Perjalanan ke Sisa-sisa Kerajaan Manganitu
Iswan
Sual, S.S[1]
Surya
yang terang benderang menguasai pulau Sangihe. Sehingga walaupun waktu telah
menunjukkan pukul 17.00 tetap saja kami (saya dan Deavid Mansauda) tak mau
mengurungkan niat alias nekad untuk berkunjung ke Manganitu. Suatu kecamatan
yang pernah menjadi sebuah kerajaan yang kejayaannya masih terkenang hingga
kini. Ketertarikkanku melihat langsung situs kerajaan tersebut muncul tatkala
saya dan Deavid, seorang pria berkebangsaan Sangihe yang adalah teman kuliahku
dulu, berbincang hingga larut malam pada 18 Januari 2012. “Bagaimana kalau
besok kita kesana, ke tempat di mana kerajaan Manganitu pernah berdiri itu?”
kataku setelah kurang lebih sejam dia mengutarakan panjang lebar tentang
keberadaan suatu kerajaan yang pernah dipimpin oleh Bataha Santiago[2]
tersebut. Diapun tak menolak tawaran sekaligus tantangan yang aku berikan.
Besoknya kami memutuskan pergi dengan mobil. Sebuah mobil sedan berwarna hijau lumut
yang sudah tua namun masih memiliki tenaga luar biasa untuk memanjat jalanan
dengan tanjakkan dan kelok-kelok yang panjang.
Tak
sampai setengah jam kami sudah berada di bekas kerajaan Manganitu yang sudah
berubah menjadi sebuah kecamatan besar dengan 18 desa. Begitu kami berada di
pusatnya, kami melewati sebuah loji[3]
yang pernah ditinggali oleh seorang misionaris Jerman bernama
Steller[4]. Rumah
itu tepat berhadapan langsung dengan lapangan besar. Di samping rumah itu
berdiri kantor Kepolisian Resor Manganitu. Tak sampai lima menit dari situ,
kami sudah menemukan beberapa buah rumah tua mewah dengan gaya arsitektur
Eropa. Seperti model rumah-rumah tua peninggalan orang Eropa pada umumnya yang pula
pernah aku lihat di Tomohon, Tondano dan Amurang. Yang menjadi tujuan kami
adalah rumah tua yang besar dengan halaman yang luas. Nampak dari depan, ketika
kami baru saja turun dari kendaraan, rumah itu sudah tak berpenghuni. Tapi ada
sebuah rumah kecil berdiri di sampingnya. Kesanalah saya dituntun oleh teman
saya. Begitu langkah kaki pertama menginjak lantai rumah, saya sedikit
terkesima. Di hadapan saya berdiri satu keluarga berwajah Eropa. Seorang pria
dewasa dan seorang gadis rupawan dengan tinggi tubuh di atas rata-rata orang
Indonesia. Dan di kursi yang menghadap pintu, di situ duduk seorang wanita yang
sudah uzur, berambut dan berkulit putih. Setelah beberapa menit berada dalam
rumah kecil dengan dinding ada terpampang foto-foto jaman dulu, saya pun
mendengar percakapan yang menggunakan bahasa Sangihe. Sangat kental. Dan lama
kelamaan saya pun yakin bahwa keluarga ini adalah sepenuhnya orang Sangihe
bukan orang Eropa.
Saya
kemudian dipersilahkan oleh pria yang adalah anak dari wanita tua itu untuk
mewawancarainya tentang hal ihkwal kerajaan Manganitu. Saya mulai dengan menanyainya
tentang keluarga. Narasumber yang biasa disebut Oma Mawira (Bhs. Sangihe: Nenek
Putih) ternyata adalah seorang kelahiran Manganitu, Sangihe pada 28 April 1922.
Nenek yang sudah tak bisa melihat dan tak jelas pendengarannya itu bernama
Adelle Pauline Macahecum[5].
Ayahnya adalah seorang Jogugu (setara dengan wakil bupati sekarang) dari Tuandatu
(raja) ke-17 kerajaan Manganitu, W.M.P. Mocodompis[6]. Bungsu
dari dua bersaudara lainnya, Viktor Y. Macahecum[7]
dan Rosalin Adolfine Macahecum. Adelle Paulina Macahecum dinikahi oleh seorang
Perancis kelahiran Solo bernama Gelaume Antoinette Renard Dupont dan
dikaruniahi dua orang anak. Salah satunya seorang anak lelaki yang berjabat
tangan dengan kami sewaktu kami tiba. Anak lainnya, perempuan, kini bermukim di
Filipina.
Menurut
penuturan narasumber, W.M.P. Mocodompis adalah anak dari raja Manuel Hariraya[8]
(raja ke-16). Dikatakannya juga
bahwa W.M.P. Mocodompis adalah raja
yang sangat dihormati dan ditaati. Kadangkala, kendati mereka tahu bahwa
rumahnya kosong, warga tetap lewat di depan rumah dengan sikap penuh hormat. Rumah
yang kini nampak memprihatinkan ini pernah dipugar oleh pemerintah pusat pada
tahun 1990. Sayangnya, sejak saat itu tak pernah lagi tersentuh oleh pemugaran.
Bahkan pemerintah daerah pun seperti pura-pura tidak tahu dengan adanya situs
itu. Yang lebih parah lagi, catatan sejarah yang sudah dibuat dengan susah
payah oleh keluarga yang menjaga situs ini tidak benar-benar diperhatikan oleh
pemerintah. Hal ini terbukti dengan selalu datangnya pemerintah melalui pegawai
instansi terkait untuk meminta catatan sekitar kerajaan Manganitu di era raja
ke-17 itu. Padahal sudah berkali-kali diberikan. Rupanya semua yang pernah diberikan
hanya menjadi milik pribadi pejabat yang berkuasa. Bukan menjadi milik
pemerintah daerah sebagai institusi. Tidak ada upaya nyata dari pemerintah
untuk mengabadikan tulisan-tulisan penting itu ke dalam sebuah buku atau
semacamnya. Sama halnya dengan rumah peninggalan kerajaan Manganitu yang kian
hari semakin parah keadaannya. Untunglah, ada beberapa orang penting seperti
pensiunan ABRI dan turis, budayawan, sejarawan, wartawan serta cendekiawan
(dari perguruan tinggi dalam dan luar negeri) yang datang untuk turut mendengar
dan mengabadikan sejarah, situs serta saksi sejarah kerajaan Manganitu.
“Pemerintah kurang perhatian…. Pagar harus
dibenahi supaya mereka (pengunjung) yang masuk memperoleh karcis. Dengan
demikian, hasil dari itu bisa menambah pendapatan daerah,” imbuh Oma yang
masih lancar berbahasa Inggris dan Belanda itu sembari menyekakan tisu di
sekitar pelupuk matanya. Dia juga menambahkan bahwa soal promosi, bukanlah
tugas dirinya, melainkan tugas pemerintah.
Mungkin
orang-orang bertanya-tanya mengapa sampai rumah raja itu kini dimiliki oleh keluarga
Dupont-Macahecum. Kepemilikan rumah itu beralih ke mereka disebabkan oleh
karena Wawutowo (putri raja), Yolanda W. Mocodompis[9],
yang menikah dengan seorang Belanda bernama Prof. Mr.
Paul Leonard Wehri tidak memiliki keturunan. Adelle Paulina Macahecum yang
masih remaja ketika itu diangkat sebagai anak oleh Sang Putri. Segala
kepunyaannya pun diserahkan kepadanya.
Saat
diminta pesan narasumber bagi generasi muda sekarang, dia bertutur, “Saya berpesan kepada generasi muda agar tidak
lupa menghormati perjuangan orangtua. Banyak orang muda tidak tahu tentang
sejarah perjuangan orangtua dulu. Harus hidup rukun…. Adat Sangir harus
dipertahankan. Biar sudah sekolah di luar tapi tidak boleh melupakan adat
Sangihe.”
Ketika
ditanya soal adat seperti apa yang harus dipertahankan, Oma Adelle mengatakan
bahwa adat perkawinan dan saling menghormati harus dijaga. Penggunaan bahasa Sangihe
juga harus halus. Sebagaimana mereka dulu dalam keluarga kerajaan harus
menggunakan bahasa yang halus. Misalnya untuk kata makan, yang digunakan adalah
kata simokol bukan kata-kata yang
kurang santun seperti kumang, kahoaseng,
meliwang dan mengepade. Begitupula
dengan kata tidur. Mereka diharuskan menggunakan kata halus seperti mahedang bukan metiki yang kurang sopan.
Karena malam kian larut saya dan Deavid pun mohon pamit. Dengan harapan
akan kembali lagi menjemput tulisan dan mendokumentasikan foto dan berkas
bernilai lainnya. Walaupun terbilang singkat waktunya, muncul perasaan puas di
hati kami. Sepanjang perjalanan pulang kami t
[1] Iswan Sual
adalah seorang pemerhati budaya Sulawesi Utara kelahiran Tondei, Motoling,
Minahasa Selatan, pada 12 April 1983. Bergerak dalam organisasi budaya bernama
Sanggar “Tumondei” Minahasa Selatan (STMS) sebagai Tonaas Wangko (Ketua Umum).
Telah menulis beberapa karya sastra
diantaranya; Tinondeian (Novel, 2012), Tetewatu (Kumpulan Cerpen,
diterjemahkan ke Bahasa Perancis oleh Odile Loiret, 2013). Juga menjadi editor
buku Sejarah Tondei karangan C. Bujung (2012).
[4] Steller,
missionaris Zending Grossnas Jerman, bernama lengkap E.T. Steller mengabdi
selama 40 tahun di Sangihe. Sejak 25
Juni 1857 hingga 3 Januari 1897. Dia banyak menerima anak pribumi dalam
rumahnya untuk dilatih dan diajar berbagai kemahiran kerja, seperti
perbengkelan mesin, bercocok tanam dalam teknik modern, arsitektur, ilmu
perawatan, dan guru. Di kemudian hari usahanya digantikan oleh anaknya yang
bernama Mr. K.G.K. Steller. E.T. Steller dikuburkan di Manganitu, Sangihe, di
samping makam istrinya. Sejak datang pertama ia tak lagi melihat negerinya. Ia
menganggap Sangihe sebagai tanah airnya yang baru.
[9] Yolanda W. Mocodompis pernah
memberikan kursus ilmu hukum kepada seorang yang bermarga Pondaag. Kelak dia
menjadi seorang notaris yang cukup dikenal. Meskipun telah menikah dengan
seorang Belanda tapi Yolanda W. Mokodompis tidak mengubah kewarganegaraannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar