sebuah cerpen
Iswan Sual
Musim panas Agustus 1906…
Cahaya rembulan memendar melebar seluas jangkauan
sayap langit. Tanah dimana terung[2]
kami berdiri terkena pula tempiasnya. Meski pohon mangga yang rindang
membentang ranting untuk menghalang. Dua obor yang bergelayut pada tiang
perteduhan dirampas tugasnya. Sehingga faedahnya seolah tak ada sama sekali.
Semua kami berdiam diri di luar menanti bunyi burung yang kerap jadi pembawa
pesan Opo Kasuruang Wangko.[3].
Jangkrik tak satu pun berderit. Nyamuk enggan bertengger di tubuh kami. Walau
hanya sekedar mencium darahnya. Seolah ingin pula menjadi saksi sejarah cikal
bakal awal cerita berdirinya sebuah wanua[4] di
lembah antara gunung Lolombulan dan Sinonsayang. Sudah beberapa hari kami di
sini. Namun jawaban yang ditunggu tak kunjung mendekat. Untuk menjawab harap
yang telah memanjat menembus angkasa.
Kami semakin resah. Bukan karena dofoma[5]
kian berkurang. Itu bukan persoalan sama sekali. Area dimana kami
menapakkan kedua kaki, menjamu kami dengan berkat melimpah. Yang membuat
gelisah adalah bunyi sembilan kali yang dinanti dari wala[6]
belum terdengar. Kami bingung. Di Mawale,
dimana kawok[7]
dan kalowatang[8]
berkerumun pun tak diiyakan. Seminggu
kami menunggu disana. Sulit memahami pikiran si Yang Maha Kuasa. Tempat-tempat
yang kami anggap layak untuk pemukiman seolah ditolak menta-menta. Padahal
dekat dengan sumber air, tanahnya datar, subur dan kaya akan binatang buruan.
Mengapa? Apakah karena ini tanah adalah punya orang-orang Mongondo sehingga
kami dihalang menetap di sini? Bukankah Tuhan juga menjadi saksi bahwa tanah
yang membentang dari sungai Ranoiapo hingga sungai Poigar telah dijadikan mahar
raja Loloda Mokoagow ketika dia meminang putri Tontemboan dari Tombasian? Atau
karena tanah ini telah digariskan untuk tidak dimukimi sehingga dua ratus tahun
lalu ditinggalkan oleh leluhur kami? Apakah upaya tumondei[9]
kami tak direstui karena Tuhan mendengar keluhan orang-orang Mongondo? Atau
kami sedang diajar Tuhan tentang kesabaran...
***
Satu hari sebelumnya…
Muntuuntu dan Wongkar tak begitu setuju. Kendati
begitu mereka berdua dapat diyakinkan. Sebab riwayat sisilah keluarga telah
diuraikan secara gamblang. Tambah lagi Mogogibung memang siap dijadikan rages, tumbal. Sebab baginya kematiannya
adalah kehidupan bagi banyak orang. Baginya, bila pengorbanan diperlukan, maka
biarlah dia orang yang pertama yang menjadi sukarelawan. Sebenarnya Timporok
tak tega juga bila orang yang sedarah dengan dia disembelih di atas mesbah di
depan matanya sendiri. Benak dan nuraninya bergejolak. Mengapa Opo si nimema en tana’ wo langit[12]
memberikan permintaan yang tak masuk akal? Apakah tak ada cara lain untuk
menguji iman dan kesetiaan kami? Kami tak habis pikir dengan tingkah laku Opo
Wananatas[13].
Tapi apa boleh buat. Kami hanyalah ciptaan. Mendengar dan melakukan adalah
tugas kami. Bila nuwu[14]
sudah terucap, tiada lain selain taat.
***
Seminggu kemudian…
Satu malam sebelum upacara tumani pada Agustus
1906…
Mogogibung seorang diri duduk diatas sebatang kayu.
Doa-doa ungkapan ketaatan telah dipanjatkan. Dia kian yakin dengan
keputusannya. Matanya tak bergeser dari perapian di depannya. Hangat rembesan api memberinya ketenangan
sukma yang tak terselami. Malam ini akan jadi malam terakhir dia dan para tonaas semeja makan. Malam ini akan jadi
malam terakhir ia mencium bau saguer[15],
nasi dan daging tikus yang punya aroma mistis. Akhirnya waktu telah tiba. Waktu
untuk membuktikan ketulusan, menjawab panggilan kemanusiaan dan awal perjalanan
menuju kasendukan[16]
dimana para leluhur yang berbuat baik semasa hidupnya bersemayam dan
melantunkan madah memuji kebesaran Opo
Kasuruang.
Di kejauhan nampak cahaya mendekat bersamaan dengan
suara ramai orang berbincang riang. Mogogibung tetap berusaha tenang. Meski
kedatangan mereka bermakna maut bagi dia. Dia tahu bahwa rombongan datang
membawa kabar baik. Kabar tentang dimana lokasi pelaksanaan upacara tumani akan digelar dan dimana proses sumoring[17]
hendak dilaksanakan. Dia pun membayangkan jalannya upacara yang penuh khidmat
dan khusyuk diselenggarakan. Tembang-tembang puitis Minahasa tua diiringi
melodi seruling dilantunkan. Silsilah keluarga sedari masa makarua siow, makatelu pitu, pasiowan telu[18]
dilisankan. Pidato-pidato nubuatan tonaas[19]
dan waliang[20]
dituturkan. Tarian-tarian mistis dipertunjukkan. Dan rencana-rencana masa depan
dikumandangkan. Dan bunyi manguni
diperdengarkan bersamaan dengan siow
lentu’[21]
diisi ke dalam kurek[22].
O betapa elok dan rancak suasana itu. Alangkah syahdunya peristiwa itu. Sungguh
beruntung mereka yang dapat langsung menyaksikannya!
Makanan dan minuman yang dibuatnya ditengoknya sekali
lagi. Uap masih menjulang naik menembus daun pisang yang dipakai sebagai
penutup. Semua telah tersaji di atas meja bambu.
“E tuama. Remepet mi’i. Tulungeng kami mangkai si anio[23],”
teriak Wongkar dari kejauhan.
Mogogibung bingung. Adakah yang sakit? Atau adakah
yang celaka? Benda berat apa yang sedang mereka bawa? O Amang Kasuruang copus mi’i kami[24].
Gumannya dalam hati.
“E tuama. Morakem. Co weta’ wo’o e[25].”
Ini semakin membuat Mogogibung bingung. Apa yang mereka bicarakan? Segala
menjadi jelas begitu seekor piton sebesar batang pohon kelapa dibentangkan di
depan Sabua. Ternyata ular yang lebih
dikenal dengan sebutan patola itu
telah dikirim oleh Opo Kasuruang menggantikan Mogogibung. Itu adalah wujud
cinta dan sayang-Nya. Sebagai imbalan dari ketulusan dan kerelaan serta
kebersihan hati setiap mereka.
***
Upacara tumani pada Agustus 1906…
“O Amang Kasuruang Wangko si nemema en tana’ wo
langit. Turu’an mi’i eng lalang rondor. Kengsya eng kalambot, eng kawangker, eng kakemel en ule’ anio’,
keleistyu eng kamang an do’ong anio’. Keleistyu en tou ma’awes. Keling-keling
eng kamang wo itayangange eng kawenduan. O Empung…O royor[26].”
Matahari bersinar cerah. Namun kulit tak tersengat.
Hanya pelu-pelu yang nampak menetes dari dahi sang waliang. Sambil memegang tawaang[27]
dan kendem[28]
dia bersabda. Acara berlangsung lama namun tak satupun kami jenuh. Makan minum
bersama menjadi ujung dari upacara. Semenjak itu orang-orang ber-mapalus[29]
merombak hutan untuk membuka lahan perkebunan. Berhari-hari, berminggu-minggu
dan bertahun-tahun. Hingga akhirnya nyaris tak tersisa lagi area hutan untuk
dibuka oleh generasi berikutnya. Dan wanua
kami pun diberkati secara melimpah seperti termaktub dalam nuwu para tonaas. Dan
kami sepakat menamai udik kami dengan Tinondeian[30].
Jusof Wongkar pun ditunjuk menjadi perewis[31].
***
[Ditulis 27 April 2013. Terinspirasi oleh cerita yang dituturkan bapak Reine
Mogogibung. Tapi cerita ini dikategorikan sebagai fiksi karena telah mendapat
sentuhan rekaya imaginasi penulis]
[1] Upaya mendirikan sebuah perkampungan. (Bhs
Tontemboan)
[2] Gubuk. Kata ini digunakan secara
bergantian dengan kata sabua. (Bhs Tontemboan)
[3] Tuhan Maha Kuasa (Bhs Tontemboan)
[4] Kampung. Kata ini dipakai secara
bergantian dengan kata ro’ong. (Bhs Tontemboan)
[5] Bekal, persediaan makan
[6]
Sejenis
burung. Sering dipakai secara bergantian dengan kata manguni. Burung ini
diyakini oleh orang Minahasa sebagai perantara Tuhan dan manusia - pembawa
pesan dari Tuhan. Itulah yang melandasi sehingga GMIM menggunakannya sebagai
lambang gereja. (Bhs Tontemboan)
[7] Tikus (Bhs Tontemboan)
[8] Babi hutan (Bhs Tontemboan)
[9] Mencari kembali. Dari kata inilah nama
desa Tondei. (Bhs Tontemboan)
[10] “Dia saja”. (Bhs Tontemboan)
[11]
“Kalau dia berani”. (Bhs Tontemboan)
[12]
Tuhan yang menciptakan bumi dan langit. (Bhs Tontemboan)
[13]
Tuhan. (Bhs Tontemboan)
[14]
Sabda/firman. (Bhs Tontemboan)
[15]
Tuak. Air nira. (Bhs Tontemboan)
[16]
Surga. (Bhs Tontemboan)
[17] Meniup suling. (Bhs Tontemboan)
[18] Nama rumpun keturunan Toar Lumimuut. (Bhs
Tontemboan)
[19] Pemimpin. Secara harafiah berarti orang
berotak (Tou nga’asan) atau orang yang memiliki pendirian yang keras dan
keunggulan dalam pengetahuan tentang cara membuka lahan perkebunan, pandai
mendengar bunyi burung dan mengartikan tanda-tanda, memiliki jimat yang sakti
dan lain-lain. Biasanya tonaas adalah orang yang dituakan dan dapat dijadikan
teladan dalam perilaku, prinsip, iman dan tutur kata serta dalam menjaga
warisan dan menerapkan nilai-nilai yang telah diajarkan leluhur. (Bhs
Tontemboan)
[20] Memiliki kemampuan seperti tonaas. Namun
biasanya lebih mahir dalam memimpin upacara adat dan ilmu pengobatan. (Bhs
Tontemboan)
[21] Sembilan patahan lidi. (Bhs Tontemboan)
[22]
Sejenis belanga yang terbuat dari tanah. (Bhs Tontemboan)
[23]
“Hai lelaki. Bergegaslah. Tolong kami untuk mengangkat ini. (Bhs
Tontemboan)
[24] Oh
Tuhan kasihanilah kami. (Bhs Tontemboan)
[25]
“Hai lelaki. Cepatlah. Sebenarnya kamulah.”
[26] “Oh Bapa, Tuhan yang besar yang
menciptakan bumi dan langit. Tunjukkanlah jalan yang benar. Sebagaimana
panjang, besar, dan gemuknya ular ini, begitulah kiranya berkat untuk kampung
ini. Begitulah kiranya banyaknya orang yang bertambah di kampung ini.
Limpahkanlah berkat dan jauhkanlah kesukaran. O Tuhan…” (Bhs. Tontemboan)
[27] Sejenis tumbuhan. (Bhs. Tontemboan)
[28] Sejenis tumbuhan. (Bhs. Tontemboan)
[29] Bergotongroyong. (Bhs. Tontemboan)
[30]
Dicari kembali. Nama ini hanya bertahan selama dua tahun. Pada 1908
Tumondei diakui sebagai dusun jauh dari Raanan Baru. Dan namanya berubah
menjadi Tondei. (Bhs. Tontemboan)
[31]
Wakil Ukung Tua. Pada 1914 desa Tondei berdiri sendiri sebaga satu desa.
Setahun kemudian dipilihlah seorang pemuda (belum menikah) yang bernama Demas
Kawengian menjadi seorang Ukung Tua. (Bhs. Tontemboan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar