BUTA INTERNET
Oleh Iswan
Sual, S.S
Kos-kosan
sekonyong-konyong meriuh tatkala sepasang kekasih pulang dari kampus. Tak ada
saling puji yang terdengar. Kalimat keluhan lebih banyak. Apalagi, rangkaian
sabda muncrat dari mulut si perempuan. Logat Sangihe yang kental memicu gelak
tawa kecil terciprat keluar dari mulut seorang pemuda di kamar sebelah. Bagi
Jefry, logat itu seolah lucu-lucuan Sule dan kawan-kawannya di acara Opera Van
Java. Seiring tangan Jefry yang kurang cekatan itu merapihkan kamarnya, kuping
tak mangkir melaksanakan fungsinya. Dalam bayangannya gadis judes yang sedang
berdebat dengan pacarnya di seberang itu pasti sama saja dengan gadis umumnya
di daerah yang kini menjadi tempatnya mencari nafkah. Jefry baru menjelang dua
bulan berdomisili di kota Tahuna. Kota yang sangat elok karena hamparan nyiur
serta lekuk-lekuk pantainnya yang aduhai.
Dalam
pikirannya si Jefry, tak ada satu gadispun di kota kecil yang dia tinggali itu yang
bisa dikategorikan elok nan jelita. Warna kulit yang gelap serta ukuran tubuh
yang kecil kurang menarik minatnya. Dia terlalu bangga dengan kulitnya sendiri
yang terang. Yang menurutnya berwarna putih. Padahal, tak satupun dia dunia ini
manusia berkulit putih. Mana ada orang yang warnanya seputih kertas. Anehnya,
orang bule menyebut diri mereka dengan white people. Putih? Meski mereka
bangsa yang pintar. Tapi, mereka kurang dalam satu hal. Buta warna.
“Mo kaluar
lagi, kak?” tanya seorang teruna berumuran belasan ketika Jefry baru menutup
dan mengunci pintu kamarnya. Rupanya pintu yang keseringan ditutup dan dibuka
memaksanya membuat satu kesimpulan bahwa aku banyak kali keluar.
“Oh iyo.
Napa ada tamang-tamang batunggu di Hotel Nasional,” Katanya Jefry sembari
menyeruakkan senyum paksa di ujung mulutnya. Kalimat yang sedikit pamer itu
dituturnya. Menunduk sebentar. Memindai letak sepatu coklatnya di pojok
ruangan. Begitu dia mendongkak dia kaget bukan kepalang. Lawan bicaranya kini
nampak dalam dua sosok. Seorang berambut pendek dan seorang lagi adalah gadis
belia nan jelita. Dia sedikit menyengir memamerkan gigi dan bibirnya yang
cantik. Adegan itu pun diakhirinya dengan melemparkan rambut indah panjangnya
ke belakang. Sungguh menawan. Hampir semenit mata Jefry tertawan wajah gadis
Tahuna yang rupawan itu. Gadis berkulit sedikit gelap dengan tatapan penuh
pesona. Jefry tertunduk lagi. Tak percaya dia dengan pementasan gratis di depan
mata. Mau tak mau dia mesti mengakui bahwa ada gadis cantik di Tahuna. Dan
kemungkinan ada lagi yang lebih cantik. Dan barangkali juga lebih banyak lagi.
***
Semua
praduga Jefry tentang gadis dan orang Tahuna sirna begitu Momo tampil memukau
di depan pintu kamarnya tadi. Sampai wajah pasangannya pun sedikit mengeram. Diam-diam
dia mulai mengakui bahwa dia telah keliru dengan pikiran awalnya. Hanya karena
kenal orang Sangihe satudua lalu dia menyimpulkan bahwa tak ada gadis cantik di
Sangihe. Alangkah naifnya mindset-nya dahulu. Kebanggaan semu tentang
keistimewaan kulit terang yang melekat pada dia sebagai penentu cantik tidaknya
seseorang, luluh lantah. Hancur lebur berantakan. Dengan kepala menggeleng-geleng
kecil dia pun mencegat mobil mikro menuju Hotel Nasional. Ada desah tak puas
begitu badannya terhempas di kursi belakang mobil.
Hiruk
pikuk. Begitu gambarannya keadaan di dalam mikro berplat nomor DL 5356 XY itu.
Itu tiba-tiba terjadi saat mobil mini yang sanggup menampung sepuluh penumpang
itu memuat siswi-siswi berseragam putih abu-abu. Suara audio mobil dan suara
gadis-gadis centil ini saling berlomba. Tak ada yang mau kalah. Tapi Jefry
sedikit pun tak merasa terganggu. Walaupun tak berminat melepas lajang, dia
senang memandangi gadis-gadis belia yang menawarkan keindahan.
“Pigi jo
kwa, Momo. Lama-lama ngana mo suka. Korang mo suka-suka trus lei,” kata siswa
bertubuh sintal yang duduk tepat dekat Jefry. Logatnya sekali lagi membuat
Jefry terkekeh pelan. Telinganya memperhatikan.
“Pokoknya,
kalu ngana pe teman so sekitar lima ratus. Pasti ngana korang di situ trus.
Butul ini. Percaya pa kita. Pokoknya kalu ngana pe tamang so banya dang, kong
ngana ba chatting, odo! Asyik kwa.”
“Iyo Momo.
Mari jo kwa. Ngana musti ja bergaul sadiki kwa. Di Facebook yang mo dapa banya
tamang. Tinggal pili. Kalu kita, saban ada yang gaga kita add. Kalu
jaha’ (jelek) kita nya abaikan no. Kita nya ja add,” tambah seorang
gadis yang lain.
Sepanjang
jalan berkerumun mereka mendesak terus menerus si gadis agar mau sama dengan
mereka. Bergaul di dunia maya. Itulah yang trend sekarang. Anda tak usah
susah, hanya dalam sebuah kotak, dapat melalangbuana ke seantero dunia.
Bertegur sapa, bertukar foto dan cerita, bakarlota hingga ke ujung
dunia. Jejaring sosial bisa dibangun dengan kecepatan jemari di atas papan
tuts. Hanya dengan menumbalkan enam ribu rupiah umat manusia kini bisa menembus
batas negara untuk menjalin pertemanan bahkan permusuhan.
“Eh ngoni
tau, tu Alma kemarin minta pa kita antar dia ke warnet. Dia dudu baku sabla
deng kita. Mar pastiu e! Dia nda kase kesempatan pa kita. Sasadiki batanya.
Sasadiki batanya. Samuasamua jo dia nintau.”
Sekali lagi
Jefry terkekeh dalam hati. Bukan lagi karena logat para Wawu. Melainkan cerita
tentang teman mereka yang belum menguasai utak-atik internet. Jefry dulu pernah
mengalami hal demikian. Dengan pongah, suatu waktu, dia melangkah ke dalam
warnet. Sudah hampir sejam dia tak bisa menelusuri apapun. Susah dia berupaya
melihat jalan masuk. Namun, tak ditemukannya. Biasanya dia tinggal klik dua
kali pada ikon yang sudah lumrah di layar. Tapi ikon itu tak kunjung ditangkap
mata. Dan memang ternyata tak ada ikon itu di layar. Dua jam berlalu tanpa ada
kemajuan yang sungguh. Mau bertanya tapi benaknya dililit rasa malu yang
terlalu. Kasirpun terperanjat sarat tanda tanya ketika Jefry keluar tanpa
membayar. Di layar kontrol kasir memang tak ada bukti bahwa Jefry menggunakan
internet. Tapi yang membingungkan kasir adalah kenapa lelaki pongah itu berada
dalam kotak kecil hingga dua jam.
Selesai jam
20.55
Tahuna, Hotel Nasional, 7
November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar