Rabu, 07 November 2012

SEBUAH CERPEN: BUTA INTERNET


BUTA INTERNET
Oleh Iswan Sual, S.S

Kos-kosan sekonyong-konyong meriuh tatkala sepasang kekasih pulang dari kampus. Tak ada saling puji yang terdengar. Kalimat keluhan lebih banyak. Apalagi, rangkaian sabda muncrat dari mulut si perempuan. Logat Sangihe yang kental memicu gelak tawa kecil terciprat keluar dari mulut seorang pemuda di kamar sebelah. Bagi Jefry, logat itu seolah lucu-lucuan Sule dan kawan-kawannya di acara Opera Van Java. Seiring tangan Jefry yang kurang cekatan itu merapihkan kamarnya, kuping tak mangkir melaksanakan fungsinya. Dalam bayangannya gadis judes yang sedang berdebat dengan pacarnya di seberang itu pasti sama saja dengan gadis umumnya di daerah yang kini menjadi tempatnya mencari nafkah. Jefry baru menjelang dua bulan berdomisili di kota Tahuna. Kota yang sangat elok karena hamparan nyiur serta lekuk-lekuk pantainnya yang aduhai.
Dalam pikirannya si Jefry, tak ada satu gadispun di kota kecil yang dia tinggali itu yang bisa dikategorikan elok nan jelita. Warna kulit yang gelap serta ukuran tubuh yang kecil kurang menarik minatnya. Dia terlalu bangga dengan kulitnya sendiri yang terang. Yang menurutnya berwarna putih. Padahal, tak satupun dia dunia ini manusia berkulit putih. Mana ada orang yang warnanya seputih kertas. Anehnya, orang bule menyebut diri mereka dengan white people. Putih? Meski mereka bangsa yang pintar. Tapi, mereka kurang dalam satu hal. Buta warna. 
“Mo kaluar lagi, kak?” tanya seorang teruna berumuran belasan ketika Jefry baru menutup dan mengunci pintu kamarnya. Rupanya pintu yang keseringan ditutup dan dibuka memaksanya membuat satu kesimpulan bahwa aku banyak kali keluar.
“Oh iyo. Napa ada tamang-tamang batunggu di Hotel Nasional,” Katanya Jefry sembari menyeruakkan senyum paksa di ujung mulutnya. Kalimat yang sedikit pamer itu dituturnya. Menunduk sebentar. Memindai letak sepatu coklatnya di pojok ruangan. Begitu dia mendongkak dia kaget bukan kepalang. Lawan bicaranya kini nampak dalam dua sosok. Seorang berambut pendek dan seorang lagi adalah gadis belia nan jelita. Dia sedikit menyengir memamerkan gigi dan bibirnya yang cantik. Adegan itu pun diakhirinya dengan melemparkan rambut indah panjangnya ke belakang. Sungguh menawan. Hampir semenit mata Jefry tertawan wajah gadis Tahuna yang rupawan itu. Gadis berkulit sedikit gelap dengan tatapan penuh pesona. Jefry tertunduk lagi. Tak percaya dia dengan pementasan gratis di depan mata. Mau tak mau dia mesti mengakui bahwa ada gadis cantik di Tahuna. Dan kemungkinan ada lagi yang lebih cantik. Dan barangkali juga lebih banyak lagi.
***
Semua praduga Jefry tentang gadis dan orang Tahuna sirna begitu Momo tampil memukau di depan pintu kamarnya tadi. Sampai wajah pasangannya pun sedikit mengeram. Diam-diam dia mulai mengakui bahwa dia telah keliru dengan pikiran awalnya. Hanya karena kenal orang Sangihe satudua lalu dia menyimpulkan bahwa tak ada gadis cantik di Sangihe. Alangkah naifnya mindset-nya dahulu. Kebanggaan semu tentang keistimewaan kulit terang yang melekat pada dia sebagai penentu cantik tidaknya seseorang, luluh lantah. Hancur lebur berantakan. Dengan kepala menggeleng-geleng kecil dia pun mencegat mobil mikro menuju Hotel Nasional. Ada desah tak puas begitu badannya terhempas di kursi belakang mobil.
Hiruk pikuk. Begitu gambarannya keadaan di dalam mikro berplat nomor DL 5356 XY itu. Itu tiba-tiba terjadi saat mobil mini yang sanggup menampung sepuluh penumpang itu memuat siswi-siswi berseragam putih abu-abu. Suara audio mobil dan suara gadis-gadis centil ini saling berlomba. Tak ada yang mau kalah. Tapi Jefry sedikit pun tak merasa terganggu. Walaupun tak berminat melepas lajang, dia senang memandangi gadis-gadis belia yang menawarkan keindahan.
“Pigi jo kwa, Momo. Lama-lama ngana mo suka. Korang mo suka-suka trus lei,” kata siswa bertubuh sintal yang duduk tepat dekat Jefry. Logatnya sekali lagi membuat Jefry terkekeh pelan. Telinganya memperhatikan.
“Pokoknya, kalu ngana pe teman so sekitar lima ratus. Pasti ngana korang di situ trus. Butul ini. Percaya pa kita. Pokoknya kalu ngana pe tamang so banya dang, kong ngana ba chatting, odo! Asyik kwa.”
“Iyo Momo. Mari jo kwa. Ngana musti ja bergaul sadiki kwa. Di Facebook yang mo dapa banya tamang. Tinggal pili. Kalu kita, saban ada yang gaga kita add. Kalu jaha’ (jelek) kita nya abaikan no. Kita nya ja add,” tambah seorang gadis yang lain.
Sepanjang jalan berkerumun mereka mendesak terus menerus si gadis agar mau sama dengan mereka. Bergaul di dunia maya. Itulah yang trend sekarang. Anda tak usah susah, hanya dalam sebuah kotak, dapat melalangbuana ke seantero dunia. Bertegur sapa, bertukar foto dan cerita, bakarlota hingga ke ujung dunia. Jejaring sosial bisa dibangun dengan kecepatan jemari di atas papan tuts. Hanya dengan menumbalkan enam ribu rupiah umat manusia kini bisa menembus batas negara untuk menjalin pertemanan bahkan permusuhan.
“Eh ngoni tau, tu Alma kemarin minta pa kita antar dia ke warnet. Dia dudu baku sabla deng kita. Mar pastiu e! Dia nda kase kesempatan pa kita. Sasadiki batanya. Sasadiki batanya. Samuasamua jo dia nintau.”
Sekali lagi Jefry terkekeh dalam hati. Bukan lagi karena logat para Wawu. Melainkan cerita tentang teman mereka yang belum menguasai utak-atik internet. Jefry dulu pernah mengalami hal demikian. Dengan pongah, suatu waktu, dia melangkah ke dalam warnet. Sudah hampir sejam dia tak bisa menelusuri apapun. Susah dia berupaya melihat jalan masuk. Namun, tak ditemukannya. Biasanya dia tinggal klik dua kali pada ikon yang sudah lumrah di layar. Tapi ikon itu tak kunjung ditangkap mata. Dan memang ternyata tak ada ikon itu di layar. Dua jam berlalu tanpa ada kemajuan yang sungguh. Mau bertanya tapi benaknya dililit rasa malu yang terlalu. Kasirpun terperanjat sarat tanda tanya ketika Jefry keluar tanpa membayar. Di layar kontrol kasir memang tak ada bukti bahwa Jefry menggunakan internet. Tapi yang membingungkan kasir adalah kenapa lelaki pongah itu berada dalam kotak kecil hingga dua jam.

Selesai jam 20.55
Tahuna, Hotel Nasional, 7 November 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar