
biru panjang bergelayut di pinggang gedung walikota. Di tribune dimana ku
bertedu juga demikian. Kok bisa ya? Seharusnya kan berwarna merah putih. Aha!
Betul-betul. Baru kuingat sekarang. Walikotanya seorang yang diusung oleh
partai berwarna biru. Pantas saja gedung perkantoran kebiru-biruan. Di Tondano
bulan lalu saat dilaksanakan kegiatan perkemahan pemuda, wilayah itu didominasi
warna kuning. Kantor-kantor pemerintahan juga begitu. Ternyata bisa ya. Kantor
dan fasilitas umum bisa diwarnai apa saja sesuka pejabatnya. Gedung-gedung dan
kantor-kantor seperti bunglon yang kerap berganti warna bila penguasa berganti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar