Kamis, 06 Juni 2013

SOE?





[Sebuah cerpen]


Oleh Iswan Sual


Kesialan atau bila diperhalus, ketidakberuntungan. Ah! Kenapa pula berusaha memperhalusnya. Segala upaya penghalusan kata takkan akan mengubah suatu keadaaan itu. Orang Indonesia memang pintar menyembunyikan keadaan dengan menggunakan istilah pengganti manis. Kami memang telah diajar oleh para pejabat bejat dalam hal penciptaan kamuflase demi menutupi kebusukan. Kesialan dan ketidakberuntungan adalah tetap hal yang sama dan tak ada beda. Layaknya buang air besar dan berak. Bodoh dan tidak terpelajar. Pencuri uang rakyat dan koruptor. Pembunuh dan pencabut nyawa. Tunasusila dan pelacur. Orang yang tak punya rumah dan tunawisma.
***
Saat matahari baru saja menampakkan diri, Tambun keluar dari rumah dengan sepeda motornya. Helem putih dan jaket hitam turut melekat di tubuh. Sesuai rencana, hari ini Tambun hendak mengecek informasi dan mengambil tanda peserta Ujian Kompetensi Guru (UKG) di kantor Dinas Pendidikan.  UKG adalah  suatu langkah bijak yang diambil oleh pemerintah dalam rangka mengukur kecakapan dan kemampuan guru. Mendorong para guru agar senantiasa membekali diri sehingga ada peningkatan mutu pendidikan. Bila benar-benar memiliki kemampuan memadai maka seorang guru bisa dikelompokkan sebagai guru profesional dan layak diberikan tunjangan atau insentif. Sekali lagi, itu adalah upaya yang bagus dan bijak. Hanya saja banyak pihak yang berusaha menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Di kala para guru tengah berburu sumber pendapatan karena kian beratnnya hidup, ada orang lain yang berupaya pula mengeruk keuntungan dengan alasan yang sama. Hal semacam ini menimpa Tambun juga tadi. Setelah kartu peserta, yang terbuat dari kertas putih tipis dengan ukuran sejengkal (mirip selembar kertas kwitansi) ditemukan dari tumpukan yang tak tersusun baik, secara blak-blakan dua pegawai memberitahu bahwa Tambun harus memberikan “uang administrasi”. Istilah pungutan liar ini pula telah diperhalus menjadi “uang administrasi”. Mereka tahu bahwa pasti para guru membayarnya. Sebab mereka tahu bahwa nasib guru banyak terletak di kantor itu. Kantor Dinas Pendidikan. Padahal seharusnya semakin keatas tingkatan kantornya maka semakin terdidiklah para pegawainya. Tapi, ternyata kantor pendidikan di tingkat kabupaten itu justru menjadi tempat bertumbuh suburnya tindakan koruptif dan tindakan pemerasan terselubung. Gawat!
“Wah ternyata bapa’ pe jadwal tes: ini hari. Jam delapan sampe jam seblas,” kata pegawai berseragam putih hitam itu.
Tambun kaget mendengar keterangan itu. Jam tangannya sudah menunjukan pukul 10.20.
“Mar masi bole sto. Bapa’ langsung jo ke SMA Aquino kong setunjuk tu kartu peserta ujian. Mudamudahan masi bole,” suara mereka berubah menjadi lebih lembut tatkala uang Rp. 10.000 sudah dikeluarkan. Awalnya mereka kurang bersahabat.
Tanpa banyak basa basi lagi Tambun melompat ke punggung sepeda motor dan meluncur dengan kecepatan tinggi. Motornya beberapa kali menyalib kendaraan. Dalam hatinya terucap harap dan doa supaya masih ada waktu dan diperbolehkan mengikuti ujiannya. Saat jalanan macet Tambun dengan kurangajar membawa sepeda motornya melalui trotoar yang adalah hak pejalan kaki.
“Woi! Cuki le ngana! Nda ada ontak!” teriak salah seorang pejalan kaki karena terserempet sepeda motor Tambun. Tambun tak sedikit pun memperdulikan makian itu. Lagipula dia mengetahui kesalahannya.
Tambun turun dari sepeda motornya dengan tubuh telah berlumuran keringat. Tak terlihat ada orang duduk atau sedang menunggu di depan gedung. Kursi dan bangku semuanya kosong. Sudah bisa ditebak apa artinya itu. Usaha Tambun sia-sia.
“Ada perlu apa? Mo iko ujian kompetensi? Ka atas jo. Lantai tiga,” kata seorang wanita yang ternyata adalah seorang penjaga toko sekolah.
Saat Tambun tiba di lantai yang dimaksud semua orang nampak sibuk di depan layar komputer. Tambun langsung menuju ke meja panitia pelaksana dan meminta diijinkan mengikuti ujian. Mereka tak keberatan. Hanya sedikit menyengir. Dan tentu itu bukanlah masalah besar. Teratasi tanpa upaya yang besar.
Dua jam kemudian 80 soal terjawab sudah. Tambun pun langsung ke sebuah ATM untuk mengambil Rp. 100.000 sebagai jaga-jaga saja dalam perjalanan pulang. Tambun pikir dia perlu membawa uang lebih bila berkendara dengan sepeda motor. Bisa-bisa hal yang tak diinginkan terjadi di tengah perjalanan. Ban kempis, rantai putus atau ada suku cadang kendaraan yang tiba-tiba minta diganti. Yang bisa disebut uang yang akan kutarik dari mesin teller otomatis itu sebaga uang antisipasi.
Barangkali karena tak fokus, tanpa sengaja Tambun salah tekan tombol. Uang Rp. 500.000 pun keluar. Ah biar saja. Tambun berikhtiar memberikan Rp. 200.000 ke adiknya sebagai biaya penyusunan skripsinya. Dan lainnya akan Tambun berikan kepada ayah atau ibunya sebagai tambahan biaya rumah tangga. Sepertinya mereka memang sangat memerlukan uang saat ini. Harga kopra telah anjlok. Sudah dua kali empat bulan kelapa mereka tidak dipanen. Semua yang sudah jatuh ke tanah kini telah berakar dan berdaun. Mengingatkannya pada simbol Pramuka. Gantinya ayah dan ibu Tambun tiap hari pergi memanen cengkeh yang buahnya tak seberapa. Tapi harganya lumayan.
Dari mesin uang itu Tambun mampir sebentar di sebuah warung internet. Hanya sekedar mengecek email. Siapa tahu ada pesan dari teman Perancisnya, Pierre. Kabar terakhir yang dia terima Pierre baru saja mengalami kecelakaan ketika berlibur dengan anaknya di Yunani. Kaki yang pernah patah tulang, patah lagi. Karena panik sudah infeksi berat, suatu malam dia berencana bunuh diri. Dia yang sudah tua tak ingin menderita dan menjadi beban orang lagi. Tambun sangat kasihan dengan orang tua itu. Seorang lelaki kurus tinggi dan tak memiliki siapa-siapa lagi. Rasa iba kepadanya persis rasa iba kepada ayahnya sendiri.
Rasa lapar menghentikan aktifitas Tambun di warung internet itu. Di restoran Cina dia lalu mengisi perutnya. Tak lama kemudian dia meluncur cepat ke kampung halamannya. Setengah jam menyusuri jalanan yang nyaris sempurna nyaman. Namun setengah jam kemudian adalah jalanan yang penuh batu timbul. Seperti sungai yang telah dilanda kekeringan berkepanjangan. Jalanan menanjak dan berbatu membuat tubuh Tambun terguncang dan terpantul di atas sadel motor. Beberapa kali Tambun hampir terpisah dari kendaraannya. Tak disadarinya dompet yang berisi uang, kartu kredit, kartu ATM, KTP, uang, dan lainnya telah melompat keluar dari celananya. Menjelang di ujung kampung dia pun menyadari ketiadaan dompet coklat panjangnya. Jalanan yang minta ampun rusaknya kembali dilaluinya untuk mencari barangnya yang sangat berharga. Dia berusaha memindai sepanjang jalanan hingga desa Ongkau. Tapi dia tak menemukan yang dicari.
Hati Tambun bagai disayat sembilu. Tak tahu kepada siapa harus mengadu. Mulut Tambun komat-kamit mengucapkan doa. Berharap Tuhan membantu menemukan dompetya. Tapi tak terjadi apa-apa. Tambun mulai mengejek Tuhan yang tak dapat mengabulkan permintaan kecilnya. Dan itu pun tak membuat Tuhan menjawab permintaannya. Tambun berhenti mencari. Dia memandangi langit yang telah berubah menjadi kelabu. Padahal belum sejam yang lalu langit begitu terang benderang dan elok dengan warna biru yang mendominasi. Dia pun berpikir bahwa untuk menghilangkan rasa kehilangan, tak lain dan tak bukan adalah dengan berpikir bahwa cepat atau lambat semua di dunia ini akan hilang dan pergi dari kita. Anggap saja itu tak pernah kita miliki maka rasa kehilangan taklah muncul dan takkan ada. Karena pada dasarnya sumber penderitaan manusia adalah kemelekatan pada sesuatu.
Motor dihidupkannya lagi. Perlahan Tambun menyusuri jalanan yang berlubang di sana-sini. Ada binar terpancar dari kedua kedua bola matanya. Ada senyum terukir di sudut bibirnya. Dia bangga karena telah memiliki kekuatan untuk lepas dari kemelekatan. Dia baru saja memperoleh pencerahan. “Pergilah dompetku beserta isinya. Aku telah merelakan dirimu meninggalkanku. Semoga kau ditemukan tangan yang benar-benar membutuhkan.”
Tondei Satu, 4 Juni 2013