Selasa, 22 Januari 2013

Sebuah Laporan Perjalanan


Perjalanan ke Sisa-sisa Kerajaan Manganitu
Iswan Sual, S.S[1]

Surya yang terang benderang menguasai pulau Sangihe. Sehingga walaupun waktu telah menunjukkan pukul 17.00 tetap saja kami (saya dan Deavid Mansauda) tak mau mengurungkan niat alias nekad untuk berkunjung ke Manganitu. Suatu kecamatan yang pernah menjadi sebuah kerajaan yang kejayaannya masih terkenang hingga kini. Ketertarikkanku melihat langsung situs kerajaan tersebut muncul tatkala saya dan Deavid, seorang pria berkebangsaan Sangihe yang adalah teman kuliahku dulu, berbincang hingga larut malam pada 18 Januari 2012. “Bagaimana kalau besok kita kesana, ke tempat di mana kerajaan Manganitu pernah berdiri itu?” kataku setelah kurang lebih sejam dia mengutarakan panjang lebar tentang keberadaan suatu kerajaan yang pernah dipimpin oleh Bataha Santiago[2] tersebut. Diapun tak menolak tawaran sekaligus tantangan yang aku berikan. Besoknya kami memutuskan pergi dengan mobil. Sebuah mobil sedan berwarna hijau lumut yang sudah tua namun masih memiliki tenaga luar biasa untuk memanjat jalanan dengan tanjakkan dan kelok-kelok yang panjang.
Tak sampai setengah jam kami sudah berada di bekas kerajaan Manganitu yang sudah berubah menjadi sebuah kecamatan besar dengan 18 desa. Begitu kami berada di pusatnya, kami melewati sebuah loji[3] yang pernah ditinggali oleh seorang misionaris Jerman bernama Steller[4]. Rumah itu tepat berhadapan langsung dengan lapangan besar. Di samping rumah itu berdiri kantor Kepolisian Resor Manganitu. Tak sampai lima menit dari situ, kami sudah menemukan beberapa buah rumah tua mewah dengan gaya arsitektur Eropa. Seperti model rumah-rumah tua peninggalan orang Eropa pada umumnya yang pula pernah aku lihat di Tomohon, Tondano dan Amurang. Yang menjadi tujuan kami adalah rumah tua yang besar dengan halaman yang luas. Nampak dari depan, ketika kami baru saja turun dari kendaraan, rumah itu sudah tak berpenghuni. Tapi ada sebuah rumah kecil berdiri di sampingnya. Kesanalah saya dituntun oleh teman saya. Begitu langkah kaki pertama menginjak lantai rumah, saya sedikit terkesima. Di hadapan saya berdiri satu keluarga berwajah Eropa. Seorang pria dewasa dan seorang gadis rupawan dengan tinggi tubuh di atas rata-rata orang Indonesia. Dan di kursi yang menghadap pintu, di situ duduk seorang wanita yang sudah uzur, berambut dan berkulit putih. Setelah beberapa menit berada dalam rumah kecil dengan dinding ada terpampang foto-foto jaman dulu, saya pun mendengar percakapan yang menggunakan bahasa Sangihe. Sangat kental. Dan lama kelamaan saya pun yakin bahwa keluarga ini adalah sepenuhnya orang Sangihe bukan orang Eropa.
Saya kemudian dipersilahkan oleh pria yang adalah anak dari wanita tua itu untuk mewawancarainya tentang hal ihkwal kerajaan Manganitu. Saya mulai dengan menanyainya tentang keluarga. Narasumber yang biasa disebut Oma Mawira (Bhs. Sangihe: Nenek Putih) ternyata adalah seorang kelahiran Manganitu, Sangihe pada 28 April 1922. Nenek yang sudah tak bisa melihat dan tak jelas pendengarannya itu bernama Adelle Pauline Macahecum[5]. Ayahnya adalah seorang Jogugu (setara dengan wakil bupati sekarang) dari Tuandatu (raja) ke-17 kerajaan Manganitu, W.M.P. Mocodompis[6]. Bungsu dari dua bersaudara lainnya, Viktor Y. Macahecum[7] dan Rosalin Adolfine Macahecum. Adelle Paulina Macahecum dinikahi oleh seorang Perancis kelahiran Solo bernama Gelaume Antoinette Renard Dupont dan dikaruniahi dua orang anak. Salah satunya seorang anak lelaki yang berjabat tangan dengan kami sewaktu kami tiba. Anak lainnya, perempuan, kini bermukim di Filipina.
Menurut penuturan narasumber, W.M.P. Mocodompis adalah anak dari raja Manuel Hariraya[8] (raja ke-16).  Dikatakannya juga bahwa W.M.P. Mocodompis adalah raja yang sangat dihormati dan ditaati. Kadangkala, kendati mereka tahu bahwa rumahnya kosong, warga tetap lewat di depan rumah dengan sikap penuh hormat. Rumah yang kini nampak memprihatinkan ini pernah dipugar oleh pemerintah pusat pada tahun 1990. Sayangnya, sejak saat itu tak pernah lagi tersentuh oleh pemugaran. Bahkan pemerintah daerah pun seperti pura-pura tidak tahu dengan adanya situs itu. Yang lebih parah lagi, catatan sejarah yang sudah dibuat dengan susah payah oleh keluarga yang menjaga situs ini tidak benar-benar diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini terbukti dengan selalu datangnya pemerintah melalui pegawai instansi terkait untuk meminta catatan sekitar kerajaan Manganitu di era raja ke-17 itu. Padahal sudah berkali-kali diberikan. Rupanya semua yang pernah diberikan hanya menjadi milik pribadi pejabat yang berkuasa. Bukan menjadi milik pemerintah daerah sebagai institusi. Tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengabadikan tulisan-tulisan penting itu ke dalam sebuah buku atau semacamnya. Sama halnya dengan rumah peninggalan kerajaan Manganitu yang kian hari semakin parah keadaannya. Untunglah, ada beberapa orang penting seperti pensiunan ABRI dan turis, budayawan, sejarawan, wartawan serta cendekiawan (dari perguruan tinggi dalam dan luar negeri) yang datang untuk turut mendengar dan mengabadikan sejarah, situs serta saksi sejarah kerajaan Manganitu.
Pemerintah kurang perhatian…. Pagar harus dibenahi supaya mereka (pengunjung) yang masuk memperoleh karcis. Dengan demikian, hasil dari itu bisa menambah pendapatan daerah,” imbuh Oma yang masih lancar berbahasa Inggris dan Belanda itu sembari menyekakan tisu di sekitar pelupuk matanya. Dia juga menambahkan bahwa soal promosi, bukanlah tugas dirinya, melainkan tugas pemerintah.
Mungkin orang-orang bertanya-tanya mengapa sampai rumah raja itu kini dimiliki oleh keluarga Dupont-Macahecum. Kepemilikan rumah itu beralih ke mereka disebabkan oleh karena Wawutowo (putri raja), Yolanda W. Mocodompis[9], yang menikah dengan seorang Belanda bernama Prof. Mr. Paul Leonard Wehri tidak memiliki keturunan. Adelle Paulina Macahecum yang masih remaja ketika itu diangkat sebagai anak oleh Sang Putri. Segala kepunyaannya pun diserahkan kepadanya.
Saat diminta pesan narasumber bagi generasi muda sekarang, dia bertutur, “Saya berpesan kepada generasi muda agar tidak lupa menghormati perjuangan orangtua. Banyak orang muda tidak tahu tentang sejarah perjuangan orangtua dulu. Harus hidup rukun…. Adat Sangir harus dipertahankan. Biar sudah sekolah di luar tapi tidak boleh melupakan adat Sangihe.”
Ketika ditanya soal adat seperti apa yang harus dipertahankan, Oma Adelle mengatakan bahwa adat perkawinan dan saling menghormati harus dijaga. Penggunaan bahasa Sangihe juga harus halus. Sebagaimana mereka dulu dalam keluarga kerajaan harus menggunakan bahasa yang halus. Misalnya untuk kata makan, yang digunakan adalah kata simokol bukan kata-kata yang kurang santun seperti kumang, kahoaseng, meliwang dan mengepade. Begitupula dengan kata tidur. Mereka diharuskan menggunakan kata halus seperti mahedang bukan metiki yang kurang sopan.
Karena malam kian larut saya dan Deavid pun mohon pamit. Dengan harapan akan kembali lagi menjemput tulisan dan mendokumentasikan foto dan berkas bernilai lainnya. Walaupun terbilang singkat waktunya, muncul perasaan puas di hati kami. Sepanjang perjalanan pulang kami t


[1] Iswan Sual adalah seorang pemerhati budaya Sulawesi Utara kelahiran Tondei, Motoling, Minahasa Selatan, pada 12 April 1983. Bergerak dalam organisasi budaya bernama Sanggar “Tumondei” Minahasa Selatan (STMS) sebagai Tonaas Wangko (Ketua Umum). Telah menulis beberapa karya sastra  diantaranya; Tinondeian (Novel, 2012), Tetewatu (Kumpulan Cerpen, diterjemahkan ke Bahasa Perancis oleh Odile Loiret, 2013). Juga menjadi editor buku Sejarah Tondei karangan C. Bujung (2012).

[2] Santiago (Bataha Santiago) adalah raja ke-3 kerajaan Manganitu. Bertahta pada tahun 1670-1675. Ia adalah raja yang mengalahkan Belanda dengan gagah berani dalam perang Batumbakara di pantai Manganitu dengan menenggelamkan kapal-kapal perang Belanda. Tapi kemudian ia ditangkap dan dihukum gantung (versi lain: dipancung) di Tanjung Tahuna tahun 1675. Oleh pemerintah Indonesia ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan namanya diabadikan pada Korem 131 Santiago.

[3] Loji adalah rumah panggung besar khas Minahasa yang telah mendapat sentuhan gaya Eropa yang banyak dibuat di jaman Belanda. Sampai sekarang masih terdapat banyak loji di tanah Minahasa dan Sangihe.

[4] Steller, missionaris Zending Grossnas Jerman, bernama lengkap E.T. Steller mengabdi selama 40 tahun  di Sangihe. Sejak 25 Juni 1857 hingga 3 Januari 1897. Dia banyak menerima anak pribumi dalam rumahnya untuk dilatih dan diajar berbagai kemahiran kerja, seperti perbengkelan mesin, bercocok tanam dalam teknik modern, arsitektur, ilmu perawatan, dan guru. Di kemudian hari usahanya digantikan oleh anaknya yang bernama Mr. K.G.K. Steller. E.T. Steller dikuburkan di Manganitu, Sangihe, di samping makam istrinya. Sejak datang pertama ia tak lagi melihat negerinya. Ia menganggap Sangihe sebagai tanah airnya yang baru.

[5] Adelle Paulina Macahecum pernah mengenyam pendidikan di HIS Tahuna dan Mulo Tomohon. Pada tahun 1950 bekerja di Makassar  dan kemudian menjadi kepala sekolah di Sekolah Kepandaian Putri di Tamako. Dia turut dipenjara oleh Jepang karena kedekatan dengan keluarga kerajaan dan diduga orang Belanda karena berkulit putih. Neneknya, Belina, adalah saudara perempuan dari W.M.P. Mocodompis (Raja ke-17 kerajaan Manganitu).

[6] Raja W.M.P. Mocodompis adalah raja ke-17 (raja terakhir) kerajaan Manganitu. Dia ditangkap dan hendak dipancung karena diduga memata-matai Jepang. Tapi karena kebal senjata tajam dia kemudian dikubur hidup-hidup oleh pemerintah Jepang bersama ayah dari Adelle Paulina Macahecum. Sepeninggal raja, rumah dan isinya diserahkan kepada pemerintah (camat pada waktu itu bermarga Tiwa. Berasal dari Motoling, Minahasa Selatan) untuk dijaga. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Nyaris seisi rumah diambil dan ditelantarkan. Sang Boki  (permaisuri) pun, Louisa Ella Kansil, ditinggal begitu saja di rumah.

[7] Viktor Y. Macahecum adalah seorang Hakim pertama di Sangihe. Di jamannya dia mendapatkan pekerjaan karena menunjukkan slagbom (silsilah keluarga) dimana umumnya pada waktu itu dijadikan sebagai bukti bahwa seseorang berasal dari keluarga baik-baik.

[8] Manuel Hariraya adalah raja ke-16 kerajaan Manganitu. Dia memiliki tiga orang anak yang bernama Belina, Elizabet, dan W.M.P. Mocodompis.

[9] Yolanda W. Mocodompis pernah memberikan kursus ilmu hukum kepada seorang yang bermarga Pondaag. Kelak dia menjadi seorang notaris yang cukup dikenal. Meskipun telah menikah dengan seorang Belanda tapi Yolanda W. Mokodompis tidak mengubah kewarganegaraannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar