Rabu, 12 Desember 2012
Rabu, 07 November 2012
SEBUAH NOVEL: MENTAL PAMONG PRAJA INDONESIA MASA KINI
MENTAL PAMONG
PRAJA INDONESIA MASA KINI
Oleh Iswan
Sual, S.S
Matahari
belum terlalu tegak berdirinya. Namun, kami sudah seperti cacing yang
berteriak-teriak minta tolong. Panas! Aku sendiri heran kenapa sang kepala
sekolah mendapat ide gila memuat puluhan siswa di atas sebuah truk. Kami
diperlakukan seperti sapi yang beberapa waktu lagi akan dijagal. Padahal, dana
BOS tidak perlu dihemat dengan cara tidak manusiawi seperti ini. Sialnya, gara-gara aku hanyalah seorang
honor yang masih bujangan, aku dianggap layak untuk dibuat teraniaya. Sementara
para guru lain dengan modal seragam PNSnya bertindak seolah bos-bos yang harus
dihormati. Sialan! Bagusnya hanya pada seragam. Di dalam kelas seperti keledai
saja. Tak mengajar sama sekali.
“Sir,
kenapa cuma sir yang nda gabung ta panas-panas deng torang di sini? Nda adil
dorang kang sir?” ketus salah seorang siswi. Aku hanya senyum kecil.
Sangatlah
tidak pantas bila aku harus menceritakan perasaanku yang sebenarnya pada
seorang gadis yang belum cukup pengertiannya. Lagipula aku tak mau
menjelek-jelekkan guru-guru lain itu di depan para siswa. Walaupun sebenarya
ketidaktahuan mereka mengajar begitu dikenal oleh para murid. Memang, terkadang
guru tidak menyadari bahwa sebenarya siswa lebih banyak tahu dari yang kita
sebagai guru kira.
Sesampai di
ibu kota kecamatan, para guru-guru PNS
dengan pongah memerintah saya supaya mengarahkan para murid ke lapangan
dimana upacara bendera akan dilangsungkan. Aku minta mereka agar sabar dengan
murid karena mereka sedang capek karena kegerahan. Guru-guru itu terus mendesak
gara-gara upacara sudah sementara berlangsung. Ternyata kami datang terlambat.
Dengan langkah diam-diam kami masuk ke barisan. Terpaksa siswa-siswa rombongan
kami harus menyambung di barisan sekolah lain sebab tempat yang disediakan
sudah disabotase sekolah lain. Tentu, akan sangat kentara juga bila kami harus
mencari tempat di depan. Akan lebih mempermalukan lagi sekolah kami. Satu persatu
aku meminta siswa agar masuk dan menutupi barisan. Susah memang mengaturnya.
Dalam situasi begini, seringkali siswa-siswi suka bergelagat. Mereka tahu
sanksi tak mungkin diberlakukan. Aku menggunakan cara yang paling lembut untuk
menenangkan mereka. Sudah itu akup pun mencari tempat di mana aku bisa
berbaris. Yang kupilih adalah di belakang para siswa yang aku antar. Kebetulan
berdekatan dengan barisan guru.
Anehnya,
kini yang paling gaduh justru barisan para guru. Mereka saling bergantian
berseloroh. Paling banter adalah kepala sekolahku sendiri. Leluconnya yang
berbau porno menyihir para guru muda lain untuk larut dalam cerita-cerita itu.
Barisan merekapun seperti ular. Semua memegang koran sebagai penutup wajah dan
kepala. Sedangkan siswa mereka pelototi bila tidak berbaris dengan benar.
“Ironis!”
“Istirahat
di tempat grak!” teriak si pemimpin upacara.
“Ah lega,”
ketus para siswa berbarengan.
Dalam
situasi begini mana ada yang mau mendengar wejangan inspektur upacara. Dia
seenaknya bicara pacang. Dia memang enak. Ada di panggung kehormatan. Terik
matahari tak akan bisa menyengat mereka. Mereka juga bisa duduk. Mereka
mengajarkan tentang perjuangan, mereka sendiri tak memberikan panutan. Mereka
berperilaku persis seperti orang belanda yang suka perintah-perintah, sedangkan
kami, distraf seperti tahanan. Dijemur di bawah panas yang tak punya belas
kasih.
Aku masih
saja berdiri tegak dengan kaki sedikit mengangkang. Kedua tanganku menyilang di
belakang. Seperti diborgol. Aku membayangkan diriku persis seperti Walter
Monginsidi yang siap dieksekusi oleh regu tembak. Peluh mengalir deras dari
kepala. Punggungku sudah basah. Benar-benar basah. Barisan guru-guru semakin
beringas. Tawa semakin melengking. Tiba-tiba seorang siswa perempuan
terombang-ambing di atas tanah.
“Sir! Sir!
Fista pusing, sir!”
Dengan
cepat aku berlari menahan tubuh mungilnya sebelum memukul tanah. Siswa-siswa
dari sekolah lain dengan sontak pun berkerumun.
“Sudah. Jangan dekat-dekat.
Nanti dia tambah kepanasan. Kembali ke barisan!” kataku kepada mereke. Tampak
siswa mulai berhamburan sambil mencari-cari air. Di barisan lain juga siswa
terlihat satu per satu tumbang. Inspektur upacara masih saja terus bicara. Dia
masih menbacakan sambutan tertulis bupati. Belum ada tanda-tanda mau berhenti. Itu
baru sambutan tertulis bupati. Belum lagi sambutan lisan dari inspektur itu
sendiri. Aku heran dengan pejabat di negara ini. Mereka suka sekali
berkata-kata di depan banyak orang. Padahal kinerja mereka nol besar.
Setelah membaringkan siswi
yang pingsan itu. Kulepaskan sepatunya. Dan kuminta siswa perempuan akar
melonggarkan pakaian sehingga dia bisa bernafas bebas. Seketika itu juga
kulihat semua siswa-siswi dari sekolah kami sudah tak ada lagi yang ikut dalam
barisan. Semuanya telah berjalan mencari air. Mereka sudah tak tahan. Akupun
setuju saja. Barisan guru-guru juga sudah bergeser ke bawa pohon untuk
menghindari sengatan matahari.
***
Setelah upacara selesai aku
bertemu dengan seorang guru dari ibu kota kecamatan. Dia lebih dulu yang
menegur. Dari mobil jimmy dengan sok dia memamerkan kendaraannya. Aku dengan
spontan berkata, “Eh so ta bae nga e!”
Dia dengan pongah menjawab,
“Batabung no.”
Sungguh pongah. Mana bisa
dengan gaji seorang PNS yang baru genap setahun sudah bisa memberi mobil
seperti itu? Emang, gajinya berapa?
Aku jadi teringat masa lalu
kami. Kami dulu sama-sama pernah terlibat dalam organisasi kemahasiswaan di
tingkat fakultas. Sewaktu saya menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, dia
adalah ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa. Saya di eksekutif. Dia di
legislatif.
Dia pernah memohon-mohon
padaku agar mendukungnya menjadi ketua. Saya berusaha membantu. Dan akhirnya
dia menjadi ketua MPM.
Suatu waktu saya mendapat
tugas keluar daerah mewakili kampus. Selama saya pergi dia ternyata membuat
kesepakatan diam-diam dengan pimpinan fakultas mengenai pemotongan beasiswa.
Lima juta kantonginya. Itu adalah dana untuk organisasi. Tapi, dengan tamak
dipakainya untuk pribadinya. Karena diuber-uber oleh anggota MPM lainya dia
kembali meminta tolong kepada saya. Dengan tegas saya bilang saya tak bisa
membantu dia. Karena jika demikian, sama saja turut menjadi koruptor seperti
dia.
Jadi, mustahilah kalau dia
sudah kaya sekarang kalau belum sampai setahun dia menjadi PNS. Menabung?
sebuah cerpen: BUNGLON
BUNGLON
Oleh Iswan
Sual, S.S
Pantat kini panas karena lama telah
saling gesek dengan kursi kayu batang
kelapa. Mata juga kian terseok-seok
menelusuri jalanan huruf bertumpuk
rapih di atas kertas putih. Tambah lagi penerangan terlampau kikir. Kuputuskan
keluar dari gedung berisi berbagai buku itu saat itu juga.
Pas di depan gedung kurogoh ponsel
lebar berwarna coklat dari kantong celana jinsku yang juga berwarna coklat.
Kuambil beberapa gambar gedung itu dengan menggunakan kamera ponsel yang
lumayan bagus hasilnya. Sebagai tanda mata bahwa aku sudah pernah berkunjung ke
perpustakaan daerah sulawesi utara. Perpustakaan penampung buku antik.
Keadaan di atas kepala sana gelap
pekat. Butir-butir air mulai berjatuhan dari langit. Namun, mobil di jalan yang
lalulalang kian padat dan tergesah-gesah. Niatku untuk menyeberangi jalan
terhadang. Butir air kian banyak jatuh
menghantam wajah. Maka akupun nekat menyeberang.
“Pemai ngana!” teriak sopir dengan
mata hampir lepas.
Aku balas memandanginya dengan
tatapan seorang waraney. Ca wana parukuan, cawana pakuruan. Kekesalan
sang sopir tak bisa dilampiaskan karena begitu banyaknya penumpang dalam
mikronya. Pasti akan ada lebih dari lima orang yang akan membentaknya bila ia
tak mengurungkan niatnya untuk turun dan mengapa-apakan diriku.
Butiran air yang sebesar kerikil
kecil semakin banyak turunnya. Calon pasukan Paskibraka yang ada di tengah
lapangan berhamburan berlari menuju tribune yang berhadapan dengan kantor
walikota kota Manado. Tak ada halangan buatku untuk kesana juga. Tribune itu
adalah tempat berteduh yang tepat agar tak basah oleh tumpahan air dari langit.
“Baris! Baris! Cepat..cepat! Jang
santai ngoni!”
Teriakan senior kepada adik-adik
calon paskibraka itu membawaku ke masa lalu. Saat di mana aku masih sekolah di
Amurang dulu. Kala itu kak Azis menarikku seperti babi yang haram bagi dia ke
tengah-tengah lokasi pekuburan. Beberapa kali tulang keringku beradu dengan
sudut-sudut runcing kubur. Aku tahu
bahwa aku sedang dibawa untuk ditakut-takuti. Memang benar. Saat tutup mata
kubuka, aku dilepaskan begitu saja di kuburan yang baru berumur tiga hari.
Lilin dan kransnya masih baru.
“Woi! Menghayal ngana!”
Tiba-tiba lamunan masa laluku kabur
tungganglanggang kembali ke masa lampau. Kucari tempat untuk menaruh pantatku
untuk beristirahat. Gadis-gadis bertubuh tinggi dan berambut pendek berdiri
tegak. Dua kelompok barisan berhadapan. Kakak senior yang tak terlalu tinggi
itu berdiri di tengah berkacak pinggang. Sungguh pongah! Senior-senior yang
adalah anggota paskibraka tahun lalu bergentayangan di antara barisan.
Yang lelaki mencari-cari kesalahan
perempuan. Begitu pula sebaliknya. Rasa ingin bersentunhan dengan junior mereka samarkan dengan marah-marah atau atau
pura-pura membetulkan atribut. Topi sering menjadi sasaran. Namun, gara-gara gugup,
bukannya jadi betul malah menjadi kacau. Dasar senior! Ada-ada saja.
“ini sudah tanggal 12 Juli! Sekali
lagi ya, ini sudah tanggal 12! Kok gerakkan kalian tak ada perubahan sih.
Serius kwa kalu latihan. Biar le ada ngana pe tamang, pe orang tua, pe cowo ato
cewe, pandangan tetap kedepan. Ngoni ini mo pikul tugas brat. Ngoni suka mo
beking malu dang?”
“Siap tidak kak!”
Mataku mengunjungi peserta satu
persatu. Di antara pasukan putri ada dua yang berjilbab merah. Sepertinya
mereka kembar. Lekuk tubuh masih nampak
biarpun mereka menggunakan seragam treining yang sangat longgar. Kulit putih
dan tubuh sintal mereka membangkitkan hasrat kelakilakianku. Wajah ayu mereka
menimbulkan ingin untuk kembali ke masa lalu. Alangkah berbahagianya
kekasih-kekasih gadis-gadis ini.
Sesekali pandanganku kulempar jauh
bila tiba-tiba gadis-gadis itu membalas tatapanku. Dari kejauhan kulihat kain
biru panjang bergelayut di pinggang gedung walikota. Di tribune dimana ku
bertedu juga demikian. Kok bisa ya? Seharusnya kan berwarna merah putih. Aha!
Betul-betul. Baru kuingat sekarang. Walikotanya seorang yang diusung oleh
partai berwarna biru. Pantas saja gedung perkantoran kebiru-biruan. Di Tondano
bulan lalu saat dilaksanakan kegiatan perkemahan pemuda, wilayah itu didominasi
warna kuning. Kantor-kantor pemerintahan juga begitu. Ternyata bisa ya. Kantor
dan fasilitas umum bisa diwarnai apa saja sesuka pejabatnya. Gedung-gedung dan
kantor-kantor seperti bunglon yang kerap berganti warna bila penguasa berganti.
SEBUAH CERPEN: BUYUT
BUYUT
Oleh Iswan
Sual, S.S
Sinar
mentari perlahan merayap masuk melalui celah-celah jendela yang masih tertutup
di kos Chintia. Gadis kuliahan semester lima yang punya tubuh sintal dan
dikaruniakan Tuhan rambut dan kulit terang sibuk menempatkan piring dan sendok
di atas meja untuk dikeringkan. Peralatan makan itu baru saja selesai
dicucinya. Sedangkan Valeri pacarnya dengan belek besar di sudut mata sedang
asyik pula dengan aktifitasnya. Bunyi tik tak tik berirama seakan sengaja
diduetkan dengan bunyi piring dan sendok yang diletakkan satu per satu. Pagi
yang lengang menjadi riuh menganggu para mahasiswa lain yang masih ngorok di
kamar masing-masing.
Sudah dua tahun
terakhir mereka menjadi pasangan kumpul kebo di kos-kosan Tataaran. Aktifitas
keseharian mereka adalah kuliah di Universitas Negeri Manado. Mereka berdua
termasuk mahasiswa panutan. Kartu Hasil Studi selalui dibanjiri nilai A dan B.
Secara akademis, mereka tak mengecewakan orang tua. Namun yang pasti
kebersamaan intim dengan status belum nikah adalah pengecualiannya. Itupun
kalau ada teman sekampung punya mulut yang bocor membeberkan kehidupan bebas
ala Perancis sampai di telinga orang tua
mereka.
“Apa kakak
saya ada?” terdengar suara di depan pintu setelah Chintia membuka pintu yang
baru saja diketuk pelan.
Sedikit
Valeri mendongak memastikan siapa yang mencarinya. Rupanya Kandar adiknya. Dia
seorang mahasiswa Jurusan Psikologi yang sangat menentang teori-teori Karl Jung
murid Sigmund Freud pencetus teori Psikoanalisa. Pernah dia bilang bahwa
pemikirannya lebih tajam daripada pemikiran Jung. Beberapa kali paper
dan artikel yang telah dimuat di koran lokal dan nasional dipamerkan ke Valeri.
Karena ketidakpahaman dan ketidaktertarikan, Valeri tampak bingung dan hanya
mengangguk-angguk bak orang bijak baru saja membuat kesimpulan setelah proses
perenungan sesuatu hal.
Kandar lain
dari biasanya. Pakaiannya serba hitam. Raut wajah kusut dan lesu. Tak
bertenaga. Bagai bunga kehilangan asa ketika tercerabut dari tanah.
“Kamu punya
uang tidak?” tanpa dipersilahkan, dia duduk, “Saya mau beli pulsa untuk nelpon.
Sepuluh ribu saja.”
Lebih dari
dua kali Valeri menyebut kata “tidak punya”. Berbagai alasan meluncur dari
mulut yang belum dibasuh. Bau nafas tersebar ke segala penjuru ruangan. Asam
lambung Kandar meningkat. Sakit mag kambuh.
“Eh, Buyut
sudah meninggal. Semalam dia ditembak Brimob,” suara yang sebenarnya
ditahan-tahan keluar juga. Telah diusahakannya agar kalimat itu jangan
terciprat agar kakaknya tak salah sangkah dengannya. Dia tak menginginkan
kematian temannya menjadi alasan memalak secara halus kakaknya. Tapi, terpaksa
harus. Pagi ini Kandar memang betul-betul tak memiliki sepeserpun. Padahal dia
harus menghubungi teman-teman kelasnya dulu untuk memberitahukan kematian
Buyut. Teman SMU-nya itu ditembak polisi jam 02.04 dekat poskamling pertigaan
lorong inpres Tataaran.
Kandar
menuturkan kronologi sambil menunduk tak berani menatap Valeri. Wajah masam nun
gundah dirasa tak perlu dipertontonkan kepada kakaknya. Tak ada hubungan,
pikirnya. Bagi orang yang tak kenal dekat, orang akan langsung menyimpulkan
Buyut sebagai seorang preman yang suka mengganggu orang dan kerjaannya hanya
mabuk melulu tanpa sedikitpun memikirkan masa depan. Tetapi bagi Kandar dia
adalah penyelamat. Bukan hanya sekali Kandar dibantunya saat dompetnya kosong
melompong. Berhari-hari makan di rumahnya. Berteman dengan seorang anak
Tataaran adalah sebuah keuntungan. Jiwa sosial Buyut melebihi khotbah-khotbah
pendeta di atas mimbar. Dia lebih banyak mempraktekan kasih. Sedangkan pendeta
lebih suka menghipnotis jemaat dengan khotbah yang ujung-ujungnya meyakinkan
jemaat bahwa mereka sebagai pendeta berhak menerima bagian sebagai golongan Lewi.
Padahal jelas diuraikan oleh Alkitab bahwa golongan Lewi perlu diberi karena mereka
tak mendapatkan warisan di antara anak-anak Yakub yang lain. Apakah pendeta
orang Lewi? Apa mereka tidak mendapat warisan dari orangtua mereka?
Setelah
memberi uang Rp 10.000 Valeri mulai berkemas. Chintia turut membantu memasukkan
pakaian ke dalam tas. Juga dua buah kamus Inggris-Indonesia yang disusun John
Echols dan Hassan Shaddily dititip untuk diberikan kepada dua adiknya yang baru
saja masuk Sekolah Menengah Pertama di kampung. Ada sedikit rasa bersalah
timbul di lubuk hati Valeri karena sudah
agak kikir pada adiknya yang hendak membantu keluarga Buyut yang dirundung duka
nestapa. Bagaimana tak berduka? Buyut adalah anak satu-satunya. Pekerjaannya
sebagai supir sudah menopang ibunya 10 tahun terakhir.
“Aku jalan
dulu ya,” kata Valeri tanpa disahut oleh satu orangpun dalam kamar kos bercat
biru laut itu. Warna biru ikut-ikutan memperkuat simbol duka semua orang dalam
kamar. Hanya anggukan yang diterima Valeri. Kandar keluar kamar lebih dahulu.
Sementara Chintia berupaya menahannya sebentar agar mendapat kecupan dan
dekapan mesra sang pujaan hati.
Rasa
gembira pulang kampung tak memacuh langkah Valeri. Biasanya pulang kampung
selalu menjadi sebuah episode hidup yang menyenangkan. Kini, Valeri telah
berada di jalanan. Kendaraan serasa mau menyenggol tapi diabaikannya. Valeri
berjalan dengan perhatian buyar. Rasa bersalah pada Kandar. Rasa bersalah pada
Buyut. Sentuhan kasih Buyut semasa dia hidup pernah dirasakannya. Bukan hanya
pernah. Beberapa kali malah. Dan selalu terjadi ketika dia turun dari mikro. Biaya
ongkos angkutan selalu saja dibebaskan Buyut. Sampai-sampai Valeri enggan lagi
menumpang di mikro yang dikendarai Buyut. Buyut…Buyut. Tampangnya saja yang
serem. Tapi dia begitu dermawan. Valeri bergumam.
Sekarang
ini Valeri telah berada di atas bus menuju kota Manado. Dia akan menempuh rute
yang panjang hari ini. Tataaran-Karombasan-Pasar 45 (untuk beli buku di toko
buku Gramedia)-Malalayang-Amurang-Tondei-Pelita. Keempat roda bus laju melunjur
menanjak melewati bukit Kasuang. Tiba-tiba bus terhenti. Kerumunan orang dengan
sepada motor, jumlahnya kurang lebih 300an nampak standby di depan
kantor PLN Kaaten Tomohon. Beberapa orang terdengar mengeluarkan keluhan.
Bahkan disertai makian. Kutempelkan mataku ke kaca jendela. Melihat-lihat apa
yang sebenarya berlangsung. Mengapa begitu banyak orang berkerumun? Seperti ada
kampanye. Begitu bus maju dua langkah, aku membaca spanduk putih dengan
tulisan, “Buyut, kami siap sedia menggiringmu ke surga.”
Air mata
sontak tumpah. Tak lagi dapat kubendung. Dalam diam tertahan Valeri
sesenggukan. Dia dikuasai emosi. Ratapan seakan mau pecah. Terucap doa, “Ya
Tuhan, terimalah anakMu Buyut. Ampunilah dia yang memukuli polisi kala dia
tengah mabuk. Dia bukan orang jahat. Dia hanya sedikit nakal. Maklum anak muda.
Ampunilah pula polisi yang menembaknya. Dia juga masih mudah. Masih berdarah
panas. Tak dapat menahan emosi. Ampunilah . Mereka hanyalah manusia biasa. Yang
tak lepas dari salah. Amin.
28 Juli
2012
sebuah cerpen: ketika kita kehilangan
KETIKA KITA
KEHILANGAN
Oleh Iswan Sual
Wany sampai di rumahnya saat hari
belum gelap. Begitu lega dia saat mencium aroma rumah. Dia senang karena sempat
memberi tumpangan kepada seorang ibu dan anaknya sewaktu dalam perjalanan tadi.
Kebanggan membantu orang itu nampak pada wajahnya yang berseri-seri.
Sementara karena tak muat, sang suami
dan bapak itu ditinggal saja. Dia harus membetulkan rantai sepeda motornya yang
putus. Tadi, sewaktu melihat motor mogok, Wany menepi dan menegur sekeluarga
itu. Tampak seorang wanita dengan seorang anak lelaki yang masih kecil duduk
pada batu-batu timbul yang besar. Menunggu. Si suami yang bernama Yohanes
begitu Kuat konsentrasinya. Hanya sekali
saja dia menoleh pada Wany. Rantai yang putus berusaha diperbaikinya dengan
hanya menggunakan tang dan obeng. Dia
memiliki keyakinan pasti sanggup memperbaikinya sebelum hari menjadi malam. Mungkin
sudah sering dia mengalaminya.
Wany memang tak tahan melihat
orang dalam kesusahan. Dia berupaya memberi bantuan selama itu bisa dilakukannya.
“Dimana jo ngana, jangan lupa tolong orang laeng yang susa,” itulah didikan
orang tua dan gurunya yang senantiasa dia ingat sampai sekarang.
“Kyapa?” sapa Wany dengan bahasa
Melayu Manado pegununungan yang berarti ‘kenapa’ sambil mendorong kaca helem keatas
untuk menyingkap wajahnya agar gampang dikenali.
“Putus tu rante no,” jawab
Yohanes sambil terus bekerja.
“Kalu kita, ta so nda tahu mo
beking bagimana itu,” Wany memberikan komentar merendah diri yang juga sebagai
kata lain bahwa dia tak bisa bantu
apa-apa.
Bulan lalu, sewaktu sepeda motor Wany
mendadak mati, si Yohaneslah yang
membantu menariknya dengan menggunakan tali rafia hingga mencapai rumah. Kalau
tidak ditolongnya, tentu waktu itu Wany harus mendorong sepeda motornya
sepanjang 3 km. Dan pasti itu akan sangat melelahkan. Jalan Tondei yang rusak
dan bertanjakkan jauh akan menyukari Wany yang tak biasa. Mungkin ia akan tiba di
rumah ketika sudah jauh tengah malam.
“Nintau lai kyapa ona ini motor korang
putus-putus rante. Padahal baru ki’i ganti gir deng rante minggu lalu. Dorang
bilang kata gir so tajam. Baru ganti no,” keluhan sang istri tampak begitu
dalam. Menyiratkan kerisauan tak terselam.
Yohanes memang seorang suami yang
rajin. Namun pendapatan mereka kadang tidak cukup untuk mengongkosi kehidupan
mereka sehari-hari. Anggaran rumah tangga lebih banyak beralih kepada sepeda
motor yang sudah menjadi seperti anggota keluarga bagi mereka.
Walaupun keadaannya kini
memprihatinkan, tapi Yohanes tak berani sedikitpun meremehkan bantuan yang
telah roda dua itu lakukan. Meskipun sering mogok, perjalanan jauh setiap hari
menjadi ringan sejak kehadirannya. Sebagai imbalannya dia harus terus diberi
perawatan yang tak murah.
Wany ingin memberikan tumpangan
bagi mereka. Terutama kepada si wanita
dan anak yang masih berumur jagung itu. Tapi dia sedikit ragu. Bukan karena dia
pelit. Cuma, dia tak mau saja disangka maniso. Istri Yohanes memang
sungguh elok. Namanya Syuli. Kalau tak kenal, pasti dia akan disangka sebagai
seorang gadis. Kulitnya yang putih dan bodinya yang
aduhai menyimpan kenyataan bahwa dia telah menikah dan memiliki dua orang anak.
Wany tak mau saja dianggap
berusaha menolong karena ingin bersentuh-sentuhan dengan Syuli. Apalagi
akhir-akhir ini ada beberapa kasus perselingkuhan di kampungnya. Dia tak mau
masuk dalam daftar orang-orang yang akan terusir dari kampung.
“kita smo kamuka dang ne,” kata
Wany. Menunggu dan berharap mereka
memintanya bantuan.
Secepat kilat Yohanes memalingkan
wajah ke istrinya yang sedang duduk pada bebatuan timbul di pinggir jalan.
Istrinya nampak lelah. Penuh keringat. Seumpama gembel perawakannya.
“Ato ngana nae jo motor deng Wany,”
kata Yohanes kepada istrinya sambil menghentikan pekerjaannya sejenak.
Tangannya yang penuh oli tanpa sadar menyeka wajahnya. Wajahnya kini belepotan.
Terlihat dia mempercayai Wany. Mungkin pikirnya, “Tak mungkinlah seorang
pelayanan Tuhan melakukan yang macam-macam pada istrinya.” Padahal, yang paling
sering berselingkuh bahkan korupsi di negara ini justru mereka yang menyebut
diri sebagai hamba Tuhan dan pelayan rakyat.
Wany juga tak menyangka dia
hendak membiarkan tubuh istrinya bersentuhan dengan tubuh Wany. Sungguh tak
akan Wany lakukan bila Wany beristri
nanti. Tubuh muda istri Wany tak akan pernah bersentuhan dengan tubuh orang
lain. Jalan Ongkau ke Tondei yang sarat dengan lubang dan batu besar timbul,
tak mungkin dapat menghindarkan mereka dari persentuhan. Tentu guncangan-guncangan
akan membuat mereka bersentuhan. Jarak 9 km cukup lama untuk Syuli memasrakan
hidupnya pada Wany. Saat sepeda motor Wany rem dia akan mendekat. Saat Wany kencangkan,
dia juga akan mendekat. Jadilah mereka seperti sepasang remaja yang sedang
pacaran di atas sepeda motor. Suasana akan begitu romantis ketika mereka melihat
pemandangan sekitar yang begitu indah. Deretan pohon nyiur dan cengkih begitu
menggiur. Gunung Lolombulan dan Sinonsayang kehijau-hijauan akan menghadirkan
suasana tenang hingga Wany akan tersihir untuk melambatkan sepeda motor supaya
kebersamaan dan sentuhan boleh berlangsung lama.
“Sudah?” tanya Wany pelan. Sepeda
motor bergerak. Mesin mulai berteriak-teriak menginjak-injak kerikil tajam dan
batu-batu timbul.
“Sudah,” jawab Syuli terlambat.
Suara dengan nada datar, terdengar begitu ringan sampai memabukkan teling Wany.
Sungguh suara yang lembut. Oh Syuli nama yang elok bak Yuli kekasih hati Romeo.
Sewaktu Syuli menaiki sepeda
motor tubuh Wany gemetar kecil. Wany penasaran dengan lembutnya tubuh seorang
wanita bersuami dan beranak satu itu. Wanita dengan pengalaman-pengalaman biologis
yang cukup lama. Wany sendiri, kalau dia mau jujur, belum pernah merasakan hal
yang demikian. Paling-paling dia hanya pernah menyaksikan dalam adegan-adegan
film biru yang disuguhkan secara paksa oleh teman-temannya sewaktu masih
bersekolah di SMU Tombasian. Berbagai jenis gaya dan aliran sudah dia lahap
semua. Itu nanti akan jadi rujukan ketika menikah nanti. Di umurnya yang sudah
hampir tiga puluh dia bukan makin tambah bijak namun libidonya semakin
mendesak. Kadang dia merasa sulit menahan desak-desakan badani itu. Kadang
terpikir untuk segera menikah supaya dia bisa menyalurkan segala nafsu alamiah
itu. Tapi, dia tak ingin menjadikan itu sebagai alasan utama untuk masuk dalam
rumah tangga. Dia tahu, tidak sedikit pernikahan yang hancur karena hubungan
kelamin yang diutamakan daripada keterkaitan batin. Kalau pernikahan sinonim
dengan hubungan badan, berarti kita tak beda jauh dengan hewan. Pikirnya.
Seperti yang ia duga. Semakin jauh
roda sepeda motor berlari, pegangan Syuli kian erat. Tangan Syuli membuat Wany
membagi konsentrasinya. Mengemudi dan menahan gidik dan geli.
Wany memang seorang yang kolot. Waktu yang diberikan Tuhan lebih banyak dia
habiskan dengan membaca. Otaknya penuh dengan teori tapi semua itu sulit baginya
dibuat jadi. Dalam hal wanita dia selalu angkat tangan. Tak punya waktulah. Ada
yang lebih diutamakanlah. Pokoknya, tak pernah dia kehabisan jawaban ketika
ditanyai perihal wanita. Faint heart never wo fair lady. Orang yang penakut takkan
mendapat seorang gadis yang cantik. Itulah pepatah Inggris yang menggambarkan
Wany. Bagi dia, buku adalah teman sejati. Kemana-mana buku selalu
membuntutinya. Tapi bagi orang lain, bukulah yang menghantuinya. Sungguh
kasihan. Rugi kalau dia tak punya keturunan. Wany seharusnya mengabadikan
dirinya. Dia harus menyambung turunan. Hidungnya yang mancung, otaknya yang
cerdas, sifatnya moralis adalah tipe manusia surga. Dia termasuk dalam golongan
orang suci. Ya dia pantas diberi gelar santo. Dia juga adalah manusia pilihan.
Dalam hal wanita dia kalah. Tapi bukan berarti sifat itu membatalkan dia untuk
masuk dalam kategori santo atau orang pilihan. Tentu di jaman modern tidaklah
sulit mendapatkan keturunan dari dia. Kloning adalah jalan keluar bagi jenis
manusia individual.
Kini misi menyelesaikan 9 km
hampir selesai. Sedikit lagi Syuli turun. Selama perjalanan Syuli tak sedikitpun
bicara. Walau hanya sekedar basa-basi. Saat dia menapakan kaki ke pijakan
sepeda motor seperti dia langsung di nontaktifkan oleh suaminya. Ini untuk
mencegah supaya tidak terjadi sesuatu yang buruk di antara kami. Jadinya Wany
seperti menggonceng kayu. Benda tak bernyawa. Wany sedikit kesal sekaligus bersyukur.
Kesal, karena sebagai manusia dia yang diposisikan hanya sebagai tukang ojek.
Syukur karena niatan buruk akhirnya tak menjadi kenyataan. Wany tentu bahagia.
Dia lolos lagi dari satu ujian hidup.
Wany mengantarkan Syuli dan anaknya
sampai depan rumah mereka. Begitu kendaraan beroda dua itu berhenti, Syuli
diaktifkan oleh suaminya dari jarak jauh. Mereka ternyata memiliki telepati
yang terlampau kuat. Banyak rumah tangga
yang berantakan akhir-akhir ini sebab mereka (pasangan suami istri) tak
memiliki telepati. Saat bersama orang lain seringkali mereka lupa diri. Lupa
anak bini. Lupa anak dan suami.
“Singgah kwa e,” kata Syuli saat
kedua kakinya dan anaknya menginjak tanah. Senyuman Syuli begitu mesra. Pasti
suaminya bahagia punya istri seperti Syuli. Dia rela tubuhnya lelah, lecet dan
tergores karena menopang suami di kebun. Tak banyak lagi perempuan seperti Syuli
di jaman sekarang. Kebanyakan sesamanya lebih banyak sibuk dengan urusan
rambut: cat warna, rebonding, keriting,
keramas, busana, bedak dan segala tetekbengek yang sebetulnya tak
penting itu. Wanita masa kini suka sekali dimanja suami. Mereka jadi bergantung
dan tak lagi mandiri. Tak heran mereka banyak menjadi korban keganasan pria.
Banyak suami meninggalkan istri karena mereka tak menjalankan tugas sebagai
penolong yang sepadan. Mereka menjadi beban. Ketika suami tak mampu lagi
membeli mereka pakaian yang bagus, bedak, cat kuku, lipstik, pewarna rambut,
sepatu berhak tinggi, dan rupa-rupa barang lain, maka menuding suami tak lagi
sayang. Harta dan materi telah menjadi ukuran sayang dan cinta bagi mereka.
Syuli sangatlah berbeda. Dia tak
suka berias, kecuali saat ke pesta. Dia tak suka ikut-ikutan mengecat rambut. Karena
itu hanyalah pemborosan. Wany terpesona dengan Syuli. Walaupun Wany sendiri tak
tahu pasti apa Syuli menjalani hidup itu karena panggilan atau karena tak ada
pilihan.
Hidup ini sangat sulit
dimengerti. Kita tak boleh menilai hanya dari kulitnya saja.
Namun, paling tidak, meskipun tak
tahu pasti, Syuli adalah salah satu panutan di antara para wanita masa kini.
“Smo langsung pigi ini. Banya
kerja lai,” Wany menjawab cepat. Kalau Syuli pintar, pasti dia memahami
kegalauan hati Wany. Dia sedang bergulat dengan dirinya sendiri.
Sesampai di rumah Wany melepaskan
satu per satu pakaiannya. Jaket dua lapis membuatnya kepanasan. Dia kini harus
membuang ingatan tentang Syuli. Tak baik memikirkan istri orang terus.
Lama-lama Wany bisa menginginkannya. “Janganlah kamu mengingini kepunyaan orang,”
itu adalah satu satu hokum yang ditetapkan Tuhan. Wany hafal betul ayat itu.
Dia menuju pintu dan membukanya.
Ibu Wany tak bersuara melihat
kedatangannya. Padahal selama tiga hari belakangan dia tak berada di rumah.
Wany juga tak ingin tergesa-gesa menyimpulkan bahwa orang tuanya tak peduli.
Hanya senyum kecil yang nampak dari wajah Ibunya.
Teringat di kantong ada amplop
putih pemberian orang. Wany kembali tersenyum lebar. Dia tahu ada uang sejumlah
besar dalam kantong jaketnya. Selesai memberi kuliah tadi dia diberi amplop putih. Biaya
transpor. Para mahasiswa memberi tanpa diminta. Mungkin mereka iba melihat dosen
mereka yang tak seperti dosen lainnya yang datang dengan mobil mewah tapi
selalu memeras mereka dengan biaya diktat dan lain sebagainya. Rencananya uang
Rp. 200.000 itu akan dia gunakan membayar cicilan laptop yang baru diambilnya
dari teman. Wany sudah lama mengimpikan
punya laptop. Bakat terpendamnya, menulis, bisa tersalurkan lewat benda itu.
Muncul perasaan bangga. Jerih
payahnya tidak sia-sia. Tak rugi dia giat belajar sewaktu kuliah. Semua itu
sangat berarti. Dia so pasti berhak menikmati. Senyum di wajahnya kian
mengembang.
Tak sabar melihat uang itu,
diapun merogoh sakunya.
“Apa?! Tidak mungkin!” detak
jantung berhenti mendadak. Dia coba memastikan lagi. Tak ada amplop di kantong
jaket birunya. Dilihatnya dengan seksama tapi tak ditemukan. Wany terduduk
lemas. Pikirannya berjalan jauh ke belakang. Kembali menyusuri perjalanan
jauhnya.
“Tidak mungkin!” keluhnya sedih.
Kali ini dia mencurahkan semua
barang dalam tas punggung. Semua kantong pakaian digeledanya. Tapi tak ada.
“Pasti sudah hilang,” keluhnya
putus asah.
Dia merenung.
“Mungkin ini adalah akibat karena
pikiran mesum sewaktu menggonceng Syuli,” Si Wany lain mulai mempersalahkan
diri.
Tak tahan dengan perasaan
kehilangan itu, Wany bercerita ke orang tuanya.
“Terima jo kenyataan. Anggap jo
tu doi itu pengganti soe-soe yang mungkin ngana da alami di perjalanan tadi,”
kata ayah Wany.
Wany heran dengan komentar
ayahnya itu. Itu pandangan yang sangat tak kristiani.
“Ada kore’e doi cuma asal taru.
Nda guna re’e ada dompet,” sembur ibu menyalahkan.
Ibu Wany memberikan koreksi
pedas. Tak satupun dari orangtuanya yang paham perasaannya. Dia tak mendapat
penguatan. Dua-duanya sesat menyalahkan.
Wany masuk kamar dan dia berdoa.
Dia berpikir dengan berdoa dia akan memperoleh ketenangan.
“Tuhan, kita perlu doi. Mar
kalu doi itu nda ciri di Tondei, muda-mudahan orang dapa supaya doi itu berguna
for dorang. Kalu ada yang sengaja ambe dari kita pe popoji, beking tu doi itu
tabale pakita spaya dia nda jadi papancuri.
Walaupun tak langsung hilang,
kegalauan dan rasa kehilangannya berangsur-angsur meninggalkan Wany usai dia
berhubungan dengan Tuhan. Sekian.
Selesai Pukul 16.00
Minggu, 16 Oktober 2011
Langganan:
Postingan (Atom)